Headline
KPK akan telusuri pemerasan di Kemenaker sejak 2019.
NASI hangat, sup bakso, dan dua potong sayap ayam, baru saja mendarat di perut ketika angin dingin kembali berdesir meniup telinga saya. Malam itu (Jumat, 6/7), udara di Pondok Saladah memang membuat saya ingin segera meringkuk di balik selimut. Namun, saya punya misi yang harus digenapi lebih dulu.
Setahun lebih saya tidak menginjakkan kaki di salah satu lembah Gunung Papandayan, Garut. Pengelolanya pun sudah berganti ke swasta. Sejak dipegang PT Astri Indah Lestari (AIL), ternyata banyak perubahan dilakukan di salah satu destinasi ekowisata favorit di Jawa Barat ini.
Kondisi jalur tracking kini tampak lebih rapi dan relatif bersih dari sampah. Saya juga menjumpai sejumlah toilet dan pendopo peristirahatan sepanjang jalur pendakian. Berkomunikasi dengan 'dunia luar' pun menjadi lebih mudah lantaran masuknya sinyal seluler di beberapa spot, meski koneksi hanya berlangsung pada siang hari mengingat tiang pemancar sinyal belum dibangun permanen.
Arloji menunjukkan pukul 21.00 WIB. Mata saya masih segar, jauh dari kata mengantuk. Saya menyimak ke atas, ke langit yang terang benderang oleh hamparan bintang. Saatnya melakukan misi. Berburu Bima Sakti.
Kamera, lensa, dan tripod yang cukup signifikan menambah beban di ransel selama pendakian di siang hari, saya keluarkan.
Ini bulan terbaik
Berbekal aplikasi cuaca dan peta bintang di ponsel, saya memang telah menyimpan harapan akan cuaca malam yang cerah di Gunung Papandayan. Apalagi saat musim kemarau pada Juli-Agustus ini, berdasarkan pengalaman saya, langit di gunung akan terlihat lebih jernih. Itulah mengapa saya rela meninggalkan kamera kompak saya dan membawa atribut 'perang' yang lebih berat pada pendakian kali ini.
Padahal, kalau ingin mencari kenyamanan di cuaca dingin ini, lebih baik saya membawa kantong tidur dan jaket berbulu angsa. Sayangnya, ruang di ransel terbatas, sedangkan hasrat untuk berburu foto panorama malam dengan langit bergemintang lebih menggebu.
Bentangan bintang yang wujudnya tak asing terlihat di langit sisi selatan. Saya pun kembali mengeluarkan gawai untuk mengecek posisi bintang dan planet. Di aplikasi bernama Stellarium, hamparan bintang menyerupai lekuk sungai tersebut berada di antara rasi Scorpio dan Sagitarius. "Yes! Itu dia milky way!" teriak saya dalam hati.
Bima Sakti
Milky way, atau yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan nama Galaksi Bima Sakti, memang memungkinkan untuk terlihat di daerah pegunungan yang jauh dari polusi cahaya. Terlebih saat bulan mati--fase bulan muda atau bulan tua, bukan bulan purnama---yang memungkinkan mata telanjang untuk menangkap fenomena Bima Sakti. Bulan purnama yang membuat langit lebih terang biasanya menjadikan penampakan Bima Sakti teredam cahaya bulan.
Saya pun mengarahkan kamera ke sisi langit tersebut. Mengatur setelan kamera sedemikian rupa sehingga memungkinkannya menangkap gambar di temaram malam.
Semua kamera sebenarnya bisa untuk digunakan untuk memotret Bima Sakti asal bisa menggunakan modus manual dan menggunakan shutter speed setidaknya hingga 30 detik. Tidak perlu kamera mahal hingga puluhan juta. Bahkan, perangkat yang saya pakai hanyalah kamera SLR entry level yang harganya kini tidak lebih dari Rp5 juta.
"Yang penting man behind the gun," begitulah prinsip yang selalu saya tanamkan.
Belasan frame foto sudah dihasilkan, akhirnya saya dapat mengetahui posisi jelas keberadaan si Bima Sakti. Saya pun berpindah tempat untuk mencari foreground (latar depan) yang menarik sebagai objek foto.
Sebuah bangunan baru yang berfungsi sebagai pos keamanan saya pilih sebagai objek utama. Aha! Saya berhasil mendapatkan beberapa gambar yang menarik dengan berbagai variasi angle foto.
Aneka latar
Saya pun terus mengeksplorasi kawasan lembah Pondok Saladah untuk mencari objek foto dengan latar belakang langit bermandikan bintang. Mulai tenda para pendaki, pepohonan, hingga musala saya jadikan objek bidikan mata lensa.
Hari makin larut, bintang-bintang incaran pun makin bergeser hingga mengarah ke atas kepala. "Kalau sudah di atas kepala, susah untuk mencari foreground," gumam saya.
Akhirnya, saya pun memilih kembali ke tenda. Suhu makin menurun, tak jauh dari titik beku, 4 derajat celsius. Brrr... Namun, dinginnya malam dan hempasan angin yang memekakkan telinga terbayar tuntas ketika melihat hasil-hasil bidikan di kamera.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved