Headline
Pertemuan dihadiri Dubes AS dan Dubes Tiongkok untuk Malaysia.
Pertemuan dihadiri Dubes AS dan Dubes Tiongkok untuk Malaysia.
Masalah kesehatan mental dan obesitas berpengaruh terhadap kerja pelayanan.
PANGERAN Diponegoro kita imajikan gagah sebagai sosok yang dikenal dalam kronik Perang Jawa (1825-1830). Ia juga yang mengilhami Chairil Anwar menulis sajak nan menggelora. Namun, tak banyak yang tahu kalau Raden Ayu Maduretno ialah takdir cinta yang mendampingi sang pangeran, keluar dari kekakuan dan kefeodalan keraton.
Kisah keduanya diangkat dalam drama musikal Takdir Cinta Pangeran Diponegoro yang dipentaskan Teater Keliling di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), Jakarta Pusat, pada Jumat, (17/8) malam. Naskah yang ditulis Wardiman Djojonegoro itu diadaptasi Dolfry Indasuri dan disutradarai Rudolf Puspa.
Cerita yang diangkat ialah saat masa Diponegoro memutuskan keluar dari lingkaran istana sebab patok-patok telah dipasang di tanah Tegalrejo atas perintah Patih Danurejo. Keluarnya Diponegoro dari keraton pun sebagai salah satu cara pemberontakannya pada tempat ia dibesarkan.
Ia memang tak mau diangkat sebagai raja oleh ayahnya, Sri Sultan Hamengkubuwono III sebab dirinya sadar hanya merupakan anak dari seorang garwa ampeyan (selir). Dalam kisah ini, berpusat pada masa Diponegoro saat bersama istri Raden Ayu Maduretno. Menandai Perang Diponegoro terlecut.
Namun, rupanya untuk menghadirkan epos pahlawan berkeris pendobrak tatanan feodal keraton dan kolonialisme Belanda itu, tampak tersaji kurang rapi. Menggunakan konsep drama musikal, justru unsur tari dan musiknyalah yang cukup menyelamatkan pementasan ini. Sementara drama, atau teatrikalnya justru bisa dikatakan kurang penggarapan.
Agaknya, ada beberapa adegan yang terasa hanya sebagai pemanjang durasi seperti saat para pelayan keraton bermain dengan sultan. Atau, dialog humor yang terasa mentah, dan persona keaktoran pemeran utama yang tak bisa mengangkat performa pementasan.
Yang menjadi catatan penting ialah penempatan aktor juga tata cahaya yang sayangnya, membunuh si aktor di atas panggung. Seperti ketika adegan tari, bagian tata cahaya sisi kiri panggung, penari tidak mendapat cahaya, atau bisa jadi si penari yang tidak memperhatikan blocking-nya. Juga ketika lampu panggung masih gelap, aktor sudah mendahului berdialog.
Bantuan audio mikrofon juga bukan menjadi tidak ada masalah. Aktor mungkin mendapat bantuan untuk tidak terlalu mengeluarkan power vokal. Namun, toh, seharusnya aktor juga punya bekal teknik, agar napas mereka tidak selalu terdengar di akustik gedung, hingga ke telinga penonton yang terasa mengganggu.
Satu-satunya tulang punggung dari mozaik Perang Diponegoro ini ialah balutan musik, juga koreografinya yang mampu memberi hiburan utuh dari serba kekurangmatangan lainnya.
Meski Diponegoro ini di atas panggung kehilangan tajinya, Rudolf Puspa sang sutradara bersama Teater Kelilingnya mengingatkan kita di hari lahir bangsa, menukil sajak Chairil.
Bagimu Negeri
Menyediakan api.
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas.
(*/M-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved