Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Film low budget ini memberikan warna baru mengenai bagaimana sebuah film disuguhkan.
ALKISAH, di sebuah gedung tua yang konon menjadi lokasi percobaan militer dengan objek manusia, sutradara Takuyaki Higurashi (Takayuki Hamatsu) tengah melakukan syuting. Ada-ada saja masalah yang membuat syuting tak berjalan lancar.
Setelah memarahi kedua pemeran filmnya, syuting ia rehat sejenak. Tetiba, suasana berubah mencekam. Entah darimana zombi-zombi bermunculan dan memburu kru film. Bahkan, satu demi satu anggota kru 'tertular' menjadi zombi.
Sejak film One Cut of the Dead mulai diputar, sutradara Shinichiro Ueda memang langsung berupaya menyodorkan suasana horor kepada penonton.
Seperti film-film zombi pada umumnya, di film ini, penonton akan diperlihatkan aksi buru-diburu, konflik dan perkelahian, kapak berayun, dan tentu, darah yang bercipratan. Namun, saat disimak lebih cermat, ada sesuatu yang berbeda. Adegan yang diambil a la guerrilla style tersebut seolah terus bergulir tanpa henti layaknya film-film zombi umumnya.
Meski ada dinamika nuansa antara kengerian dan kelucuan --dari polah para aktor dan kru-- kontinuitas itu barangkali membuat penonton bertanya-tanya, kapan scene akan berganti? Dan sebelum pertanyaan itu terjawab, film telah menampilkan credit-end titles.
One Cut of the Dead ialah film horor-komedi Jepang yang telah dirilis pada 2017 di negara asalnya. Saat ini, film tersebut tengah tayang di salah satu jaringan bioskop Tanah Air.
Saat melihat genre film ini, penonton bisa jadi dibuat penasaran dengan kombinasi horor dan komedi yang dihadirkan. Namun, perbedaan yang lebih konkret pada film zombi ini terletak pada teknik pengambilan gambar.
"Membuat film zombi dalam siaran langsung dengan sekali pengambilan gambar?" begitu tanya sutradara Takuyaki Higurashi pada salah satu adegan kepada pihak stasiun tv.
Rupanya teknik single-shot, atau one take/cut, alias satu kali pengambilan gambar itu dikisahkan dipakai Higurashi untuk menjawab tantangan dari pihak stasiun tv. Higurashi digambarkan sebagai tokoh yang amat mencintai film dan menjadikannya sebagai sebuah karya seni. Tidak mengherankan, saat di lokasi syuting, ia menegaskan, apa pun yang terjadi, jangan berhenti mengambil gambar.
Dalam realitas, sutradara Shinichiro Ueda memanfaatkan teknik itu untuk menopang jalan cerita dari film berdurasi 95 menit tersebut.
One Cut of the Dead sesungguhnya lebih dari sekadar zombi-zombi yang berkeliaran --dan entah kenapa hanya sang sutradara Higurashi yang tak jadi objek teror para zombi itu.
Walau cerita film berjudul asli Kamera o Tomeru na! ini relatif sederhana, Ueda sukses mengemasnya dengan teknik sinematografi yang tak biasa. Ia menciptakan layer atau struktur cerita yang mungkin pada awalnya akan menjebak penonton. Namun, mereka yang bersabar akan menyingkap kebenarannya. Keberhasilan terbesar Ueda di film One Cut of the Dead ini ialah efek keterkejutan yang ditimbulkan terhadap penonton, sensasi yang melekat di benak mereka ketika film benar-benar berakhir.
Melalui film One Cut of the Dead, penonton pun diajak untuk melihat bagaimana proses pembuatan film yang sangat tidak sederhana. Mulai mengatur aktor-aktris yang bertingkah, soal logistik, dan sebagainya. Sambil tertawa, penonton pun dibuat kagum dengan kecekatan para sineas film dalam memutar otak untuk mencari solusi dari setiap masalah yang timbul di set.
Film yang dibuat dengan bujet relatif rendah ini, sekitar 3 juta yen atau Rp394 juta, ini pada mulanya hanya tayang di dua bioskop saja di Jepang, selama 6 hari. Namun, One Cut of the Dead kemudian menjadi sensasi di media sosial setelah mendulang penghargaan di berbagai festival film internasional di Italia, Brasil, Amerika Serikat, dan negara-negara lain. Film tersebut akhirnya kembali diputar di lebih dari 200 bioskop Jepang dan bahkan di banyak negara, termasuk Indonesia.
"Saya tidak menyangka film ini akan sangat diapresiasi," ujar Ueda dalam wawancaranya dengan stasiun TV NHK.
Pria yang mengaku sesungguhnya tak punya minat dengan film zombi itu mengatakan, ada berkah dari keterbatasan bujet filmnya. "Kami bekerja dengan sedikit staf dan aktor yang kurang terkenal. Namun, itu ternyata berefek 'menghidupkan' film, yang tidak didapat film-film fiksi lain." (M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved