Headline

PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah menetapkan tarif impor baru untuk Indonesia

Fokus

MALAM itu, sekitar pukul 18.00 WIB, langit sudah pekat menyelimuti Dusun Bambangan

Barista, Menghubungkan Petani dan Penikmat Kopi

Fathurrozak
22/9/2018 18:27
Barista, Menghubungkan Petani dan Penikmat Kopi
(MI/ FATHURROZAK)

PERJALANANNYA menjadi barista nomor 1 di Indonesia tahun ini tidaklah instan. Persintensi dan keuletannya sukses menyempurnakan kesalahan-kesalahan yang pernah dilalui dalam meracik kopi.

Seusai memenangi Indonesia Barista Championship (IBC) 2018, Muhammad Aga pun mewakili seluruh barista di Indonesia di kompetisi World Barista Championship (WBC) 2018 di Amsterdam, Juni lalu.

Meski baru bisa meraih posisi ke-17, Aga mencatat pencapaian lain. Ia menggandeng para sponsor, cara yang belum pernah ditempuh para barista juara IBC lainnya, untuk berangkat ke ajang internasional.

Kiatnya itu mampu menutup ongkos yang mahal.

Muda berkesempatan ngobrol dengan Aga di kedai kopinya SMITH Coffee Bar, kependekkan Shoot Me in The Head, di kawasan Gandaria, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu.

Ia berkisah kepergiannya ke Amsterdam dan kiat suksesnya berkompetisi meracik kopi. Simak petikan wawancara Muda.

Ceritakan dong perjalanan kamu dalam arena kompetisi barista?

Tiap negara punya sistem berbeda. Seperti Singapura yang negaranya kecil, langsung ada kompetisi tingkat nasional. Kalau seperti Indonesia yang terdiri dari banyak wilayah, kita ada kompetisi tiap regional.

Pemenang tingkat nasional itu punya tiket ke WBC.

Pada 2013 gue juara 1 di regional Jakarta. Namun, di nasional peringkat ke-5. Kemudian 2014, di nasional jadi runner up, tahun berikutnya vakum, karena baru buka kedai juga, dan membantu teman di kompetisi lain.

Nah, di 2017 gue mendaftar jadi komite di IBC untuk tahu regulasi  kompetisi ini seperti apa dan apakah punya peluang berangkat ke WBC 2017 yang saat itu di Korea.

Saat itu juga jadi relawan di WBC, tugasnya bantu-bantuin barista, ngangkat troli, ambil-ambilin keperluan. Niatnya sih pengen nyolong ilmunya, tanya persiapannya, nyari relasi, lihat dapur kompetisi internasional.

Setelah jadi volunteer, gue merasa sudah dapat ilmunya. Kemudian, membentuk tim solid, ada yang bantuin tasting, mantengin konsep. Tim sangat dibutuhkan, kita enggak bisa sendiri.

Tahun-tahun sebelumnya kan gue selalu sendirian, enggak punya tim solid, itulah mungkin yang juga bikin selalu gagal di tahap final nasional. Kalau selama persiapan bebas mau berapa banyak yang membantu, kalau saat kompetisi, antara dua hingga tiga orang. Dalam berkompetisi kita juga mewakili individu atau perusahaan.

Berapa banyak peralatan yang dibawa ke Amsterdam?

Total ada sembilan koper, termasuk gilingan kopi dan banyak printilan lainnya, di sana cuma disediakan air dan mesin.

Pilihan kopinya?

Waktu itu sempat hopeless, sempat bingung nyari kopi apa yang mau dibawa ke WBC, sedangkan itu kan pelurunya. Saat saya jalan ke Hong Kong, di tempat roaster Cupping Room, dikasih kawan di sana, beberapa pilihan yang sudah di-cupping, akhirnya saya dan partner memilih Colombian Geisha, dari Kolombia.

Karena WBC 2018 diadakan Juni, jadi musimnya tidak pas untuk membawa kopi dari Indonesia. Jadi, bukan karena kualitasnya, melainkan karena musimnya enggak sesuai.

Bulan itu masa panen di Indonesia lagi jalan, idealnya kopi harus diistirahatkan dulu karena kalau langsung diproses bisa menyebabkan rasa yang juga masih tertutup.

Untuk kompetisi seharusnya memang sudah tahu kopi yang akan digunakan, menemukan yang tepat, dan mau tidak mau sudah mengenal karakternya, tinggal memikirkan konsep yang akan dibawakan, sesuai karakter kopinya.

Tantangan yang kamu hadapi di sana?

Banyak ya tekanannya, takut ini-itu, banyak titipan kata-kata sukses, jadi kepikiran, mereka yang berlaga di WBC juga beberapa pernah ikut di kompetisi ini sebelumnya. Jadi banyak yang dipikirkan sampai akhirnya, enggak lolos ke semifinal.

Pemicunya kekurangan waktu, yang sebenarnya kita dikasih batas waktu 15 menit untuk menyajikan 12 cup, empat espreso, empat cappuccino, dan empat minuman kreasi. Hampir diskualifikasi malah karena hampir menyentuh durasi 16 menit. Teknis sih bisa dikatakan mulus, yang jadi catatan pastinya soal manajemen waktu yang masih jelek.

Nervous sih enggak ya, pada akhirnya banyak teknis dan pelajaran baru yang saya dapat di sana, yang enggak saya alami di kompetisi nasional. Meski sebelumnya pernah jadi volunteer, tapi tekanannya berbeda ketika saya datang sebagai kompetitor. Ini jadi trigger saya untuk mencapai tujuan ke depannya. Ini jadi jembatan supaya ilmu bisa diasah, kalaupun kalah, kan ada brief dari juri, yang bisa menilai kita secara valid.

Bagaimana kiat kamu menutup ongkos berangkat ke kompetisi internasional ini?

Ikut kompetisi itu butuh duit banyak. Kalau memang merasa tidak siap, ya jangan. Tapi bukan alasan kalau kita merasa finansial kurang, kemarin habis sekitar Rp200 juta termasuk buat menanggung biaya bagasi peralatan.

Poinnya, bagaimana kita bisa bekerja sama dengan beberapa brand di Indonesia, yang mau sponsorin.

Di tahun-tahun sebelumnya, ternyata mengajukan proposal support dana ke brand belum pernah dilakukan, dan saat saya melakukannya, berjalan dengan baik. Brand mau kok support asal kita ada komunikasi, malahan banyak teman-teman yang setelah saya berangkat bilang, 'tahu gitu perusahaan gue kasih dana'.

Jadi ini terbuka buat kita, para barista yang punya skill tapi enggak punya financial power lebih.

Apa bentuk kerja sama dengan brand yang bantu dana?

Biasanya setelah pulang dari sana, saya bikin lokakarya, ada kolaborasi untuk bikin produk, saya yang inisiatif, mereka yang produksi dan jual, jadi ada semacam kolaborasi. Ujung-ujungnya ya marketing feedback kita ke mereka.

Kalaupun kita bikin lokakarya, tenpat mereka jadi ramai. Ada juga insight tambahan, gue nyari banyak info kafe-kafe yang ada di Amsterdam, ilmu lain yang juga bisa saya bagikan ke teman-teman.

Seberapa penting sih barista ikut kompetisi?

Kalau berhenti ikut kompetisi, kita enggak akan bisa improvisasi, upgrade skill. Karena saat kita ikut kompetisi, akan dipaksa untuk ngulik, asah ilmu.

Bayangin kalau enggak ikut kompetisi, kerjaannya ya gini-gini aja di kafe. Dengan ikut kompetisi, ada satu tekanan yang memaksa kita mau enggak mau harus lebih jago.

Tujuannya sih bukan berarti mau menang atau unjuk skill ya, tetapi ada proses belajar. Sekarang gara-gara ada kompetisi nasional dan internasional, banyak bermunculan kompetisi skala kecil, ini bagus karena untuk  latih mental dulu.

Penting juga buat berkarier. Kalau soal peringkat sih ada faktor keberuntungan. Namun, kalau Indonesia dapat peringkat bagus dan bisa sampai menang, itu akan bagus untuk kita. Karena selama ini orang sudah tahu kopi kita bagus, tinggal potensi baristanya yang perlu ditingkatkan, biar mereka juga tahu bahwa kita bisa jadi yang terbaik.

Arti dunia barista untuk kamu?

Bukan sekadar coffee maker, barista merupakan story teller. Barista itu marketing-nya petani kopi di seluruh dunia, bagaimana mereka bisa menceritakan kopi, tahu produk itu dari mana asalnya, diprosesnya seperti apa.

Namun, bukan soal kopi saja value-nya, banyak banget kita pelajari. Ada biologi, kimia, fisika matematika sejarah, bahkan sosial. Menurut saya, barista itu mulia, kerja di sini kita menjadi ujung tombak dunia kopi. (M-1)
___________________________________

BIODATA

Nama lengkap: Muhammad Aga
Tempat, tanggal lahir: Jakarta, 14 Januari 1991
Prestasi: Juara IBC 2018
Perwakilan Indonesia di World Barista Championsip 2018 Amsterdam
Pekerjaan: Co-Founder dan barista di SMITH Coffee

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik