Headline
Pertemuan dihadiri Dubes AS dan Dubes Tiongkok untuk Malaysia.
Pertemuan dihadiri Dubes AS dan Dubes Tiongkok untuk Malaysia.
Masalah kesehatan mental dan obesitas berpengaruh terhadap kerja pelayanan.
JALAN berkelok di atas perbukitan itu dilatari pemandangan laut biru dengan buih-buih ombaknya. Di ujung jalan berkelok itu ratusan orang berdiri tak sabar. Mereka berdiri membelakangi deretan bendera beraneka rupa corak dan warna.
Beberapa di antara mereka mengangkat kedua tangannya sambil berteriak gembira, menyambut serombongan orang berpenutup kepala yang tengah menaiki ‘kuda besi’ berdoa dua.
Sorak-sorai mereka diikuti seorang bocah berbaju merah yang berdiri di seberang kerumunan orang itu. Seorang berbaju putih bertopi caping duduk di hadapan bocah itu, tetapi dengan ekspresi yang berbeda. Tak ada lambaian tangan dari laki-laki bertopi caping yang jadi tukang tambal ban dadakan itu.
Lukisan berjudul Ditunggu Tambal Ban milik seniman senior Djoko Pekik yang kini berusia 80 tahun itu, berada persis di pintu masuk Multi Function Hall Level 2 Plaza Indonesia, tempat dihelatnya pameran seni rupa yang akan berlangsung hingga Minggu (19/8).
Djoko mengatakan, lukisan itu mengambil latar jalur selatan di Yogyakarta. Di pantai Parang Tritis, ia melihat banyak jalan lintas baru, naik turun gunung.
“Kalau ada jalan baru pastinya akan dipakai balap sepeda. Nah, orang desa menganggap itu rezeki karena banyak yang akan menambal ban. Padahal itu balap sepeda. Tanggapan orang desa beda toh. Jadi di Asian Games ini buat orang desa, kebagian rezeki apa nantinya?” beber Djoko, Senin (13/8) malam.
Latar yang sama, tetapi dengan warna berbeda dihadirkan Erianto, seniman generasi milenial kelahiran Paladangan Agam, Sumbar, pada 1983. Cat akriliknya di atas dua kanvas 100 cm berjudul Awan Hitam (Tanah Airku the Series) dan Mentari Pagi (Semarak Nusantara), membentuk pemandangan pegunungan dan perbukitan dengan warna-warna terang.
Djoko Pekik dan Erianto ialah dua seniman yang lahir dalam rentang waktu berbeda. Namun, dalam pameran bertajuk Energi Seni-Fine Art Exhibition itu, keduanya sama-sama memvisualkan keindonesiaan mereka melalui keindahan pemandangan alamnya.
Dulu vs sekarang
Kurator pameran, Suwarno Wisetrotomo mengatakan, Djoko Pekik mengalami kehidupan sosial politik yang penuh ketegangan. Lewat karya-karyanya, seniman kelahiran Grobogan, Jawa Tengah, dan menyuarakan kegetiran hidupnya secara kritis.
Karya lukis Djoko Pekik yang terkenal berjudul Berburu Celeng misalnya, menggambarkan keadaan para pemimpin Indonesia pada masa Orde Baru. “Berbeda dengan Erianto yang cenderung membahas isu-isu dengan cara santai,” ucap Suwarno.
Seperti Djoko Pekik, perupa kelahiran Madiun, Jawa Timur, Ong Hari Wahyu yang kini berusia 60 tahun juga menyuarakan perkara-perkara masyarakat, sosial politik secara kritis. Namun, sambung Suwarno, pendekatan visualisasinya Ong lebih kekinian.
Ong memadukan teknik olah digital dengan teknik seni lukis, memadukan anasir-anasir visual yang lama dengan yang baru, menghasilkan tata rupa yang menyuarakan sesuatu paradoks maupun ironi.
Misalnya saja pada lukisan berjudul Woke a Sleeping Tiger (Ngugah Macan Turu) yang dibuatnya pada kanvas berukuran 90 cm x 75 cm. Di atas kanvas itu, terlihat seekor harimau sumatra yang sedang duduk manis di depan seorang tentara berbaju biru, bercelana putih, dan bersabuk merah. Dengan tali kekang di lehernya, binatang yang tadinya buas itu menjelma menjadi seekor kucing manis. Hilang kesangarannya.
“Usia zaman menunjukkan spiritnya masing-masing,” pungkas Suwarno.
Pameran yang melibatkan 18 perupa lintas generasi ini digelar untuk memperingati HUT ke-73 Kemerdekaan RI dan menyambut perhelatan Asian Games 2018.
Dengan beragam bentuk lukisan, patung dan instalasi seni yang jumlahnya mencapai lebih dari 40 buah, dari 18 seniman Indonesia dari lintas generasi dan lintas aliran. Ke-18 seniman tersebut ialah Afdhal, Agus Kamaloedin, Andrik Musfauri, Bambang Heras, Butet Kartaredjasa, Djoko Pekik, Erianto, Erica Hestuwahyuni, Gunawan Bonaventura, Heri Dono, Indra Dodi, Ma Rozik, Masagoen, Ong Hari Wahyu, Putu Sutawijaya Rato Tanggela, Tempa, dan Umbu LP Tanggela. (M-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved