Headline
Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.
Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.
F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.
APA sih yang paling utama dari gaya berpakaian anak muda? Tampaknya, kebaruan sebuah item fesyen bukan yang utama lagi ya, melainkan merek. Terbukti, saat ini makin marak bermunculan para penjual barang-barang bekas, atau lebih sering disebut preloved. Para pembelinya tentu ingin mencari fesyen bermerek (branded), namun dengan harga miring.
Bukan semata merek, tapi juga koleksi. Seperti item musik yang tergolong langka dan susah dicari. Para pelaku bisnis preloved punya motif masing-masing. Pastinya, saat ini semakin terbantu dengan pemasaran digital melalui platform sosial media atau e-commerce.
Tzatza Mahza A salah satu pemburu barang bekas (preloved). Semua yang berbau vintage menjadi incarannya. Bukan hanya dirinya, beberapa temannya juga sama. Piringan hitam menjadi salah satu item yang dicari.
Sementara Tzatza, lebih menggemari item fesyen. Ia tidak sungkan untuk mencari melalui platform daring, atau bahkan datang ke bazar. Biasanya, ia memiliki pertimbangan tertentu untuk membeli item preloved.
"Pertimbangan buat beli preloved, contohnya gue pernah mau beli tas kulit di bazar. Lihat kualitasnya masih bagus enggak, soalnya kadang-kadang kulit kan udah ngeletek gitu, kira-kira lifetime barangnya bisa lama atau enggak. Selama ini sih harga preloved yang gue beli masih make sense.
Kebetulan gue bukan kolektor barang superantik, dan biasanya orang yang koleksi barang preloved 'antik' dia juga siap sama harganya," ungkapnya Rabu, (1/5).
Tzatza sendiri mengaku membeli preloved karena keaslian barang, tetapi dengan harga miring. Tzatza bahkan pernah membeli sepatu dari seorang influencer seharga Rp800ribu melalui aplikasi layanan jual beli barang bekas. Ia mau merogoh koceknya sebab percaya dengan penjualnya.
Selain Tzatza, ada Annisa Pharamita mengaku kerap membeli barang bekas, tapi dengan perhitungan belanja lebih murah. "Asal masih oke, hitungannya jadi lebih murah. Apa lagi untuk masa rotasi baju yang cepat," ungkap karyawan swasta ini.
Idealisme dan adaptasi
Salah satu toko yang menjual barang-barang bekas ialah Heyfolks Shop. Toko yang berlokasi di kawasan Radio Dalam, Jakarta Selatan, ini lebih fokus pada koleksi musik, seperti rilisan fisik, atau merchandiseband. Dimulai sejak 2006 kala toko berada di kawasan Melawai, Jakarta Selatan, Heyfolks menjual barang-barang baru. Hingga tahun 2010, mereka mulai menyediakan item-item bekas.
Satria Ramadhan merupakan orang di balik Heyfolks ini. Awalnya ia mengelola toko tersebut bersama lima teman band-nya, tapi sekarang ia berbisnis sendiri. Keputusannya menyodorkan item-item bekas itu karena didorong kebutuhan customer mereka.
"Kita besarnya dari toko musik, rilisan fisik. Karena penggemarnya juga butuh elemen lain selain rilisan fisik, jadi kita juga menjual merchandise seperti kaus, atau alat penunjang pemutar rilisan fisik seperti turn table. Kita jualnya juga berkembang, karena kebutuhan kustomer, makanya ada elemen pendukung," ungkap lelaki yang akrab disapa Tri, saat ditemui di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan, Kamis (2/5).
Secara persentase, koleksi Heyfolks saat ini 80% dari item bekas, 20% barang baru. Dalam sebulan, menurut pengakuan Tri, omzet Heyfolks bisa mencapai Rp10juta-Rp20 juta. Semua barang ia dapatkan dari luar kota, melakukan perjalanan ke luar negeri, dan barter dengan sesama toko rilisan fisik.
Menurutnya, pasar preloved memang cukup besar. Hanya saja, karena ia mengelola toko itu sendiri merasa kewalahan untuk mencari barang-barang yang langka dan punya nilai jual. Untuk itu, cara pemasaran dan visi pun berubah. Ketika masih berenam, Heyfolks punya target, saat ini Tri merasa 'nyantai' dan tidak 'ngoyo' untuk mengejar keuntungan.
"Sekarang lebih ke kayak nothing to lose, misi utamanya toko fisiknya tetep eksis, ini jadi hal berharga. Kebetulan juga baru ganti konsep, untuk menyiasati agar toko tetap hidup, saya bikin co-working space, mereka juga bisa sewa untuk kerja, dengan disediakan fasilitas tambahan, sembari mereka dengerin vinyl. Per bulan Mei ini kami akan mengarah ke konsep itu. Bahkan bisa jadi kita bakal buka Senin-Jumat, sedangkan Sabtu-Minggu libur, kebalikan dari sebelumnya," jelas pendiri SRM Band Booking Agent ini.
Heyfolks kini mengoptimalkan pemasaran lewat digital sesuai perkembangan zaman. Meski ada toko, lebih ke idealisme dia. Bahkan, dengan kemunculan banyaknya platform e-commerce juga menjadi pendukung ekosistem cara berjualan para pelaku usaha bisnis barang bekas. Terlebih dengan dihadirkan sistem cicilan, yang memungkinkan pembeli bisa mencicil barang yang harganya masih cukup tinggi, seperti pemutar piringan hitam, yang diakui Tri harganya memang tinggi.
"Keuntungan bisa sampai 50% per item, kalau untuk barang enggak berani ambil lebih dari angka itu, saya rasa keuntungan 50% sudah cukup."
Berbisnis barang bekas juga bukan tanpa risiko. Salah satu faktor kerugian ialah ketika barang yang didapat tidak sesuai. "Yang paling nyata saat 'mainan' preloved, ketika beli barang kualitasnya jelek, itu namanya rugi on the spot, salah satu cara menyiasatinya cepet dijual lagi, atau cuma disimpan buat pajangan. Pernah beli turn table murah banget, pas nyampe enggak sesuai yang ada di deskripsi," kata lelaki yang juga menjadi salah satu penggagas Record Store Day di Jakarta, ketika ia mencari barang melalui platform daring.
Ia pun tidak mau mengecewakan para pelanggannya. Selain merawat barang-barang di toko dengan teliti, seperti item elektronik yang harus selalu dicek berkala dengan memanaskan mesin, item seperti fesyen juga perlu dicuci bila sudah terkena debu, tetapi tidak terlalu sering sebab bisa menurunkan kualitasnya. Selain itu, kunci agar para pelaku bisnis jual barang bekas tetap hidup, ia tetap melayani pelanggan ketika barang sudah terjual, tidak melepas begitu saja.
"Yang mendukung bisnis preloved tetap hidup, juga sebenarnya lebih ke after sale service. Heyfolks juga memberikan garansi sebulan untuk barang elektronik bekas yang terbeli. Kalau ada pelanggan yang tanya direspons, jangan kaku banget. Karena juga barang risky, pas jual bagus bisa jadi pas udah dibeli malah rusak atau mengecewakan, itu perlu diwanti-wanti juga supaya enggak kejadian."
Ia menambahkan, bisnis barang bekas juga akan terus hidup selama masih banyak yang menganut paham lebih baik beli bekas namun asli, daripada beli baru tapi palsu. Baginya, orang-orang membeli barang bekas juga karena faktor orisinalitas. "Kalau sampai dibelain beli second itu kan karena orisinalitas barangnya, mungkin karena ketersediaannya rare atau limited."
Mengurangi ruang
Kini kita mudah menemukan banyak penjual barang preloved berkat dukungan toko daring. Tidak hanya Tri, ada juga Patricia Manasye. Ia yang baru memulai melepas koleksi lemarinya sejak Desember tahun lalu itu mulai tergiur dengan maraknya para penjual barang bekas yang berseliweran mampir di linimasanya. Selain itu, alasan utamanya ialah untuk mengurangi ruang.
"Awalnya pas bersih-bersih kamar, kok berasa barang banyak banget, tapi yang dipakai itu-itu saja. Mulai deh memilah-milah, mana yang tidak terpakai karena kekecilan, tidak suka lagi, atau rusak. Sampai terkumpul satu koper lebih barang-barang yang masih bisa dipakai, tapi tidak pernah digunakan. Karena waktu itu juga lagi booming banget online shop yang menjual preloved item, termasuk teman-teman dekat, akhirnya Desember mulai announce lapak preloved sendiri, dan baru benar-benar menjual barang (posting, harga, dan transaksi) itu saat Januari," ungkapnya pada Rabu (8/5).
Hampir semua barang ialah koleksi pribadinya. Namun, ada juga beberapa temannya yang menitip di lapak daringnya. Untuk item konsinyasi tersebut, perempuan yang akrab disapa Cia ini menetapkan bagi untung sesuai dengan kesepakatan bersama.
"Untuk menetapkan harga, biasanya menaikkan hanya 5%-10% karena memang koleksi pribadi itu dijual tujuannya cuma untuk mengurangi ruang yang terpakai. Omzet terbesar saat Januari, kurang lebih Rp1 juta, kalau dirata-rata, per bulan Rp500 ribuan," ungkap mahasiswa ekonomi di salah satu perguruan tinggi Jakarta ini.
Menurut perempuan yang menjual barang bekasnya lewat akun Instagram @prelovedbypatty ini, salah satu faktor yang membuat bisnis ini tetap berjalan ialah para penjual memasarkan item-item bermerek dengan harga terjangkau. Padahal bila melongok harga barunya bisa sangat mahal. Selain itu, tambahnya, kebutuhan para milenial yang mengutamakan merek, namun tetap ekonomis. Ia pun menyebut, pasar daring punya peran vital bukan hanya bagi para pelaku bisnis bekas, melainkan juga untuk para pembelinya.
"Ibaratnya, e-commerce dan pasar digital itu motor penggeraknya. Dimulai dari proses publikasi, pemasaran, transaksi antara penjual dan pembeli, distribusi sampai barang berpindah tangan, semuanya bisa dikerjakan melaui platform yang ada, dengan keuntungan mereduksi pengeluaran masing-masing fungsi dan mempercepat proses. Alasan mereka berburu preloved, karena harga menarik dan mencari produk unik yang memang sulit ditemukan. Jadi, memang sudah jadi budaya juga sih, berburu barang bekas, tapi berkualitas dengan harga jauh lebih murah. " (M-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved