Headline
Pemerintah tegaskan KPK pakai aturan sendiri.
Hampir semua orang keluar rumah. Mereka berpesta kembang api. Mereka beramai rayakan malam dengan teman dan keluarga. Sesaat setelah senja, bersepakat pula mereka tentang masa bermula pesta. Jalanan penuh kendaraan bermacam merek. Lalu lintas macet menjadi pemandangan yang hampir sama di sepanjang jalanan besar. Maklum malam itu ialah malam tahun baru. Namun, suasana demikian hanya didapati di kota. Jauh di pelosok perkampungan di wilayah Kabupaten Jombang, Jawa Timur, suasana demikian sayup. Biasanya warga penduduk Desa Rejoagung merayakan malam tahun baru dengan doa bersama.
Mereka berkumpul di sebuah sekolah dasar untuk melakukan istighosah. Namun, malam itu berbeda meski mereka tetap juga berkumpul dan mendirikan tenda. Sebab doa yang mereka baca adalah doa untuk orang meninggal. Ya, malam itu masyarakat kampung tengah kehilangan salah satu warga. Lazimnya ketika terjadi sripahan (kematian), mereka berbondong-bondong mendatangi rumah keluarga yang ditinggal. Rumah tempat jenazah disemayamkan.
Mereka menghibur dan menguatkan keluarga yang tinggal mati. Tak lupa, para perempuan membawa beras atau mi instan untuk sekadar membantu keluarga duka. Para pria melakukan tugas untuk mempersiapkan prosesi penguburan, sedangkan yang lain membaca bacaan surat Al-Ikhlas. Terus-menerus mereka membaca bergantian, sampai jenazah dikuburkan.
Setelah jenazah dikuburkan, prosesi tidak berhenti. Mereka akan berkumpul lagi di rumah duka keluarga jenazah guna membaca doa. Mereka biasa menyebutnya dengan ikhlasan.
Istilah ini merujuk pada bacaan yang dilantunkan, yakni surat Al-Ikhlas. Upacara berlangsung selama 7 malam dihitung dari saat jenazah meninggal. Sebab itu pula, mereka juga menyebut dengan nama lain, pitungdinanan (7 harian). Prosesi pembacaan doa dimulai setelah saat senja. Mereka biasa memakai patokan waktu salat untuk menandai mula berkumpul setelah jemaah salat isya. Prosesi doa biasa dipimpin oleh seorang kiai. Sebelum prosesi doa dimulai, biasanya mereka duduk saling berhadapan.
Ini dilakukan agar terjadi suasana akrab di kalangan mereka. Mereka biasanya memanfaatkan beberapa saat sebelum prosesi dimulai dengan saling berbincang dan bercanda.
Namun begitu, prosesi dimulai, mereka bakal serentak menghadap ke arah kiblat. Salah satu dari pada jemaah ditunjuk untuk menjadi pemimpin doa. Keluarga jenazah menyediakan makanan bagi para pelayat. Keluarga meniatkan bersedekah yang pahalanya ditujukan pada arwah jenazah. Hal ini berlaku sampai 7 malam.
Selama itu pula, beberapa tetangga dekat datang lebih awal sebelum acara dimulai guna membantu proses penyiapan makanan. Jumlah surat yang dibaca pun ada hitungannya.
Mereka biasa menggenapkan jumlah bacaan sampai 100.000 kali. Jumlah tersebut secara keseluruhan dibagi sesuai jumlah peserta yang hadir. Mereka percaya bacaan surat Al-Ikhlas itu sangat berarti bagi jenazah di alam kubur. Mereka meyakini bacaan tersebut juga bakal menjadi penebus jenazah dari neraka. Prosesi itu tidak berhenti sampai malam ke-7. Prosesi kirim doa untuk orang meninggal juga akan dilaksanakan kembali pada hari ke-40, ke-100, dan ke-1.000.
Akulturasi budaya
Mahsunuddin, salah seorang pemuka agama, menyatakan bahwa tradisi tersebut juga punya landasan tersendiri dan telah berlangsung lama. "Itu ada landasannya, bahkan ada kitabnya," ujar Mahsunuddin. Tradisi kirim doa di Jawa secara umum disebut selametan. Namun dalam kejadian khusus seperti kematian ada sebutan lain yang juga bermakna sama, yakni fida'an atau ikhlasan. Tradisi selametan diduga berusia sangat tua. Telah berlangsung lama sejak masuknya agama Islam di tanah Jawa.
Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada Prof Sunyoto Usman menerangkan bahwa tradisi ini tidak terlepas dari kearifan para penyebar mula Islam di Jawa. Menurutnya, sejak jaman sebelum masuknya agama Islam, masyarakat Jawa sudah terbiasa dengan tradisi Selametan. Tradisi ini adalah tradisi mengirim sesaji untuk para arwah. Namun, dengan datangnya penyebar Islam yakni Wali Songo. Tradisi ini tidak diberangus, melainkan disesuaikan agar tidak melenceng dari ajaran Islam.
"Bentuknya tidak diubah, tapi diisi dengan doa-doa," tegas Sunyoto. Akulturasi budaya juga disebut Sunyoto sebagai pola yang terjadi dalam tradisi Selametan. Sebab dalam menyebarkan Islam, Wali Songo memakai metode akomodasionis, yakni mengakomodasi kebiasaan ritual masyarakat terdahulu dengan penyesuaian isi. Menurut Sunyoto, metode itu juga berlaku pada tradisi kenduren dan ambengan yang sampai saat ini masih banyak dilakukan oleh masyarakat Jawa.
Pada akhirnya, akulturasi budaya macam inilah yang semakin menambah khazanah Nusantara. Nilai-nilai kebersamaan, kekeluargaan, keguyuban, dan kerukunan akan tetap terjaga dan tersemai. Meski dapat dikata selalu, ketika terkait agama, pemasalahan menjadi lebih kompleks. Namun, apa pun itu. Perbedaan pemahaman, kepercayaan, bahkan keyakinan sekalipun bukanlah alasan untuk melakukan kekerasan. Baik kekerasan lahir maupun kekerasan batin. (M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved