Headline

Banyak pihak menyoroti dana program MBG yang masuk alokasi anggaran pendidikan 2026.

Bersenang-senang dengan Kapal Otok-Otok

(Jek/M-4)
24/2/2019 00:25
Bersenang-senang dengan Kapal Otok-Otok
(MI/ FATHURROZAK)

BERJONGKOK, mengelilingi baskom berisi air, lalu mata tertuju pada pelat kaleng terombang-ambing berbunyi nyaring 'otok-otok'. Kegiatan itu jadi memori kolektif hampir kebanyakan anak-anak Indonesia terutama yang datang dari perdesaan. Permainan yang begitu sederhana itu diajukan Enrico Halim sebagai gagasannya meruwat pikiran kehidupan modern.

Tidak ada baskom, justru air berada di sebuah wadah panjang mirip lintasan, yang terhias bendera warna-warni. Di situlah kini otok-otok melaju. Selain otok-otok dalam wujud asalnya, kapal kaleng mainan anak itu dilengkapi dengan figur tentara mengenakan helm, meriam, dan dihias bendera merah putih tersebut juga bertransformasi ke dalam wujud rajutan, kayu bekas peti kemas yang dipasangi elektronika sehingga bisa meliuk-liuk di air, dan hadir dalam sebuah instalasi video.

Kehadiran mainan lawas itu diinisiasi Enrico Halim dalam pameran Oom Otok-Otok Oom di Galeri Kertas, Studio Hanafi, Depok, Jawa Barat, itu melalui pendekatan situs lingkungan, yang menjadi konsentrasinya. Rico melihat kondisi lingkungan di sekitar galeri yang masih berupa hunian dan kampung urban. Baginya, akan menarik bila perwujudan seni rupa bukan sekadar tontonan, melainkan juga sebagai medium interaksinya dengan warga.

Maka dari itu, ia pun beranggapan sesuatu yang sangat melekat pada memori kolektif masyarakat Indonesia, salah satunya ialah lewat mainan kapal otok-otok.

Sejak tiga tahun lalu, pascasarjana Institut Kesenian Jakarta (IKJ) ini meriset material proses berkeseniannya. Desa Jemaras, Cirebon, menjadi situs eksplorasinya. Di sana, ia bertemu dengan para produsen kapal otok-otok yang dikirim ke berbagai daerah, seperti Palembang, Lampung, maupun Kalimantan. Bagi Rico, memperhatikan hal yang dianggap remeh justru menjadi suatu ketertarikan baginya.

"Poinnya ialah bersenang-senang dengan hal sederhana, enggak punya gawai pun kita masih bisa bersenang-senang dengan Rp5.000 atau Rp7.000. Banyak hal yang bisa dipelajari dari yang terpinggirkan atau yang diremehkan akan menemukan banyak cerita di situ," ungkapnya seusai pembukaan di Galeri Kertas, Sabtu (16/2).

Antitesis hidup tergesa

Permainan yang membutuhkan ketelatenan dan kesabaran itu, menurut Rico, bisa dijadikan sebagai medium manusia kembali memaknai hidup. Era saat ini yang memaksa manusianya untuk tergesa-gesa menjalani kehidupan, otok-otok datang dengan gagasan segala kelambanannya.

"Saya pikir ini bisa meruwat pikiran kita dengan mainan sederhana, ruwat atau restart dalam konteks menjalani kehidupan. Saat ini kita dituntut untuk selalu cepat. Sementara mainan ini melambatkan semua, seperti diperlambat semua. Ini juga menyadarkan kita bahwa hidup bukanlah apa yang dilakukan dengan cepat, bukan sekadar mencari uang untuk makan, melainkan juga kebahagiaan, kegembiraan, kesederhanaan, untuk itulah kita hidup."

Seno Gumira Ajidarma menyebutkan, eksistensi otok-otok juga kini ada dalam konteks gagasan yang ditawarkan Enrico, bukan lagi menjadi mainan kanak-kanak atau barang dagangan, "Membawanya ke wilayah dimensional baru dalam dunia penciptaan seni kontemporer. Bukan berarti terangkat menjadi lebih 'tinggi', sebaliknya justru mendapat penghargaan sesuai dengan gaya gugahnya."



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya