Headline
Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.
Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.
PERIODE 2009-2019 dinilai sebagai 'dekade yang hilang' atau masa ketika dunia terbangun dengan kenyataan perubahan iklim namun menyia-yiakan kesempatan bertindak. Para ilmuan kini khawatir tidak ada kesempatan menghindari bencana.
Apalagi hasil dari Konferensi perubahan iklim UNFCCC-COP25 di Madrid, Spanyol yang berakhir 15 Desember 2019 tidak mencapai kesepakatan dan dinilai aktivis muda sebagai 'tahun kegagalan lagi'.
"Belum pernah saya melihat keterputusan antara apa yang dibutuhkan sains dan apa yang disampaikan negosiasi iklim dalam hal tindakan yang bermakna," kata Alden Meyer, kepala strategi di Union of Concerned Scientists sebagai mana disitat Huffpost.
Selama 25 tahun, dunia berupaya mencari cara mengatasi pemanasan global yang dipicu pembakaran bahan bakar fosil. Apalagi saat ini sudah masuk krisis iklim, di mana suhu bumi mencapai rekor terpanas.
Dari Kopenhagen Ke Paris
Harapan melambung tinggi menjelang konferensi perubahan iklim tahun 2009 di Kopenhagen. Konferensi itu seharusnya menjadi momen ketika komunitas internasional mulai menanggapi perubahan iklim dengan serius dan menjanjikan tindakan nyata. Namun harapan itu berubah menjadi kegagalan kolektif.
Setelah dua minggu berdiskusi, perpecahan meluas antara negara-negara kaya dan miskin. Rencana besar membuat semua negara setuju mengurangi separuh emisi gas rumah kaca secara keseluruhan tahun 2050 dan menahan pemanasan global hingga maksimum 2 derajat Celcius (sekitar 3,6 Fahrenheit) hanya kembali di atas kertas.
Butuh enam tahun bagi negara-negara akhirnya menandatangani Paris Agreement pada Desember 2015 untuk menjaga kenaikan suhu global jauh di bawah 2 derajat Celcius.
Masih Saling Tuding
Kenyataan politik global bertolak belakang dengan krisis ekologi saat ini. Sejak pemilihan, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump membatalkan sebagaian besar perlindungan lingkungan demi bahan bakar fosil dan menarik diri dari persetujuan Paris. Masyarakat adat dan Amazon diancam presiden Brasil Jair Bolsonaro. Di Australia, Perdana Menteri Scott Morrison melarang protes iklim untuk melindungi kepentingan pertambangan.
Padahal laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim, yang diterbitkan pada Oktober 2018, menyatakan dunia hanya memiliki 12 tahun bertindak terhadap krisis iklim dan membalikkan keadaan. Para ilmuwan menyatakan target Paris yang ditetapkan pada 2015 tidak cukup ambisius dan peralihan ke energi terbarukan tidak cukup cepat.
"Sepuluh tahun terakhir ini merupakan peluang yang hilang. Ini adalah apa yang saya sebut 'hukuman penundaan karena tidak bertindak iklim'," kata ilmuwan iklim AS.
Michael Mann, direktur Earth Science Science Center di Pennsylvania State University mengatakan sudah terlihat dampak berbahaya dari perubahan iklim, seperti badai dahsyat, kebakaran hutan, gelombang panas, banjir, dan kekeringan.
Antara Oktober 2009 dan November 2019 jumlah gas karbon dioksida di atmosfer kita, berdasarkan pengukuran observatorium Mauna Loa di Hawaii, naik dari 384,43 bagian per juta (ppm) menjadi 410,27 ppm mewakili peningkatan hampir 4%, ke tingkat tertinggi.
"Tidak ada tanda-tanda perlambatan, apalagi penurunan, dalam konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer terlepas dari semua komitmen di bawah Perjanjian Paris tentang Perubahan Iklim," kata Sekretaris Jenderal Badan Meteorologi Dunia Petteri Taalas dalam pernyataan November 2019.
Lima tahun terakhir telah menjadi periode terpanas, serta yang terburuk sejak 1980. Es menipis dan tingkat permukaan laut global naik meningkat 5mm per tahun dibandingkan dengan tingkat tahunan 3,2mm. "Ini bukan lagi peringatan, kita sekarang mengalami dampak kerusakan iklim setiap hari," kata May Boeve, kepala eksekutif LSM iklim internasional 350.org.
Laporan Gap Produksi, Organisasi Meteorologi Dunia menunjukkan konsentrasi gas rumah kaca yang memanaskan iklim telah mencapai rekor tertinggi baru pada 2018 tanpa ada tanda-tanda perlambatan.
Begitu juga laporan Kesenjangan Emisi PBB, yang memperingatkan jika negara-negara memenuhi semua janji tahun 2015, kita dapat mengharapkan kenaikan suhu 3,2 C pada akhir abad ini. Ini akan membuat lebih banyak dunia tidak hidup, dengan gelombang panas yang lebih panas dan mematikan, lebih sering banjir dan kekeringan dan panen yang hilang.
"Emisi harus turun 55% pada tahun 2030. Tidak mungkin kami akan berhasil jika kami tidak meningkatkan tindakan pada tahun 2020 dengan rencana ambisius," kata direktur eksekutif UNEP, Inger Andersen, pada konferensi pers setelah rilis laporan November PBB. "Kegagalan kolektif kita untuk bertindak dini berarti kita sekarang harus memberikan pengurangan emisi yang dalam, lebih dari 7% setiap tahun. (M-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved