Headline

Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.

Fokus

F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.

Resiliensi Manusia akan Kompleksitas Hidup

Fathurrozak
28/9/2019 23:45
Resiliensi Manusia akan Kompleksitas Hidup
100% Manusia Film Festival.(IMDB.COM)

SEBAGAI pegiat film, N Wilson menyempatkan untuk menyaksikan film-film yang ditayangkan di 100% Manusia Film Festival tahun ini. Tully (2018), tentang kehidupan seorang ibu dengan tiga anak dan peng­asuhnya yang dibintangi Charlize Theron; Amanda (2018), film asal Prancis yang mengupas hubungan tokoh David dan Amanda; serta An Almost Ordinary Summer (2019), bercerita tentang dua orang pria yang berencana untuk menikah.

Tiga film itu dirampungkan perempuan yang pernah berkuliah di konsentrasi kajian dan kritik film di Inggris ini. Dengan muatan film-film yang mengangkat kisah humanis tersebut, ia mengatakan festival semacam ini menjadi penting untuk dihadirkan pada publik sebagai wahana pembelajaran, pun refleksi kebudayaan. “Dan mungkin dengan cerminan ini kita dapat belajar atau untuk menumbuhkan empati,” ungkapnya pada Rabu (25/9).

Pada tahun ini, 100% Manusia Film Festival memasuki penyelenggaraan kali ketiga. Secara konsisten, festival ini hadir sebagai alternatif dalam mengajukan isu-isu yang berpayung pada penghormatan nilai-nilai humanisme dalam ranah hak asasi manusia. Resiliensi manusia ialah topik yang menjadi benang merah pada film-film yang dikurasi untuk disajikan ke publik pada tahun ini setelah dua penyelenggaraan sebelumnya mengusung isu kebe­ragaman dan inklusivitas.

“Secara general, dari tiga film yang aku tonton, aku menangkap semua bertema sama seperti nama festivalnya, ‘manusia’. Cerita ketiganya berbeda, tapi sangat ‘berbau’ realitas pengalaman manusia. Tidak ada cerita yang terlalu far fetched atau terlalu fantastis. Di setiap film itu kita bisa mencicipi rasa realitas hidup seseorang yang mungkin mencerminkan diri kita sendiri atau dapat membantu kita untuk mengerti orang lain. Sifat kemanusiaan yang kompleks, tapi sangat dibutuhkan untuk diketahui,” tambah Wilson.

Kesan yang ia tangkap tidak meleset. Seusai menyaksikan sejumlah film di 100% Manusia tahun ini, seperti Song Lang (2018), Free Men --film asal Swiss yang premiere perdana di Asia-- dan Head Above Water (2018), amat terasa muatan isu berupa ketebalan kompleksitas hidup manusia. Song Lang mengartikulasikan pergulatan dua karakter dalam perasaan yang sembunyi-sembunyi. Sementara itu, Free Men ialah dokumenter yang menyuguhkan ironi manusia-manusia sekitar tokoh utama Kenneth Reams, serta secara cergas menyodorkan pergulatan mental Kenneth dalam menghadapi hukuman mati.

Isu tersebut bertubrukan dengan realitas hukuman mati yang ada di Indonesia dan betapa terluntanya para pidana hukuman mati. Film yang diproduksi oleh Swiss, sebagai negara yang sudah meniadakan hukuman mati, hadir merefleksikan sensibilitas dari sudut pandang bagaimana hukum melucuti hak hidup manusia, hak yang paling mendasar. Adapun Head Above Water berkutat pada irisan per­soalan keluarga dan coming of age dari seorang remaja yang juga harus mengatasi permasalahan domestik.

Film-film tersebut ialah kisah-kisah kehidupan manusia yang amat personal, tapi di saat yang sama mencerminkan nilai-nilai universal. Bagaimana seseorang memperjuangkan hak dasarnya untuk hidup, menuntaskan keruwetan yang menggelayut, atau perkara yang belum selesai dituntaskan secara intrapersonal sebelum mencuat ke tahap interpersonalnya. Lensa mikro yang menyorot kisah-kisah manusia non-hero inilah berintensi untuk memaknai kemanusiaan secara intim nan karib.

Memanusiakan manusia

Lewat kompleksitas yang muncul dari setiap karakter di film-film 100% Manusia, lalu menjadi relevan saat para tokohnya harus mengalami plot-plot yang tidak menyenangkan dalam hidup, seperti betapa tidak menyenangkannya masa kecil Dung dalam Song Lang yang harus ditinggal ibunya. Dan betapa tidak sesuainya harapan yang didambakan Elis untuk bisa pacaran dan melanjutkan kuliah daripada harus terjebak dengan ayahnya untuk mengurus saudari Elis, Manon yang punya handicap.

Kondisi-kondisi itulah yang kemudian juga menimbulkan tekanan dalam hidup. Untuk itu, menabalkan gagasan resiliensi pada festival 100% Manusia patut diapresiasi sebagai ruang dialog diri: Seberapa tangguh kita menghadapi kerumitan hidup?

Direktur Festival Rain Cuaca menyebut gagasan festival yang sepenuhnya digerakkan oleh para sukarelawan ini ialah memanusiakan manusia. “Kami percaya bahwa semua orang 100 persen manusia, dengan berbagai macam karakteristiknya harus bisa saling menghargai dan menghormati,” ungkapnya saat ditemui di Pusat Kebudayaan Prancis di Jakarta, IFI Thamrin, Selasa, (24/9).

“Yang diceritakan ialah tentang ketahanan seseorang dalam menghadapi masalah hidupnya. Ada yang personal, ada juga yang lebih besar dari dirinya, seperti melawan sistem. Kami juga mengangkat isu kesehatan mental, juga perjuangan personal untuk menghargai dan berbuat adil untuk diri sendiri.”

Dengan menengahkan isu-isu kemanusiaan, ia berharap film-film itu dapat menyebar dan menumbuhkan benih-benih empati terhadap para audiens. “Dari hal kecil dulu, nanti jadi efek bola salju menuju hal yang lebih besar.” (M-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya