Headline

Karhutla berulang terjadi di area konsesi yang sama.

Fokus

Angka penduduk miskin Maret 2025 adalah yang terendah sepanjang sejarah.

[WAWANCARA] Daniel Murdiyaso: Alternatif Ekonomi tanpa Mengonversi Gambut

Rizky Noor Alam
09/9/2018 09:00
[WAWANCARA] Daniel Murdiyaso: Alternatif Ekonomi tanpa Mengonversi Gambut
(MI/BARY FATAHILLAH)

SAYUP-sayup terdengar suara burung dan serangga saat Media Indonesia berkunjung ke kantor Center for International Forestry Research (CIFOR) di Bogor, Jawa Barat, Senin (27/8). Suasana kantor yang asri dan rimbun menemani sesi wawancara Media Indonesia dengan Daniel Murdiyarso, salah satu peneliti senior lembaga tersebut. Baru-baru ini, dirinya mendapatkan LIPI Sarwono Award. Bagaimana pandangan Guru Besar Ilmu Atmosfer dari IPB ini terhadap isu-isu lingkungan dan perubahan iklim saat ini? Berikut petikan wawancaranya.

Isu kebakaran hutan dan lahan gambut ialah isu klasik di Indonesia. Meski pada 2015 Pemerintah mengeluarkan larangan pembukaan lahan dengan membakar, faktanya masih terjadi. Bahkan, baru-baru ini muncul sejumlah ti­tik api di Sumatra dan Kalimantan. Bagaimana Anda melihatnya?
Pembukaan lahan dilakukan orang karena ada kesempatan. Yang penting bagaimana hukum ditegakan, hukum berlaku untuk semua orang, yang besar yang kecil, yang miskin maupun yang kaya, dan pemerintah. Jadi, kalau ada pelanggaran maka hukum yang dipakai sebagai pengecek, apakah sebuah pelanggaran melanggar hukum atau tidak.

Kedua, kepemilikan lahan. Karena orang mengklaim kalau (lahan) ini punya saya ialah hak, tapi kepemi­likan juga mengenai tanggung jawab. Ketiga, ialah aspek ekonomi, ada pasar mengenai produk yang akan diintroduksikan ke lahan baru dan pasar lahan itu sendiri. Jadi, ini temuan dari teman-teman saya yang meneliti di Riau. Ada jual beli lahan dengan kondisi yang berbeda-beda. Ada yang (jual) dalam kondisi bersemak, berhutan sekunder, ada yang sudah bersih dan dijual dengan harga yang berbeda. Itu ada pasarnya, ada pembeli dan penjual.

Tadi Anda bilang ada pasar jual beli lahan. Bagaimana dengan pencegahan kebakaran dengan melibatkan masyarakat?
Kalau sudah dibeli, pemiliknya berbeda. Jadi, tenurial atau kepe­mi­likan itu penting. Yang punya tenur siapa? Tidak mungkin kalau lahan itu sudah dijual, lalu masyarakat dibebani atas hak tanah itu dan tanggung jawab atas tanah itu. Mungkin saya yang baru membeli, menyuruh garap lahan itu, tapi tetap kepemilik­an ialah yang punya sertifikat.

Teknik-teknik membuka lahan apa yang lebih ramah dan menyehatkan?
Ada teknik yang sudah dicoba di Brasil, namanya slash and mulch. Jadi, ditebas dan dijadikan serasah (sampah organik). Dalam skala besar efektif, saya tidak tahu apa akan efektif jika dilakukan dalam skala kecil karena belum pernah dicoba.

Kalau teknik slash and mulch itu menggunakan machinery yang besar, seperti traktor yang bergerak memotong, mencacah, dan mema­suk­k­an kembali cacahan biomassa tersebut. Jadi, akan terurai lebih cepat daripada bentuk log-log kayu.

Saya tidak tahu apakah teknik (slash and mulch) dapat diaplikasikan di Indonesia karena belum ada studi yang mengukur dari segi cost and benefit-nya karena kepemilikan orang. Satu KK itu cukup besar kalau di Indonesia. Satu orang mungkin punya 5 hektare, tapi kalau di Brasil satu orang bisa punya 50 hektare. Jadi, investasi yang mereka lakukan cukup besar dan kalau itu dikombinasikan dengan 30-50 KK, maka luasan (lahan) akan besar sekali dan tidak mungkin dilakukan secara manual.

Menurut Anda, bagaimana seharusnya pemerintah mengelola dan mengatur pemanfaatan lahan gambut?
Kita sudah terlanjur memberikan lahan gambut yang besar jumlahnya untuk dikonversi. Jadi, dengan moratorium sudah disetop sejak 2011, diperbarui pada 2013 dan 2015, bentuknya inpres (Instruksi Presiden). Inpres ini bukan bentuk hukum yang positif, melainkan cara mengoordinasi unit-unit pemerintah untuk bekerja pada suatu subjek atau topik tertentu, dalam hal ini konversi lahan gambut dan hutan primer. Jadi, di sana tidak ada reward atau punishment kalau melakukan sesuatu yang baik atau melanggar, tidak seperti UU yang ada sanksinya.

Jadi, ini instruksi untuk berkoordinasi antara pemerintah yang menurut saya secara scientific. Izin lahan gambut yang lebih dari 2 meter itu mestinya dihentikan, karena 1 meter tebalnya kalau luasnya 1 hektare maka ribuan ton bio massanya, kalau itu terbakar atau terdegradasi, banyak sekali. Jadi, lahan gambut atau lahan mineral yang kurang dari 1 meter itu oke.

Kita perlu lahan untuk ekspansi tanaman produktif. Antara 1-2 meter kalau sudah terlanjur maka harus diperbaiki, terutama hidrologi­nya dan dijaga jangan sampai terbakar. Kalau lebih dari 2 meter, harus dikonservasi dan dikembalikan fungsinya seperti semula. Kalau sudah terlanjur diberikan haknya kepada pemegang hak, pemegang haknya harus diajak bicara bagaimana membuat gambut yang tebal, tidak dikonversi. Memang mereka berhak untuk mengonversi karena sudah punya hak, tapi kalau pemerintah memberi insentif, saya kira banyak tempat-tempat yang menarik untuk aktivitas ekonomi tanpa konversi.

Memang kita belum banyak menunjukkan hal itu meskipun potensinya besar, seperti ekowisata, kalau di luar negeri itu jasa lingkungan ialah sumber pemasukan yang besar memang membutuhkan daya beli yang tinggi. Jangan sampai kita menyesal (potensi) itu sudah tidak ada.

Harus generic revenue untuk bisa dimanfaatkan pemeliharaannya dan secara kelembagaan sudah dilakukan, pemerintah memiliki unit yang mengurusi ekowisata, jasa lingkungan untuk ekosistem yang esensial. Saya lihat penanganannya lebih bersifat sektoral, kalau KLHK meng-handle gambut, ada kementerian lain yang belum tahu (gambut) itu punya potensi, misalnya, Kementerian Pariwisata, Kementerian Dalam Negeri, atau pemerintah daerah itu harus dirangkul dan melihat (gambut) sebagai suatu kawasan yang menarik untuk generic revenue. Pendekatannya seperti itu, bukan pendekatan yang harus dikonservasi yang jangan disentuh, itu tidak populer, jadi opsi atau alternatif (sumber) ekonomi yang lain.

Dengan moratorium pembukaan lahan tersebut, salah satu cita-cita pemerintah menurunkan emisi karbon pada 2020 sebanyak 26% dan 29% pada 2030. Menurut Anda, apakah langkah-langkah yang dilakukan sudah on the track?
Saya tidak tahu, setiap tahun itu ada laporannya. Yang hendak diturunkan itu sekitar 2.900-3.000 juta ton di berbagai sektor sampai 830 juta ton, jadi 29% itu dari situ. Dari 830 juta ton tersebut, 500 juta ton berasal dari sektor lahan dan hutan atau land base emission itu 60%-65%.

Jadi, ada angka-angka itu, kalau melihat proporsi sektor lahan yang begitu besar, logika kita mengatakan lahan gambut merupakan primadona, dia bukan masalah, tapi solusi. Kalau ditangani dengan benar dan melibatkan banyak pihak, termasuk swasta dan pemerintah daerah.

Jangan kita mengatakan sudah mengurangi deforestasi ratusan ribu atau jutaan hektare, tapi kalau yang dikurangi di lahan yang kepadatan karbonnya rendah, dari penurunan segi emisi tidak signifikan. Bayangkan kalau hutan tropis dataran rendah (low land tropical forest) yang tumbuh di tanah mineral bukan lahan gambut itu kandungan karbonnya sekitar 300-350 ton per hektare dan itu semuanya ada di pohon. Kalau pohon itu ditebang dan dikonversi menjadi hal lain, yang hilang 350 ton (kandungan karbonnya). Namun, di lahan gambut bisa 3.000-3.500 ton atau 10 kali lipat dan umumnya 80% berada di tanah. Kalau mau efektif, pada luasan yang sama melakukan mitigasi emisi di lahan gambut lebih efektif karena butuh kerja keras untuk mengoordinasi lintas sektor, harus kerja sama.

Target lainnya ialah mendorong penggunaan energi terbarukan. Namun, laporan dari Kementerian ESDM menunjukkan kita baru 2% menggunakan energi terbarukan. Bagaimana Anda melihat upaya Pemerintah dalam merealisasikan penggunaan energi terbarukan?
Energi terbarukan itu banyak jenisnya, bisa surya, angin, biomassa, dan biofuel, yang belum punya mekanisme dalam pembangunan kita. Sejak saya kecil, istilahnya itu mix energy, menurut saya condong untuk memberi tempat yang lebih baik untuk (energi) fosil, sedangkan fosil ini akan habis.

Kemakmuran yang kita peroleh dari (energi fosil) belum digunakan membangun pengetahuan kita. Skill kita untuk mencari energi alternatif termasuk energi terbarukan. Kita belum investasi besar-besaran dari keuntungan (energi fosil) itu, sekarang kita tidak tahu di mana keuntungan itu. Biayanya kalau tidak dilakukan akan mahal terus.

Kalau kita melakukannya pasti akan mencari cara bagaimana efisiensi. Mix energy dan biofuel yang bisa diangan-angankan menjadi campuran harus disikapi dengan bijaksana, jangan sampai memicu deforestasi yang lebih besar karena yang kita punya belum efisien. Kita punya 11 juta hektare sawit, tapi masih mau tambah lagi. Sementara itu, lahan sawit yang ada belum maksimal diurus. 

Terkait dengan deforestasi, An­da menyebut kita belum bisa menjangkau untuk melindungi keanekaragaman hayati dan salah satu penyebab global warming. Bagaimana Anda melihat kesiapan Indonesia dalam memitigasi per­ubahan iklim tersebut?
Sebagian besar emisi kita berasal dari sektor lahan. Kita punya solusi­nya, ada yang kita sebut sebagai problem sekarang dan kita harus ubah menjadi solusi dengan cara yang unusual, bukan business as usual. Hal itu tidak bisa dilakukan pemerintah sendiri, harus dibantu dan mengajak pihak-pihak yang lain.

Kalau dari sisi masyarakat, apa sudah memiliki kesadaran mitigasi perubahan iklim tersebut?
Berkali-kali dikatakan banyak LSM yang mendampingi masyarakat dan mengampanyekan mengenai hal itu. Saya kira sudah cukup lumayan untuk memulai dan tidak banyak teori terus karena banyak pihak yang harus dilibatkan baik kecil maupun besar.

Saat ini pemerintah sedang gencar melakukan banyak pembangunan di berbagai daerah. Tidak dimungkiri pembangunan ini berdampak bagi lingkungan sekitarnya. Bagaimana menurut Anda untuk menyeimbangkan kegiatan pembangunan tersebut dengan pelestarian lingkungan?
Pembangunan umumnya dikaitkan dengan infrastruktur. Infrastruktur itu 3-4 tahun belakangan besar-besaran dilakukan dan beberapa waktu lalu  disampaikan pak Basuki (Menteri PUPR) mengenai kesadaran pemerintah akan aspek lingkungan dalam pembangunan infrastuktur. Saya kira secara prinsip di atas kertas sudah oke.

Sering kita alami, ekses itu kan tidak diberi biaya, maksudnya dampak itu tidak diinternalkan di dalam perhitungan biaya. Kalau GDP meningkat karena dampak pembangunan infrastruktur yang meluas dan memudahkan mobilitas orang. (kalau) Diberi beban biaya ling­kungan yang dinternalkan, mungkin nilai GDP tidak akan setinggi itu. Jadi, internalisasi dari ekternalitas lingkungan itu kunci.

Anda beberapa kali mendapatkan penghargaan dan yang terakhir ialah penghargaan dari LIPI. Bagaimana Anda merefleksikan penghargaan-penghargaan yang Anda dapat tersebut?
Saya melihatnya dari segi yang memberi dan inisiatif. Itu kan (membutuhkan) effort atau upaya yang tidak sederhana. Terlepas dari hadiahnya apa. Untuk mencari yang pantas menerimanya itu tidak sederhana, kriterianya, justifikasinya. Jadi, saya menghargai yang memberi penghargaan karena effort dan inisiatifnya yang menarik. Tanpa mengurangi rasa hormat, itu luar biasa dapat mencari hal-hal seperti itu.

Menurut Anda tantangan apa saja yang dihadapi oleh para peneliti muda saat ini, serta apa harapan Anda bagi mereka?
Generasi sekarang agak lain cara berpikirnya. Mahasiswa saya saat ini lahir di atas 2000, sudah lain cara berpikir dan komunikasinya. Saya mengajarkan menjadi peneliti mungkin tidak populer kalau seperti saya diajar dulu.

Sekarang harus kreatif. Pertama, soal konsistensi yang struggling-nya antargenerasi itu berbeda untuk konsisten, kedua fokus.

Kemudian, berkomunikasi, bisa berkomunikasi secara verbal dengan media, masyarakat, pemda, menteri, PBB, beda-beda. (M-3)

-----------------------------------

Kecelakaan Menjadi Peneliti
AYAH tiga anak ini dikenal sebagai peneliti, tapi ternyata dirinya juga seorang dosen agama. Permintaan mengajar sebagai dosen agama itu muncul saat dirinya kembali ke kampus pada 1985. Permintaan itu datang dari Rektor IPB karena sang rektor ingin yang mengajar agama di IPB ialah orang dari IPB sendiri.

“Saya sedikit dari dosen Kristen di IPB, waktu kembali pada 1985 saya diminta mengajar sama rektor karena rektor ingin pelajaran agama diajar orang IPB sendiri, jadi saya training-nya kehutanan dan metereologi, tapi mengajar agama. Jadi, saya harus autodidak belajar sendiri bagaimana menyiapkan materi itu,” jelad Daniel.

Meskipun ilmu yang menjadi keahliannya ialah kehutanan dan metereologi, tapi saat diminta mengajar agama baginya kesempatan tersebut ialah keberuntungan. Dirinya memiliki kesempatan untuk memompa etika-etika dasar para mahasiswanya.

“Kalau tidak diaplikasikan percuma karena hanya teori. Jadi, tujuh minggu kita belajar dogma-dogma, lalu tujuh minggu berikutnya kita berikan etika-etika, termasuk etika lingkungan. Kontennya itu dinamis, setiap tahun bisa berganti, misalnya, soal pluralitas, radikalisme, fundamentalisme, dan itu hanya satu jam kuliah dalam satu minggu, diskusi­nya bisa dua sampai tiga jam. Saya bukan seorang teolog, tapi dibantu oleh teman-teman dan sekarang sudah ada tim, sekarang ada 16 orang yang membantu,” imbuhnya.

Daniel mengaku, meskipun dirinya diminta mengajar bidang yang bukan keahlian, tapi ia menyikapinya sebagai  kesempatan yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya.

Meskipun dirinya saat ini berprofesi sebagai seorang peneliti, Daniel mengaku dirinya tidak pernah berencana menjadi sebagai seorang peneliti. Bahkan, dirinya menyebut profesi yang ditekuninya saat ini sebagai sebuah ‘kecelakaan’.

“Karena saya lahir dan dibesarkan di tempat yang banyak kayunya di Cepu, Blora,jadi orangtua saya berharap hidup saya bisa lebih baik. Jadi, kayu itu asosiasinya kemakmuran. Tapi, waktu saya lulus, saya malah tidak siap kerja, saya tidak percaya diri di mana saya melihat masuk ke dunia yang tidak bersahabat juga, di swasta, penebangan, teman-teman saya ada yang sukses di bidang itu,” jelasnya.

Melihat itu, membuat Daniel memutuskan kembali ke kampus dan melanjutkan studinya hingga ke jenjang S-3 di Inggris. Daniel mengaku, lingkungan yang akademis itu memaksanya berpikir dan meneliti.

“Hal itu yang membuat saya tertarik meskipun saya tidak merencanakan hal itu (menjadi peneliti), saya coba dan saya tekuni terus. Jadi, menjadi peneliti ini kecelakaan atau kebablasan,” tawanya.

Tidak hanya itu, Daniel pun memiliki hobi yang masih serumpun dengan bidangnya, yaitu berkebun. Baginya, aktivitas berkebun dapat merilis perasaan stres.

“Saya punya taman yang menurut saya paling baik karena ditanam dan dirawat sendiri, saya potong rumput sendiri, saya suka rumput yang rapi dan itu bisa merilis stres dan menyehatkan secara kesehatan,” pungkas Daniel. (Riz/M-3)

------------------------------------------------

Tempat, tanggal lahir:
Blora, 10 September 1955

 

Pendidikan:
1985: S-3 Meteorologi di University of Reading, United Kingdom
1979: S-2 Manajemen Sumber Daya Alam di Institut Pertanian Bogor (IPB)
1977: S-1 Kehutanan di Institut Pertanian Bogor (IPB)

Karier:
1. 2002-sekarang: Member of the Indonesian Academy of Sciences (AIPI).
2. 2003-sekarang: Principal Scientist, Center for International Forestry Research (CIFOR). The responsibility covers areas related to forest/land-use and climate change.
3. 2000–2001: Deputy Minister of Environment, Republic of Indonesia. Responsible for Policy Formulation related to Natural Resource Management. Also acted as National Focal Point for UNFCCC, CBD, and Montreal Protocol.
4. Sejak 1999: Professor, Atmospheric Sciences, Department of Geophysics and Meteorology, Bogor Agricultural University.
5. 1995–2000: Director, BIOTROP-GCTE Global Change Impacts Centre for Southeast Asia, Bogor

Penghargaan
1. LIPI Sarwono Award 2018
2. Achmad Bakrie Award 2010

 

 

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Panji Arimurti
Berita Lainnya