Headline
Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.
Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.
JUDUL di atas merupakan peribahasa Jawa yang maknanya menyela-nyela orang yang sedang bercakap-cakap. Dalam makna yang lebih luas, khususnya dalam gerakan politik, mbarung sinang itu mengandung pengertian menimbrung atau menunggangi kegiatan pihak lain demi memperjuangkan nafsunya.
Hal itulah yang belakangan ini santer tersuarakan saat mahasiswa turun ke jalan berdemonstrasi di sejumlah wilayah Nusantara untuk menentang rencana pengesahan sejumlah undang-undang. Diduga, ada pihak-pihak tertentu yang ikut bermain menunggangi gerakan murni mahasiswa guna mengegolkan agenda atau target-target inkonstitusionalnya.
Menolak Gathotkaca
Dalam dunia wayang, permainan politik tengik seperti itu juga ada. Salah satu aktor kondang yang lihai mbarung sinang adalah Sengkuni, patih Negara Astina pada rezim Duryudana (Kurawa). Tujuan besarnya semata demi melanggengkan kekuasaan Duryudana.
Kisahnya, rezim Duryudana selalu merasa terganggu selama Pandawa masih hidup atau eksis. Maka, satu-satunya cara untuk mempertahankan kekuasaannya atas takhta Astina adalah dengan mengenyahkan Pandawa.
Strategi politik yang dilakukan Sengkuni tidak pernah jauh-jauh dari mahzab Machiavellis, menghalalkan segala cara. Licik, tipu-muslihat, menghasut, lempar batu sembunyi tangan, memancing di air keruh dan perilaku kiri lainnya menjadi model perjuangannya. Termasuk menunggangi aksi-aksi jalanan yang terjadi di mana pun.
Dalam suatu cerita, gerakan yang pernah ditunggangi ialah unjuk rasa Brajadenta yang menolak rencana pelantikan Gathotkaca sebagai raja baru di Negara Pringgondani. Brajadenta mengomandoi massa pengikutnya di Kesatrian Glagahtinunu untuk menggagalkan penobatan Raja Gathotkaca, putra tunggal kakaknya sendiri, Arimbi.
Pembangkangan Brajadenta itu karena merasa dirinya yang berhak menjadi raja Pringgondani setelah kakak sulungnya, Arimba, gugur. Bukan Gathotkaca, yang ia sebut sebagai anaknya musuh karena lahir dari benih Werkudara, panenggak (anak kedua) dalam keluarga Pandawa.
Unjuk rasa Brajadenta bersama pendukungnya yang telah berlangsung sekian lama sampai ke telinga Sengkuni. Dengan izin Duryudana, Sengkuni berangkat menemui Brajadenta untuk menyampaikan dukungannya.
Ketika tiba di rumah Brajadenta, di sana sudah ada Kala Bendana yang menjadi utusan Arimbi. Kala Bendana, adik bungsu Arimbi, mengingatkan sang kakak, Brajadenta, untuk taat terhadap kesepakatan yang telah ditandatangani semua keluarga besar keturunan Prabu Tremboko, yakni Gathotkaca sebagai raja Pringgondani, sedangkan patihnya, Brajadenta.
Mendiang Tremboko, yang beristri Hamdimba, memiliki delapan anak, yakni Arimba, Arimbi, Brajadenta, Brajamusti, Brajalamadan, Brajawikalpa, Prabakesa, dan Kala Bendana.
Kala Bendana juga mengajak Brajadenta untuk melakukan dialog dari hati ke hati dengan Gathotkaca bila ada sesuatu yang mesti diperbaiki. Ia menjamin Gathotkaca pasti membuka hati lebar-lebar, karena ia tahu Gathotkaca memandang jabatan raja sebagai amanah dan kekuasaan bukanlah ambisinya.
Kala Bendana juga menyarankan sang kakak tidak melanjutkan aksi pembangkangan. Karena jika itu terus dilakukan, dipastikan akan merusak persatuan trah Tremboko. Pihak lain yang tidak suka pasti akan tertawa dan bertepuk tangan.
Dibantu Kurawa
Brajadenta kukuh pada pendiriannya. Ia menolak mentah-mentah semua saran dan usulan yang disampaikan Kala Bendana yang ia anggap dungu. Bahkan, lebih daripada itu, ia mengancam jika semua saudaranya tidak bersama dalam barisannya, akan menjadi musuh-musuhnya.
Kemudian Brajadenta memberikan waktu kepada Sengkuni untuk bicara tentang apa keperluannya datang ke Glagahtinunu. Sengkuni menyatakan dirinya diutus Duryudana untuk menyampaikan dukungannya terhadap aksi Brajadenta yang menolak pelantikan Gathotkaca. Tidak cukup sampai di situ, seluruh kekuatan Kurawa siap membantu.
Menurut Sengkuni, dukungan itu diberikan karena Duryudana menilai langkah Brajadenta itu sudah benar. Dasarnya, yang berhak atas takhta Pringgondani memang seharusnya anak-anak Tremboko, bukan orang lain. Apalagi, anak Werkudara yang adalah anak Pandu yang membunuh Tremboko.
Kala Bendana marah besar dengan Sengkuni. Kehadiran dan omongan Sengkuni dianggap sebagai campur tangan urusan orang lain. Namun, ia malah dibentak Brajadenta. Merasa sudah tidak ada artinya dan sang kakak tidak bisa diingatkan lagi, Kala Bendana lalu meninggalkan Brajadenta.
Dalam skenario besarnya, Sengkuni mengalkulasi Brajadenta, yang memiliki kesaktian yang luar biasa, tidak akan kesulitan menyirnakan Gathotkaca. Dengan demikian, itu akan mengurangi kekuatan inti Pandawa mengingat Gathotkaca adalah senapati Amarta.
Berikutnya, bila Gathotkaca mati, itu akan memantik kemarahan besar Pandawa. Bisa ditebak, akan terjadi perang antara Pandawa dan Brajandeta. Pada saat itulah ia akan mengerahkan seluruh kekuatan Kurawa mendukung Brajadenta. Hitung-hitungannya, gabungan dua kekuatan itu akan mampu menghancurkan Pandawa.
Namun, Sengkuni lupa bahwa kekuatan Brajadenta tidak didukung semua saudara kandungnya, terutama Brajamusti. Memang, bila Brajadenta-Brajamusti bersatu, keduanya akan menjadi kekuatan yang dahsyat yang tidak akan terkalahkan.
Variabel itulah yang tidak diperhitungkan Sengkuni. Maka, ketika benar-benar terjadi peperangan antara Brajadenta dan Gathotkaca, Brajamusti terbukti menjadi kunci. Brajamusti-lah yang akhirnya yang melenyapkan Brajadenta. Keduanya mati sampyuh, bersama-sama.
Ajaibnya, Brajadenta dan Brajamusti menjelma menjadi ajian yang merasuk ke kedua belah tangan Gathotkaca.
Senantiasa waspada
Kurawa yang menimbrung dalam peperangan itu akhirnya kocar-kacir. Mereka kembali ke Astina dengan tangan hampa, malah babak belur. Target Sengkuni menghancurkan Pandawa dengan menunggangi Brajadenta lagi-lagi gagal, meski itu bukan politik busuknya yang terakhir.
Sebaliknya, Pandawa semakin kuat karena kesaktian senapatinya, Gathotkaca, bertambah. Pasca-ontran-ontran tersebut, seluruh elemen Pringgondani solid bersatu padu mendukung kepemimpinan Gathotkaca.
Dalam konteks hak konstitusional berdemonstrasi, belajar dari hikmah kisah tersebut, setiap komponen bangsa mesti senantiasa sadar dan waspada kemungkinan adanya ‘Sengkuni-Sengkuni’ yang mbarung sinang. Dengan demikian, persatuan dan kesatuan bangsa tetap terjaga sehingga eksistensi negeri lestari. (M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved