Headline

Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.

Fokus

Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.

Nama sebagai Tanda

Ahmad Tarmizi Staf Bahasa Media Indonesia
24/11/2019 06:10
Nama sebagai Tanda
Staf Bahasa Media Indonesia Ahmad Tarmizi(Dok. MI)

APA jadinya bila kita hidup tanpa sebuah nama? ­Komunikasi tidak berjalan. Tidak bisa saling mengenal. Tentu saja repot, bukan?

Pujangga asal Inggris, William Shakespeare (­1564-1616), pernah mengatakan “What’s in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet.” Jika diterjemahkan ‘apalah arti sebuah nama? Andai kata kau berikan nama lain untuk bunga mawar, ia tetap akan berbau wangi’.

Terkadang dalam kehidupan sehari-hari, kita sering kali mendengar atau memanggil seseorang dengan nama asli ataupun samaran. Dengan begitu, ada saja beberapa orang yang bila dipanggil namanya terdengar unik, bahkan lucu bagi kita. Ini merupakan sebuah tanda bahwa nama itu memiliki sifat manasuka.

Bicara soal nama, ada beberapa faktor yang menjadi penyebab dalam pemerolehan nama. Pertama, faktor budaya. Penulis mengambil contoh dari orang Karo. Dahulu orang Karo memiliki pemahaman bahwa semua benda mempunyai roh. Selain itu, mereka memperoleh nama dari lingkungan dan apa yang terjadi di sekitarnya saat si bayi dilahirkan. Karena itu, mereka sering menamai anak mereka dengan benda-benda atau peristiwa yang ada saat itu, misalnya, Kursi Singarimbun, Meja Sembiring, dan Merdeka Sembiring.

Selain di Indonesia, ternyata di Eropa pun banyak yang memiliki nama unik dan lucu jika diterjemahkan. Pada awalnya, orang-orang di Eropa sering mengaitkan profesi orangtua dengan nama anaknya, seperti Carrie Underwood (Carrie di bawah kayu), Tom Cruise (Tom pelayaran), Sandra Bullock (Sandra lembu jantan), dan David Cook (David memasak).

Dari sini dapat diketahui bahwa apa yang dikatakan William terkait dengan nama ialah tidak bisa dijadikan sebagai tolok ukur seseorang. Meski namanya terdengar unik, lucu, bahkan seolah-olah asal-asalan, jika orang tersebut berperilaku baik atau sukses dalam kehidupannya, akan harum juga namanya di tengah masyarakat.

Sementara itu, yang kedua ialah faktor agama. Sebagian besar umat Islam memiliki nama yang diambil dari Alquran, seperti Abdurrahman, Abdul Malik, Muhammad Fattah, dsb. Menurut keyakinan orang Islam, nama ialah doa untuk si bayi--ketika lahir--agar menjadi apa yang diharapkan kedua orangtuanya.

Berbeda dengan faktor pertama, yang tidak menjadikan nama sebagai tolok ukur seseorang, faktor yang kedua merupakan sebuah harapan yang ditaruh lewat nama. Dengan nama yang baik, diharapkan akan menjadi baik pula akhlak dan kehidupan seseorang.

Di luar dari konteks itu, ternyata ada lagi faktor penyebab dalam pemerolehan nama, yaitu faktor finansial. Dalam konteks ini, biasanya digunakan oleh sebagian kalangan selebritas. Nama yang mereka pilih itu dapat membuat kepopuleran mereka: menjadi daya tarik penonton. Beberapa dari kalangan selebritas yang memiliki nama panggung, seperti Muhammad Sulaeman Harsono atau lebih akrab disapa Bolot, Rini Fatimah Jaelani atau Syahrini, Entis Sutisna atau Sule, dan Alfiansyah atau Komeng.

Jika dilihat dari kacamata bahasa, nama berasal dari sebuah kata. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi daring, kata ialah unsur bahasa yang diucapkan atau dituliskan merupakan perwujudan kesatuan perasaan dan pikiran yang dapat digunakan dalam berbahasa.

Sebagaimana sifatnya, bahasa memiliki sifat manasuka atau bahkan disebut sekenanya. Oleh karena itu, dalam memberikan nama kepada anak, berilah nama yang baik dan bermakna. Itu karena nama yang bagus merupakan hak anak kepada orangtua.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya