Headline
Karhutla berulang terjadi di area konsesi yang sama.
Karhutla berulang terjadi di area konsesi yang sama.
Angka penduduk miskin Maret 2025 adalah yang terendah sepanjang sejarah.
WILAYAH itu berlimpah dengan tanaman semusim yang banyak digunakan sebagai bahan utama penghasil gula. Begitulah suasana di Wonokerto, Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Dari ladang tebu itulah masyarakat menggantungkan pencarian dari generasi ke generasi. Salah satunya ialah Mardianto. Ia mengaku tidak ingat mula usia menjadi petani tebu. Ia hanya menjelaskan mulai bergelut dengan tanaman tebu sejak ia bisa membantu orangtua di lahan tebu.
“Sejak kapan ya, sejak bisa membantu orangtua. Petani tebu kan warisan, dari kakek buyut kami. Tapi ya dengan pola yang itu-itu saja,” ujar salah satu petani tebu, Mardianto, kepada Media Indonesia, Rabu (22/5).
Dari waktu ke waktu, kualitas dan jumlah produksi tebu berkurang akibat perubahan iklim yang menyebabkan badai dan kekeringan pada musim kemarau. Selain itu, sebagian besar tebu sudah tua dan belum diperbarui.
Metode tanam yang statis di tengah lingkungan yang terus berubah itu cukup memukul Mardianto dan petani tebu lainnya. Hal ini meresahkan mereka karena 80% potensi pertanian di Wonokerto ialah komoditas tebu.
Rupanya tebu juga terdampak perubahan iklim. Para petani tebu, mau tidak mau, harus turut beradaptasi jika tidak ingin mata pencarian mereka terlibas. Beruntung mereka terbantu dengan Sekolah Lapang Iklim. Sekolah itu memberi bekal mereka untuk bisa merespons faktor alam yang memengaruhi tanaman tebu mereka.
Sekolah Lapang Iklim (SLI) itu difasilitasi Pemerintah Desa Wonokerto, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Malang, Pemda Malang, Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) Pasuruan, dan USAID Adaptasi Perubahan Iklim dan Ketangguhan (USAID APIK).
SLI bertujuan memperkuat kesadaran petani akan bahaya terkait iklim dan cuaca, mengembangkan akses terhadap informasi iklim dan cuaca, serta meningkatkan produksi tebu. Hal itu dilakukan untuk meningkatkan ketangguhan masyarakat dalam mengelola risiko perubahan iklim.
“Ketangguhan sebuah wilayah akan berpengaruh terhadap ketangguhan ekonomi sosial masyarakat,” terang Climate Adaptation Governance Advisor USAID APIK Ari Mochamad.
Belajar potensi lain
Sebanyak 25 petani tebu diajarkan aspek budi daya, serta kesadaran cuaca dan iklim. Para petani tebu juga belajar mengenali potensi pertanian, menyusun rencana usaha, dan menerapkan teknologi ramah lingkungan, seperti dalam pembuatan pupuk organik. Selain itu, petani belajar mengamati kondisi cuaca dan mengakses informasi BMKG.
“Intinya kita diajarkan bagaimana dengan biaya rendah untuk meningkatkan hasil, pengendalian hama, pengenalan iklim, dan curah hujan. Hama yang akan muncul, kita akan tahu,” tegas Mardianto yang juga peserta SLI.
Mereka bisa memprediksi gangguan terhadap tanaman mereka berdasar iklim dan curah hujan. Kalau curah hujan tinggi, tanaman tebu rentan terkena hama endemis uret yang bisa menyebabkan kehilangan hasil gula cukup besar, yakni hingga 50% per hektare. Sementara itu, kalau terlalu panas, tanaman tebu akan terkena kerak daun. Hama itu semacam jamur di daun.
“Kalau (uret) dibiarkan tumbuhnya kerdil. Kena stunting lah kalau istilah manusia. Kalau daunnya kena (kerak daun), tumbuhnya tidak normal. Tetap tinggi, tapi diameter batang lebih kecil,” tambah Mardianto.
Mereka juga diajarkan untuk menerapkan metode pengendalian gulma pratumbuh. Mereka menggunakan herbisida yang diaplikasikan sebelum tanam tebu ditanam. Hal itu cukup efektif untuk menggantikan cara lama. Sebelumnya, mereka mencabuti gulma saat tanaman tebu telah tumbuh. Metode itu dianggap berhasil memangkas biaya perawatan tanaman tebu.
“Utamanya bagaimana cara kita menggendalikan gulma. Kalau dulu pengendalian gulma kita manual. Akhirnya biaya menjadi tinggi. Sebelum itu kita cabuti dengan tenaga kerja yang banyak, kita (lalu) dikenalkan dengan teknologi pengendalian gulma pratumbuh. Kalau kita hitung biayanya lebih murah,” ujar Mardianto.
Para petani juga mempelajari metode tumpang sari, dengan menggunakan kacang tanah sebagai tanaman sela. Saat tebu belum berproduksi, para petani menanam kacang tanah. Tujuannya, selain untuk memperbaiki struktur tanah, juga untuk penghasilan tambahan. Sekitar 500 kg kacang dari petak percontohan seluas 0,5 hektare, dengan nilai jual sekitar Rp6 juta.
Menurut Mardianto, aplikasi dari pembelajaran SLI mampu membuat produksi tanaman tebu meningkat secara kualitas dan kuantitas. Ia menyebut jika sebelumnya hanya 2 truk bisa meningkat menjadi 2,5 truk.
“Ada semacam penambahan hasil produksi. Yang jelas produksi kita lebih baik, kemudian mutu tanaman lebih baik,” ujar Mardianto yang mengaku mempunyai 0,5 hektare lahan tebu.
Berdasarkan penghitungan hasil panen, 0,5 hektare petak percontohan, bisa menghasilkan 60 ton tebu (120 ton per hektare). Hasil ini meningkat secara signifikan dari rata-rata produksi di Kabupaten Malang, yaitu 90 ton per hektare.
Selain itu, uji rendemen sementara P3GI menunjukkan bahwa tebu memiliki nilai 14,85%, lebih tinggi daripada angka rendemen kebun petani di sekitar lokasi yang memiliki skor 13,77%.
Para petani SLI juga difasiitasi untuk menjadi produsen benih tebu besertifikat. April 2018, penangkaran tebu petani SLI mendapat sertifikat dari Unit Pelaksana Teknis Pengawasan dan Pengujian Mutu Benih Tanaman Perkebunan Provinsi Jawa Timur. Tidak hanya itu, petani SLI berhasil mendapat izin usaha produksi benih tanaman tebu dari Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Jawa Timur di Juli 2018. Dengan mengantongi izin tersebut, petani dapat menjual benih tebu dengan harga yang lebih tinggi secara resmi.
“Benih itu mempunyai kualitas yang bagus dan produksinya juga bagus sehingga benih tebu itu dijual ke desa tetangga juga. Jadi penghasilan mereka dan sudah direplikasi. Ada lima petani yang mendapatkan sertifikat penakar benih,” ucap Regional Manager USAID APIK Jatim Ardanti.
SLI tebu telah berakhir September 2018. Mardianto telah mampu meningkatkan produksi tebu meski ia masih merasa haus pengetahuan tentang adaptasi perubahan iklim karena itu berkenaan dengan profesinya sebagai petani. (Zuq/M-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved