Headline

Manggala Agni yang dibentuk 2002 kini tersebar di 34 daerah operasi di wilayah rawan karhutla Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.

Fokus

Sejak era Edo (1603-1868), beras bagi Jepang sudah menjadi simbol kemakmuran.

Jatiwangi Menyebarkan Nada

Fik/M-1
07/2/2016 09:45
Jatiwangi Menyebarkan Nada
(MI/Adam Dwi)

JATIWANGI, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, memiliki tradisi juga legenda tentang genting tanah liat. Produksi bahkan dimulai sejak 1905 dan kini masih bertahan kendati jenis bahan penutup bangunan kian beraneka.

Para pemudanya, Tedi Nurmanto, Anzat Agung Fauzan alias Aaf, dan Ahmad Thian Vultan, akrab disapa Ami, melakukan terobosan dengan memperbanyak peranti yang dibuat dari tanah liat, kekayaan alam kampung mereka. Mereka membuat alat musik tiup, petik, dan perkusi berbahan tanah dengan teknik tradisional yang bergantung pada kemurahan cuaca.

Alat tiup, seperti suling tanah dan gading, alat petik berupa gitar dan bass, serta alat perkusi, seperti terranika dan sadatana mereka produksi. Semuanya berbahan tanah liat, kecuali terranika yang dibuat dari genting-genting yang telah jadi dan dipotong menjadi bilah-bilah yang nantinya dipukul dengan stik.

Istimewanya terranika punya resonansi panjang, padahal tidak ada tabung resonansi. Wujudnya seperti saron gamelan jawa. Jenis tanah yang mereka manfaatkan ternyata juga memengaruhi kualitas. “Jika pasirnya halus, suara yang dihasilkan akan lebih bagus,” kata Ami.“Inovasi terranika ini dirintis tahun lalu pas program Tahun Tanah. Kegiatan seni yang mengekplorasi kekayaan tanah liat Jatiwangi,” ujar Ami kepada Media Indonesia saat mengunjungi lokasi produksi mereka di Jatiwangi, Selasa (2/2).

Jatiwangi Art Factory
Pergerakan tiga pemuda itu berawal dari perhelatan yang digelar komunitas anak-anak muda Jatiwangi, Jatiwangi Art Factory. Kumpulan pecinta seni dan kekayaan lokal itu sebelumnya telah membuat alat musik yang mereka sebut sadatana atau suara tanah. Sadatana lazim dimainkan pada upacara panen. Produksi alat musik serta pergerakan Jatiwangi Art Factory dirintis sang pendiri, Arief Yudi Rahman, 49.

Dalam menggeluti kekayaan alam dan kearifan lokal, Jatiwangi punya kegiatan seni rupa dengan meng­undang residensi dari mahasiwa universitas di dalam dan luar negeri. Mereka mendalami Jatiwangi dan menyerap kekayaan budaya lokalnya.

Tiga sekawan Tedi, Aaf, dan Ami kemudian membuat aksi itu lebih berkesinambungan. Mereka membentuk grup musik bernama Hanya Terra. Kata terra dalam bahasa Yunani berarti tanah.

Sambil bermusik mereka membuat alat-alat musik. Tak disangka responsnya bagus. Penikmatnya bahkan menjajaki kemungkinan untuk membeli. “Satu gitar produksinya Rp4 juta-Rp8 juta. Sudah ada 15 gitar yang diproduksi, paling laku kalau pameran seni rupa ketika kami juga tampil di sana. Biasanya dijual Rp10 jutaan. Ada juga yang beli satu set bas, sadatana, dan suling, total Rp25 juta,” kisah Tedi.

Tedi membuat bodi gitar dari sebuah genting berukuran besar. Sementara itu, bagian leher gitar menggunakan kayu maple. Ia menyatukan tanah dan kayu dengan resin. Waktu pengerjaan untuk sebuah gitar hingga 2-4 minggu.

“Produksi tidak menentu, suling seminggu 500 buah, bisa juga tidak produksi. Lama produksinya 30 menit. Membentuk dan pengeringan seminggu. Produksi 100 biji bisa 30 gagal karena pecah saat pembakaran,” lanjut Tedi.

Dongkrak nilai jual
Kreativitas dan inovasi mereka ternyata mampu meningkatkan nilai tanah. “Genting perbuahnya Rp2-3 ribu, tapi kalau sudah jadi alat musik dijual minimal Rp75 ribu untuk satu suling tanah. November tahun lalu berhasil bikin suling tanah 7.000 untuk seluruh warga dalam acara festival keramik di Jatiwangi,” papar Tedi.

Kendati tanah Jatiwangi terus digali, sumber daya alam itu ­masih berlimpah. Kendalanya hanya cuaca untuk mengeringkan.

“Kami masih mempertahankan cara tradisional karena ini identitas kami berasal. Ketika kemarau, selama 3-4 hari, 80% sudah kering, tapi kalau musim hujan susah untuk menepati janji tepat waktu,” terang Ami.

Saat ini Jatiwangi Art Factory dikawal 10 orang di tim produksi. Tahun ini pula, mereka mempersiapkan sistem pengerjaan yang lebih efektif. Harga untuk tiap-tiap produk pun telah dipatok. Satu terranika dijual Rp4 juta, sedangkan ­Sadatana Rp300 ribuan.“Kebanyakan harga yang menentukan pembeli. Kami belum bisa patok harga,” seloroh Tedi.

Keterampilan produksi serta mematok harga, lanjut Arief, ­seharusnya juga diikuti anak-anak muda Jatiwangi lainnya agar kampung mereka kian dikenal.

“Saya membebaskan anak-anak membangun sistemnya. Industri itu bukan soal uang, melainkan juga identitas, kebudayaan, dan pengetahuan turun temurun. ­Karena itu, kami masih menerapkan cara lokalitas dan tradisional untuk bertahan dari terpaan budaya lain,” pesan Arief. (Fik/M-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ricky
Berita Lainnya