Headline

Karhutla berulang terjadi di area konsesi yang sama.

Fokus

Angka penduduk miskin Maret 2025 adalah yang terendah sepanjang sejarah.

Luka di Balik Kelopak Kimingsulia

Fathurrozak
16/9/2018 00:10
Luka di Balik Kelopak Kimingsulia
Perupa Tita Salina (atas) menunjukkan karya instalasi berupa kliping koran edisi April 1965 berjudul Diplomasi Bunga karya bersama rekan perupa Irwan Ahmett, pada pembukaan pameran seni rupa bertajuk Kisah Dua Kota: Arsip Naratif dari Ingatan, di Galeri Na(ANTARA/DODO KARUNDENG)

KELOPAK mungil ungu berona merah jambu yang tenggelam dalam sebuah stoples kaca itu begitu menarik mata. Di sampingnya, tergeletak kerang yang dipungut dari batas selatan dan utara Korea. Terdapat pula potongan fosil dari sebuah pesisir, sebagai arsip ingatan untuk mereka yang terbuang.

Demikianlah salah satu instalasi seni yang diperlihatkan dalam pameran Arsip Dua Kota, di Gedung A Galeri Nasional Indonesia, Jakarta. Korea dan Indonesia punya relasi benang panjang, yang terjalin dari kedua tokoh bangsanya.

Presiden pertama RI Soekarno hadir melalui diplomasi bunganya, saat ia berjanji menghadiahi Perdana Menteri Republik Demokrasi Rakyat Korea Kim Il-sung, tanaman anggrek ungu, yang kemudian pada masanya menjadi tanam­an nasional mereka.

Namun, perjalanan Dendro­bium Kimilsung Ungu tiba di Korea tidaklah mudah, terlebih saat peta politik mengubah hubungan kedua negara. Soekarno berada di ujung tanduk kepemimpinannya. Proses pengembangbiakannya memerlukan waktu satu hingga dua tahun.

Di tengah menunggu hasil itulah, Soekarno lengser. Ia gagal memenuhi janjinya untuk mengirim anggrek ungu ke Pyongyang.

Narasi kemudian berlanjut saat Kim Jong-il, saksi pertemuan kedua tokoh bangsa sekaligus pemberian nama kimingsulia pada 1974, menginisiasi pelacakan kembali, dan mengirim petugas ke Indonesia. Dari pelacakan kembali itu, orang Kim Jong-il berhasil menemukan anak botanis yang telah diwasiati bapaknya untuk melanjutkan pengembangbiakannya. Dua pot berhasil dibawa ke Pyongyang.

Sejak itu, Dendrobium Kimilsung Flower, nama resmi yang didaftarkan ke British Royal Holticulture Society pada 20 April 1982 ini seperti takdir kekayaan Korea. Ia tumbuh di penjuru kota hingga gunung dan menjadi bunga nasional. Semerbak wangi dan kemolekan yang menjadi kebanggaan.

Luka buruh migran
Dari arsip sejarah itu, kini kita juga bisa menjumpai jejak relasi kedua bangsa Indonesia dan Korea. Para buruh migran kita banyak menetap di Korea bagian selatan. Mereka mencari nafkah dari tanah yang tengah berseteru dingin. Dari suatu karya video kolaboratif Tita Salina dan Irwan Ahmet memberi suatu simbolisme visual untuk kita, the flower currency (bunga mata uang).

Video berdurasi 2 menit 29 detik itu menunjukkan tangan-tangan bertumpuk, yang sesekali menguncup dan mekar. Namun, dari selipan ke­lopak itu, ada memar-memar lebam, kuku menghitam, dan balutan perban di antara sela telapak juga sebagian jari. ­Suatu luka yang memberi napas hidup para buruh migran.

Tita Salina mengungkapkan, saat proses riset karyanya bersama Irwan Ahmet, ia menemui para buruh migran di Korea Selatan hingga beberapa bulan, sebelum mengambil gambar tangan-tangan mereka dalam suatu video.

“Di masa Soekarno, dia pintar berdiplomasi, pola diplomasi yang terkenal, ya flower diplomacy. Soekarno menghadiahkan anggrek ke Kim Il-sung, yang diberi nama Kimilsungia Flower, ini taktik dia buat ambil hati Korea Utara yang saat itu lebih maju. Sekarang, diplomasi kita bergeser dan lebih condong ke Korea Selatan yang memang sedang tumbuh. Dari situ kita menemukan, ya tentang tenaga migran, jumlah TKI kan tinggi ya, salah satunya di Korsel. Kita menemukan banyak kasus kecelakaan kerja, yang luput dari perhatian, banyak yang sampai cedera permanen,” ungkap Tita saat pembukaan pameran, Kamis (13/9).

Tita dan Irwan seakan ingin menyampaikan suatu jerih buruh Indonesia di Korea Selatan, yang juga turut andil dalam perkembangan negara tersebut. The flower currency menjadi suatu penandasan, bunga persembahan dari buruh Indonesia, yang menguarkan wangi memar demi kemajuan Korea Selatan.

Karya kedua seniman ini lahir di sebuah kawasan suburban Ansan, terletak di Selatan Seoul, ibu kota Korea Selatan. Ansan menjadi salah satu kantung para migran Indonesia, suatu kota yang menjadi rumah bagi mereka mendapat luka untuk menyambung hidup.

Kota, yang memang menjadi bahasan sentral dalam pameran bertajuk Kisah Dua Kota: Arsip Naratif dari Ingatan ini juga muncul dalam interpretasi Sulki dan Min. Mereka mencuplik kata-kata dari sebuah karya sastra yang pernah dinobatkan jadi novel terpendek, El Dinosaurio karya Augusto Monterroso Bonilla.

Suatu karya yang ditafsirkan tentang kota dan ingatannya. Sulki dan Min menyusun kata-kata itu menempel memenuhi dinding, tersekat antarruang, dan diksi yang membangun plot dari titik permulaan menuju suatu konflik cerita.

Di antara susunan kata tersebut, kedua seniman membangun gagasan persamaan dua wilayah di Korea dan Indonesia, melalui Gyeryong di provinsi Chungcheong Selatan, dan Sabang, wilayah paling barat Indonesia. Keduanya berkarakter sama-sama wilayah kecil, dengan ingatan tentang wilayah konsentrasi militernya.

Lewat arsip-arsip yang tersaji hingga Sabtu (29/9) nanti itu, kita bisa menelusuri jejak ingatan suatu kota, juga relasi tua kedua bangsa hingga perkembangannya saat ini. (M-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Panji Arimurti
Berita Lainnya