Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
SEBELUM mendirikan pesantrennya sendiri di kawasan Bojong Gede, Bogor, KH Ali Syibromalisi ialah santri di Pondok Pesantren Tebuireng di Jombang, Jawa Timur. Saat itu dirinya telah berstatus sebagai mahasiswa dan menyantri selama 7 tahun.
“Saya nyantri di Tebuireng tempat kakeknya Gus Dur. Saya nyantri tahun 1983 tapi saat sudah dewasa, sudah kuliah di Universitas Hasyim Ashari. Di sana mayoritas itu santrinya ialah anak Jakarta yang mana biasanya anaknya sudah nakal baru dibawa ke pesantren,” kenang Kiai Ali kepada Media Indonesia, Rabu (10/7).
Saat ia masih di pesantren, peraturan yang diterapkan belum ketat. Sang kiai membebaskan para santri. Ada santri yang diperbolehkan merokok. Kalau ada masalah antarsantri, sang kiai membiarkan mereka menyelesaikan masalahnya sendiri sebagai bagian dari proses belajar.
“Tapi lama-lama setelah Gus Sholah (Salahuddin Wahid) memegang pesantren mulai ada aturan yang ketat, tidak boleh merokok dan lain sebagainya,” imbuhnya.
Selama nyantri, Kiai Ali ternyata mendapatkan kesempatan besar. Ia pernah dipercayakan memimpin anak-anak santri asal Jakarta yang ada di pesantren.
“Saya di sana dipercayakan memimpin anak-anak Jakarta yang ada di bawah saya karena saat itu saya sudah kuliah. Jadi ada sekitar 60 santri dari Jakarta saya yang menangani, jadi di Tebuireng itu ada organisasi per daerah.”
Setelah 7 tahun menyantri di Tebuireng, Kiai Ali kembali pulang ke kampung halamannya, Bogor. Selama di Tebuireng, tidak hanya menimba ilmu ternyata Kiai Ali mendapatkan pendamping hidup.
Bersama istrinya, mereka mulai merintis membangun sebuah pesantren di kawasan Bojong Gede, Bogor. “Berdasarkan pengalaman di Tebuireng dan selesai kuliah dan alhamdulilah mendapat jodoh juga di sana, kemudian pulang dan merintis di sini,” pungkasnya. (Riz/M-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved