Vera Kebaya, Mempertemukan Pakem dan Selera Milenial

Suryani Wandari
15/8/2018 17:26
Vera Kebaya, Mempertemukan Pakem dan Selera Milenial
Pertunjukkan Vera Kebaya, didukung Djadug Ferianto sebagai penata musik, fotografer Darwis Triadi, videografer Wiki Lee, serta penata rias yang punya nama besar mendadani pengantin-pengantin dengan adat lokal.(Nadia Fauziah)

Kebaya, memikat mata, pun diskusi, dan Vera Anggraini, pendiri merek Vera Kebaya menyajikannya dalam pertunjukkan tunggal 40 kreasinya, malam ini, di Jakarta, untuk merayakan lima belas tahun kiprahnya.

Bukan cuma terinspirasi, kebaya-kebaya itu juga berupaya menyerap identitas pun pakem yang berlaku di tanah dimana masing-masing tradisi kebaya itu dilahirkan. Sebanyak 12 busana kebaya dari Jawa, 15 dari Sumatera, dan 13 dari Kalimantan, Sulawesi, hingga daerah-daerah lain yang menginspirasi proses desainnya, yaitu NTT, NTB hingga Papua.

Buat menyempurnakan tampilan mata, suara hingga representasi kultur lokal, Vera menggandeng Djadug Ferianto sebagai penata musik, fotografer Darwis Triadi, videografer Wiki Lee, serta penata rias yang punya nama besar mendadani pengantin-pengantin, yaitu  Irwan Riady, Adi Adria, Anpasuha, Mami Hardo, Des Iskandar dan Emil Eriyanto.

"Kami sama-sama cinta akan tradisi budaya pernikahan Indonesia, sehingga menyatukan pemikiran dan ide untuk membuat fashion show bertajuk Merajut Nusantara ini," kata Vera dalam jumpa Media, di Jakarta, Senin (13/8).

Vera berkisah, proses kreatifnya baru benar-benar intens dilakukan April lalu. "Semua dikerjakan dengan sangat cepat, tidak hanya mengenai busana tetapi juga musik."

Musisi Djadug Ferianto mengungkapkan, ini pertama kali ia mau terlibat mengisi acara fesyen. "Selama ini sudah banyak desainer yang mengajak, tapi saya menolak. Kali ini, saya justru tidak berfikir dua kali karena kami memiliki semangat sama, memajukan dan melestarikan kebudayaan Indonesia. Pertunjukkan ini merupakan investasi kultural," ujar Djadug.

Mereka yang setia pada adat
Terkait kehadiran para perias, Vera mengaku, menyeleksi mereka yang dinilainya mengerti betul pakem-pakem adat. "Sehingga diharapkan bisa memperkecil komentar negatif dan kesalahan dalam pertunjukkan yang mengangkat kekayaan budaya ini. Mereka pula yang selalu memberikan masukan dalam proses kreatif saya," ujar Vera.

Penata rias Mami Hardo mengungkapkan, ada banyak pakem adat yang tidak bisa diubah kendati modernisasi kian kencang. "Misalnya, baju dodotan itu tidak bisa diubah pakemnya. Jika pakai itu, paesnya harus hijau, nggak boleh hitam, karena setiap unsur itu ada artinya. Kalaupun Mba Vera mau mengombinasikan dengan bolero, harus terbuat dari bludru. Yang bisa dinego dalam tradisi pernikahan adat, hanyalah asesorisnya. Itupun tidak boleh 100%, komposisinya, 60% adat, 40% kombinasi," ungkap Mami.

Prinsip itu juga diamini Des Iskandar yang jadi pilihan pertama para mempelai yang menggunakan adat Sumatera. "Iya, ada beberapa pakem yang tidak bisa diubah. Biasanya untuk mengikuti maunya anak zaman now, kami mengakalinya dengan menyelipkan unsur kebudayaan namun tetap mengikuti maunya. Itu hanya untuk beberapa aturan. Kalau yang mutlak, nggak bisa diubah," ujar Des. (M-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Iis Zatnika
Berita Lainnya