Headline

Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.

Fokus

Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.

Pulang ke Rumah

Ono Sarwono, Wartawan Media Indonesia
12/1/2020 04:30
Pulang ke Rumah
Ono Sarwono, Wartawan Media Indonesia(MI/Ebet)

SEPERTI biasanya, setiap Ahad Paing, panakawan Gareng, Petruk, dan Bagong berkumpul di rumah sederhana bapaknya, Semar Badranaya, di Dusun Klampisireng. Hari-hari sebelumnya, mereka bersama warga lain sengkut (semangat) bergotong royong membersihkan rumah-rumah dan memperbaiki berbagai fasilitas umum yang rusak akibat banjir di tetangga dusun.

Warga tidak menduga banjir menghantam hampir seluruh wilayah Negara Amarta setelah hujan lebat mengguyur pada malam menjelang dan awal tahun baru. Ibu Kota Indraprastha pun tidak luput dari terjangan dan genangan air bah.

Fenomena banjir itulah yang kemudian menjadi tema perbincangan panakawan dalam pertemuan tersebut. Telah mentradisi, dalam setiap sarasehan, mereka ngudarasa sekitar isu-isu hangat yang berhubungan dengan kepentingan orang banyak. Pun dengan masalah yang terkait dengan kenegaraan, mengingat mereka ialah para pamong Pandawa, pemimpin Negara Amarta atau Indraprastha.

“Kita prihatin ya, Truk (Petruk), banjir terjadi lagi,” kata Gareng membuka pembicaraan.

“Iya Kang (kakak) Gareng. Ini menyedihkan, warga yang semula bersiap bersuka ria menyambut datangnya tahun baru dengan harapan baru, e..., banjir datang,” jawab Petruk.

“Semoga itu bukan pertanda buruk hari-hari ke depan dan tahun ini ya le (adik),” ujar Gareng selanjutnya.

“Iya kang. Tapi, paling tidak, peristiwa ini sebaiknya kita jadikan pengingat bahwa dalam hidup ini kita mesti senantiasa eling kepada Gusti ingkang murbeng dumadi (Yang Mahakuasa),” kata Petruk.

“Bahwa bencana itu adalah kehendak-Nya,” tambah Petruk.

“Kita mesti sabar dan tabah menjalaninya ya, Truk,” sahut Gareng.

Bagong, yang duduk di atas lincak beralas tikar mendong sambil menyenderkan punggungnya ke cagak rumah, seolah tidak peduli dengan pembicaraan kedua kakaknya yang berada di depannya. Ia asyik mengunyah tempe mendoan. Sesekali ia menyeruput wedang uwuh dalam muk lorek.

Namun, tiba-tiba Bagong menyeletuk, “Mbelgedhes!”.

Gareng dan Petruk, meski sangat paham karakter adiknya, tampak kaget mendengar ucapan adiknya yang agak keras tersebut. “Apa Gong (Bagong)?” tanya Petruk.

“Mbelgedhes!” kembali Bagong mengulangi ucapannya.

Kali ini Gareng dan Petruk tersenyum. “Gong, maksudmu apa?” tanya Petruk.

“Ya, banjir itu kang. Menurutku, itu bukan bencana,” tukas Bagong serius.

“La kok? Banyak warga yang menderita dan kesusahan karena terkena banjir lo Gong. Itu jelas bencana,” sergah Gareng.

Bagong lalu berargumen bahwa air itu, dari mana pun datangnya, merupakan berkah dari yang Maha Pemurah. Tidak sepantasnya anugerah itu malah berubah menjadi musibah bagi titah.
“Kemarin-kemarin itu siapa yang minta hujan. Begitu diberi hujan, bingung,” ujarnya.

Putra ragil Semar itu memang dikenal berwatak slengekan, suka-suka dalam berpikir, merdeka berucap dan bersikap. Namun, ia kritis dan teguh mempertahankan setiap langkah yang diambil. Bahkan, ia juga tidak takut mengkritik siapa pun, termasuk pemimpin tertinggi negara sekalipun.

Bagong menambahkan banyak warga Amarta yang abai atau tidak peduli dengan alam dan lingkungan. Banjir dan tanah longsor yang selalu berulang terjadi di berbagai tempat bukan dijadikan pelajaran untuk bijak menyikapinya.

Memuliakan air

Di saat mereka gayeng berdialog, Semar muncul dan ikut menimbrung duduk bersila sambil sesekali deham. “Hem.... Gareng, Petruk, Bagong sama sehat-sehat kan?” tanya Semar.

“Pangestunya Pak, sehat,” ujar tiga bersaudara itu hampir bersamaan. “Bapak juga sehat kan?” tanya Gareng.

“Ya, sehat, sehat walafiat,” jawab Semar.

“Tadi dari ruang tengah rumah, saya mendengar pada bicara banjir?” kata Semar.

“Iya Pak. Tapi, Bagong ngomong ngawur Pak,” kata Gareng. “Kata Bagong, banjir itu bukan bencana. Wong edan kan Bagong itu Pak,” lanjutnya.

Semar mesem mendengar penjelasan Gareng. Bagong ikut tersenyum dan menyengir sambil melirik bapaknya, sedangkan Petruk geleng-geleng kepala melihat mimik Bagong. Nganyelke tenan (sungguh menjengkelkan), gumam Petruk dalam hatinya.

Semar lalu mengatakan dengan nada datar, “Ledhok iline banyu (tanah rendah tempat air mengalir).” Semar, yang sejatinya Bathara Ismaya mengejawantah, menuturkan bahwa kodratnya air itu selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah.

Dalam bahasa lain, menurut Semar, di mana pun, air itu pasti pulang ke rumahnya. Ketika rumahnya ditempati pihak lain, mereka akan menanggung risikonya. Selayaknya manusia menghormati tempat-tempat yang menjadi rumah air, jangan malah mengoloninya.

“Cara menghormatinya bagaimana, Pak?” sela Petruk.

“Masa nggak tahu Kang,” sergah Bagong.

“Kamu tahu Gong. Coba jelaskan, bagaimana?” kejar petruk.

“Yang ngomong tadi kan bapak, ya tanyalah ke bapak,” jawab Bagong enteng.

Menurut Semar, manusia wajib ‘memanusiakan’ air. Sederhananya, air perlu diberi atau dibuatkan jalan untuk secepatnya kembali ke rumahnya (ledhok). Kalau tidak, air akan berjalan atau lari dengan wataknya sendiri. Bila itu yang terjadi, semua yang dilewati bakal tersapu.

Oleh karena itu, lanjut Semar, bencana itu hanyalah perspektif ego subjektif manusia. Alasannya, sebelum ada manusia di muka Bumi, perilaku air sudah demikian itu. Sebagai penghuni ‘yunior’ di bumi, manusia seyogianya menghargai ‘saudara tuanya’, air. Apalagi, tanpa ‘saudara tua’ itu, manusia tidak bisa bertahan hidup.

“Jadi, kita mesti pandai membaca,” ujar Semar.

“Maksudnya apa, Pak?” tanya Petruk.

“Iqra. Bacalah jagat dan seisinya ini dengan wening (mendalam), termasuk air itu. Dengan demikian, semua yang ada di jagat ini merupakan berkah dan karunia yang tiada tara,” jelas Semar.

Amarta hanya memiliki dua musim, yakni kemarau dan penghujan. Datang serta lamanya musim itu pun sudah pasti. Oleh karena itu, amatlah diuntungkan warga Amarta dengan musim-musim tersebut. Warga tinggal menyesuaikan diri serta memanfaatkannya.  

Ketika Gareng, Petruk, dan Bagong takzim mendengarkan pencerahan dari sang Badranaya, hujan lebat mengguyur Dusun Kamplisireng. Berbeda dengan dusun atau kota di Amarta, Klampisireng selamanya kalis dari amukan air. Ini karena Semar senantiasa memuliakan air sebagai sumber penghidupannya. (M-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya