Headline
Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.
Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.
Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.
SUNARYO, 75, tergugu. Maestro seni rupa Indonesia yang multitalenta itu tiba-tiba terdiam saat hendak berbicara. "Maaf, saya demam panggung," ucapnya di depan ratusan pasang mata yang memandanginya, Sabtu (15/9) malam.
Dari balik kegelapan muncullah istri, anak, menantu dan cucunya. Seorang perempuan berbaju hitam membawa kue dengan lilin yang menyala di atasnya. Anggota keluarga yang lain bertepuk tangan mengiringi. "Ini kan bukan acara ulang tahun," katanya spontan sambil tersenyum malu.
Meski, bukan hari ulang tahun Sunaryo, malam itu tetaplah istimewa. Itulah malam dimana Sunaryo mengenang keberadaan Selasar Sunaryo Art Space (SSAS) di tahun kedua puluhnya.
Selasar Sunaryo adalah galeri seni bersifat nirlaba di bagian utara Bandung, Jawa Barat. Selasar Sunaryo dibangun pada 5 September 1998 oleh Sunaryo, seniman kontemporer sekaligus mantan dosen seni rupa Institut Teknologi Bandung.
Bersamaan dengan pembukaan Selasar Sunaryo, ia pun menggelar pameran tunggalnya bertajuk Titik Nadir (1998). "Dua puluh tahun lalu saya berdiri di sini didampingi Edi Setyawati, Dirjen Kebudayaan saat itu. Kita buka dalam keadaan bangsa ini tengah krisis. Maka saya bungkus karya saya saat itu dengan kain hitam," tutur peraih Lifetime Achievement Award dari Art Stage Jakarta dan Jogja Biennale Foundation Yogyakarta (2017) itu.
Selasar Sunaryo adalah realisasi dari impian Sunaryo untuk mendukung perkembangan seni rupa di Indonesia. Setelah 20 tahun eksistensinya, Selasar Sunaryo telah menjelma menjadi salah satu pemain kunci dalam lanskap seni budaya Indonesia, khususnya bagi generasi muda.
Di bawah Yayasan Selasar Sunaryo, SSAS tidak sendiri, melainkan berdampingan dengan Wot Batu dan Bale Project. Wot Batu adalah instalasi taman batu di dalam area seluas 2.000 meter persegi, karya Sunaryo yang diartikan sebagai 'Jembatan Batu'. Sedangkan Bale Project adalah divisi khusus untuk perencanaan strategi dan bisnis, serta mengelola partisipasi seniman Indonesia di pasar seni global.
Dengan 15 program yang berlangsung setiap tahunnya, Selasar Sunaryo telah merealisasikan setidaknya 300 program dalam 20 tahun terakhir. Sebagai lembaga nirlaba, itu merupakan sebuah pencapaian yang tidak mudah. Lantas, apa rahasia Sunaryo mampu bertahan? "Karena passion," cetus alumnus Further study of Marble Sculpting, Carrara, Italia itu.
Lawangkala
Untuk mengenang perjalanan dua dekade itu, Selasar Sunaryo mempersembahkan pameran tunggal Sunaryo bertajuk Lawangkala (2018). Pameran ini akan memperlihatkan karya terbaru sang maestro berupa instalasi dan karya multidisiplin dari material bambu dan bahan berbasis serat.
"Untuk merealisasikan gagasannya tentang kesementaraan," ucap kurator Agung Hujatnikajennong.
Lawang berarti 'gerbang' dan kala adalah 'waktu'. Kala mengenang semua yang telah terjadi sejak 1998 hingga 2018, Sunaryo menyadari satu hal bahwa apapun yang ia lakukan tak mungkin bisa diulang.
Sobekan dan jahitan bagi Sunaryo adalah sejenis garis yang ekspresivitasnya tidak bisa digantikan dengan sapuan kuas. "Menyayat kanvas dan menjahitnya kembali itu mungkin seperti keinginan dan upaya sia-sia manusia untuk mengulangi waktu yang telanjur berjalan," sebut Sunaryo. (M-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved