Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
Meski hanya 10 menit, hati ini puas bisa mencuri lihat primata mungil bermata besar tersebut.
WAKTU baru menunjukkan pukul 20.00 WIB, tapi suasana teramat gelap. Tidak seperti di kota yang berhiaskan lampu-lampu, di sini, di hutan ini, pencahayaan hanya berasal dari petromaks dan obor.
Meski begitu, tidak menghalangi puluhan orang, termasuk saya, untuk terus berbincang. Sesekali suara hewan malam turut menimpali.
Dari tengah hutan, secara perlahan cahaya lampu memecah kegelapan. Tak lama terdengar suara anggota komunitas Air Selamun (Arsel). Orang-orang yang tengah mengobrol pun langsung berpaling dan turut menyimak perbincangan mereka.
"Malam ini bulan cukup terang, tidak banyak yang terlihat. Kita hanya bisa mendapatkan satu saja dan saya kembali ingatkan peraturannya ya," ujar ketua komunitas Arsel, Adi Darmawan, kepada wartawan yang Sabtu (9/11) malam itu mengikuti trekking di Bukit Peramun, Belitung.
Setelah memaparkan sejumlah aturan main, rombongan mulai membelah kegelapan hutan. Berbekal lampu senter, kami perlahan berjalan menuju sisi lain hutan. Meski gelap, terlihat satu titik cahaya dari sekitar lima anggota Arsel yang tengah menjaga sebuah pohon. Di situ, bukan pohon dan cahaya senter yang lantas menarik perhatian kami, melainkan mahluk kecil berbulu warna cokelat yang ada di batang pohon tersebut.
Hanya berukuran segenggam tangan orang dewasa, primata itu bernama tarsius. Monyet mini itu sungguh mungil dengan ekor panjang dan mata berukuran besar. Mamalia ini tidak memiliki kelopak mata dan bisa memutarkan kepalanya hingga 180 derajat.
"Karena hewan ini tidak memiliki kelopak mata, tidak boleh mengambil gambar dengan flash dan menyorotnya lebih dari 10 menit. Nanti matanya bisa berair," ujar Adi.
Menurut pria yang akrab disapa Adong tersebut, di kawasan konservasi mereka ada sekiar 80 ribu tarsius. Hewan yang disebut masyarakat sekitar dengan nama 'pelilian' ini dapat diawasi di emapt titik kawasan geopark seluas 115 hektare itu.
Di kawasan ini, pengunjung yang mau melihat tarsius dibatasi hanya tiga kali dalam seminggu. Pembatasan itu pun setelah melalui evaluasi dengan BKSD Bangka Belitung. "Kalau ada yang janggal dengan tarsius yang ada, kita hentikan dulu untuk memastikan kondisi tarsiusnya kembali sehat," ujar Adong. Untuk melihat tarsius ini, komunitas Arsel mematok harga Rp100 ribu per orang, dengan minimal kunjungan dua orang saja.
Kehadiran tarsius di Belitung mematahkan pendapat bahwa primata tersebut hanya ada di Filipina. Sayangnya, primata ini tidak bisa dikembangbiakan. Mereka tergolong hewan yang mencari sendiri pasangannya dan monogamous.
"Hewan ini tidak bisa diternak, tidak bisa dikembangbiakan sembarangan," ujar Adi. Pernyataan Adi juga dibenarkan Eksa, tour guide dari Jendela Wisata. "Tarsius itu paling setia. Kalau pasangannya meninggal, maksimal 4 minggu akan meninggal juga," tuturnya. Karena fenomena tersebut, pemantauan tarsius diperketat dan mereka dibiarkan bebas di alam.
Melek teknologi
Tidak semata melihat tarsius, di Desa Peramun ini ada tiga paket kegiatan lainnya. Ada wisata alam dengan trekking 115 meter untuk melihat beberapa titik yang menarik, seperti batu kembar, hutan ulin, dan beberapa titik instagramable. Untuk wisata alam dikenai biaya Rp10 ribu per orang, dengan minimal lima peserta.
Nah, bagi yang suka cross country, ada jalur 1,8 km dengan waktu tempuh 3 jam. Paket seharga Rp160 ribu per orang itu minimal diikuti lima peserta. Harga tersebut sudah termasuk makan siang dan coffee break.
Paket terakhir ialah sekolah alam. Di sini, Anda bisa mengenal berbagai jenis tanaman. Tepatnya 147 pohon, 8 anggrek, dan 30 jenis lumut yang ada di kawasan ini.
Kawasan konservasi yang dibuka sejak 2017 ini termasuk melek teknologi. Pengunjung tidak perlu repot untuk mendapat informasi jenis pepohonan yang ada. Cukup memindai kode QR yang disematkan di setiap pohon untuk mengetahui informasi tentang pohon tersebut.
Tidak hanya itu, mereka juga memiliki VR yang mengajak pengujung melihat kawasan mereka secara digital. Ke depannya, Adi berencana mengembangkan ke 360 derajat dan video sehingga pengunjung bisa mendapatkan sensasi berbeda.
Kegigihan komunitas Arsel mengembangkan kawasan itu ternyata mendapatkan respons positif dari BCA. Desa Peramun merupakan desa ke-8 dari 12 desa yang mendapatkan bantuan corporate social responsibility (CSR) dari BCA. "Daerah ini kaya dengan berbagai keistimewaan, tanaman, batuan, bukit. CSR yang kami berikan juga bukan bentuk dana, melainkan lebih ke bantuan pelatihan sumber daya manusia," ujar Executive Vice President CSR BCA Inge Setiawati dalam rangkaian Kafe BCA on the road-Belitung 2019 di Desa Peramun.
Danau Kaolin
Sesaat sebelum tiba di Belitung, dari pesawat kita bisa melihat sejumlah danau dengan warna hitam dan putih. Danau tersebut ternyata bekas tambang yang sudah terisi air. Nah, warna hitam merupakan tambang timah, sedangkan warna putih berasal dari tambang kaolin. Kaolin merupakan mineral yang dipergunakan untuk industri kosmetik, kertas, makanan, dan pasta gigi.
Ketika ke Belitung, jangan lupa mampir melihat Danau Kaolin yang tidak jauh dari Bandara HAS Hanandjoeddin. Warna air danaunya biru dengan banyak pasir putih di sekitarnya. Di kawasan ini masih terlihat ekskavator yang masih menambang di satu sisi.
Menariknya, warna Danau Kaolin ini bisa berubah sesuai dengan posisi matahari. Di pagi hari, warna danau bisa berubah menjadi warna hijau, sedangkan siang hari menjadi biru, dan warna gelap disaat malam hari.
Pantai
Berkunjung ke Belitung memang tidak afdal bila tidak mampir ke pantai dan pulau-pulau yang ada di sekitar pulau utama. Salah satu pantai yang wajib dikunjungi ialah Pantai Tanjung Tinggi.
Pantai itu diapit dua semenanjung, yaitu Tanjung Kelayang dan Tanjung Pendam. Kawasan yang banyak terdapat batuan besar ini merupakan lokasi syuting film Laskar Pelangi sehingga banyak orang setempat menyebutnya sebagai Pantai Laskar Pelangi.
Di kawasan ini, selain formasi bebatuan besar yang menarik, warna air lautnyanya pun jernih. Dasar laut dapat terlihat amat jelas.
Sementara itu, sekitar 30 menit menumpang kapal dari dermaga Tanjung Kelayang, pengunjung bisa menilik menara mercusuar di Pulau Lengkuas. Menara mercusuar yang dibangun pada 1885 ini masih tetap dipergunakan untuk memandu kapal yang lewat kawasan ini. Maka dari itu, wisatawan dilarang naik ke mercusuar karena alasan keamanan.
Sayangnya, pantai putih yang mengelilingi pulau ini agak tercemar dengan sampah. Ada sejumlah botol dan kemasan plastik yang tersebar di dekat bebatuan besar.
Dari Pulau Lengkuas, jangan lupa mampir Pulau Kelayang. Di sini kita bisa melihat bebatuan besar berbentuk mirip dengan garuda. Bila menyusuri ke arah hutan, ada gua yang terbentuk dari bebatuan granit besar. Bebatuannya tidak terlalu rapat sehingga cahaya masih masuk.
Sayangnya, saat Media Indonesia berkunjung, air sedang pasang sehingga untuk masuk ke gua harus melalui air laut yang tingginya sepinggang.
Layaknya pulau-pulau kecil yang ada di Belitung, semua didominasi dengan pantai pasir putih, bebatuan besar, dan air laut yang jernih. Sangat menggoda untuk berenang. (M-2)
BOX
Aturan Melihat Tarsius
1. Jarak foto minimal 1 meter.
2. Durasi pengamatan maksimal 10 menit.
3. Dilarang memfoto menggunakan blitz.
4. Dilarang berisik.
5. Dilarang menyentuh tarsius.
6. Dilarang memberi makan tarsius.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved