Headline
Saat ini sudah memasuki fase persiapan kontrak awal penyelenggaraan haji 2026.
Saat ini sudah memasuki fase persiapan kontrak awal penyelenggaraan haji 2026.
SUATU hari di masa hidup Rasulullah Muhammad SAW, beberapa sahabatnya menyenandungkan syair sembari mengungkit sesuatu ingatan di masa lalu pada masa jahiliah. Tidak marah ataupun terganggu, rasul ikut menyimak dan mengobrol dengan para sahabat itu. Bahkan ada kalanya rasul juga ikut menyenandungkan syair yang beliau hafal.
Pada waktu lainnya diriwayatkan, rasul pernah mengambil pelajaran dari syair yang digubah Umayyah bin Abi ash-Shalt. Meski Umayyah ialah orang yang sangat memusuhinya, tidak pula rasul antipati.
Sang manusia terbaik itu tidak membenci syair-syair dari masa jahiliah ataupun dari para musuhnya. Rasul hanya melarang syair yang mengandung kata-kata keji, jorok, menyakiti orang lain ataupun menimbulkan bahaya.
Beberapa penggal kisah rasul dan syair jahiliah itu termuat dalam buku Sejarah Arab Sebelum Islam-Geografi, Iklim, Karakteristik, dan Silsilah karya sejarawan besar Irak dan Arab Jawwad Ali. Penggalan kisah itu sekaligus menjadi pijakan pembaca akan memahami pentingnya topik yang diangkat pria yang mangkat pada 1987 itu.
Buku ini merupakan terjemahan dari al Mufashshal fi Tarikh al-'Arab Qabla al-Islam pada 1968. Al Mufashshal tersebut terdiri atas 10 volume yang baru selesai diterbitkan pada 1974 dan menjadi salah satu dari sederet karya monumental Jawwad Ali yang diakui dunia. Di Indonesia, cetakan pertama dari volume pertama al Mufashshal diterbitkan Alvabet, pada April 2018.
Mengapa kisah rasul dan syair jahiliah (halaman 107) tersebut penting sebagai pijakan membaca karena anggapan umum tentang keburukan masa jahiliah. Bobroknya moral masyarakat Arab di masa sebelum kedatangan Islam itu membuat seolah-olah tidak ada hal yang patut disimak darinya. Tidak sedikit pula yang mengaitkan pembahasan era jahiliah dengan membangkitkan kemusyrikan (paganisme).
Dengan meneladani rasul, nyatanya dalam syair jahiliah pun ada pelajaran yang bisa diambil. Selain itu, memang andai kata Islam ingin menghapus jahiliah dan menghapus jejaknya, tentulah Alquran tidak akan mengungkapkan kehidupan di masa itu.
Semangat demi keilmuan itu pula yang terasa dalam buku Sejarah Arab Sebelum Islam. Bentuk ensiklopedia yang detail, konstruktif, dan analitis sudah terlihat dari jumlah catatan kaki dan daftar pustaka yang mencapai lebih dari 120 halaman dari buku setebal 836 halaman itu.
Keberagaman makna
Dalam volume pertama ini, Jawwad Ali mengupas jika kata 'Arab' tertua ditemukan di manuskrip Bangsa Assyria yang hidup di masa abad 20-15 SM. Namun, makna kata Arab bukan yang seperti kita pahami kini, melainkan menggambarkan pasang surut kekuasaan Masyikhah yang berada di wilayah perbatasan Assyria. Kemudian berkembang pula kata al-'Arab yang merupakan sebutan untuk pedalaman di sebelah barat Sungai Eufrat hingga ujung negri syam.
Jawwad pun membahas makna kata Arab yang muncul dalam Taurat. Di situ, kata 'arabi' dan 'Arab' mengandung makna nomadis dan kehidupan Badui. Kata Arab yang mengandung makna kebangsaan, meliputi baik yang berbudaya maupun primitif, barulah ditemui di Alquran. (halaman 4)
Kedalaman pembahasan Jawwad Ali juga bisa dilihat dari dikupasnya kaum-kaum Arab yang sudah dikenal luas maupun Arab yang tidak teridentifikasi, yakni Arab al Baidah. Kaum yang masuk golongan itu ialah kaum-kaum kuno yang selama ini kisahnya kita ketahui dari Alquran, yakni Ad, Tsamud, dan Hud. Selain itu, ada pula Thasam dan Judais.
Serupa dengan pemaknaan dan sejarah kaum yang beragam, begitu pula pola pikir bangsa Arab. Pola pikir itu dipengaruhi perbedaan wilayah yang ditempati dan sistem sosial yang melingkupinya. Dalam memahami geografis wilayah ini akan membantu kita memahami pola pikir masyarakat Arab.
Orang Arab pedalaman yang di hidup di padang Sahara sangat bergantung pada hujan (air) dan tempat penggembalaan. Sebab itu pula mereka akan berperang demi mempertahakan atau merebut sumber daya yang ada. Mereka pun menjadi mudah curiga dan bermusuhan dengan orang lain.
Meski kerap menjarah, Jawwad Ali menuturkan, tidak ada suku yang memelihara keadilan melebihi orang Arab pedalaman. Di antara sukunya, orang Arab pedalaman bahkan rela mengorbankan milik sendiri demi menjaga sifat adil. Hal ini khususnya dalam membagi harta rampasan perang.
Nasib dan nasab
Meski terbatas, orang Arab pedalaman juga merasa mulia dengan kehidupan mereka. Sebab itu mereka tidak suka meniru kehidupan orang lain, atau dengan kata lain sangat tidak rela dengan perubahan. Sifat ini bertahan hingga kini dan hal itu terjadi sama sekali bukan karena mereka bodoh.
Selain menjunjung nasib, orang Arab juga sangat memelihara nasab. Bagi orang Arab pedalaman khususnya, nasab ialah dasar untuk menegakkan hak-hak manusia meski hidupnya selalu kalah. Garis nasab ibarat perisai. Sebab itu orang Arab akan menyebut suku dan kabilahnya jika bertemu dengan orang lain.
Arab mukim atau perkotaan tidak terlalu memperhatikan nasab karena mereka merasa sudah terlindungi dengan pemerintahan. Selain itu, ikatan darah dan nasab sudah lemah karena banyaknya pernikahan dengan orang non-Arab.
Pernasaban ini sudah berlangsung sangat lama dan muncul pula kisah-kisah keterhubungan nasab Yahudi dengan orang Arab. Jawwad menyimpulkan hal tersebut masuk ke kaum jahiliah dari orang Yahudi. Terkadang orang Yahudi yang menyebarkan informasi yang menghubungkan nasab mereka dengan orang Arab. Ini bertujuan mendekat pada orang Arab sehingga kaum Yahudi dapat tinggal dengan tenang di antara mereka. (halaman 393)
Mengenai penasaban ini, Alquran juga sudah memberitahukan bahwa Ibrahim adalah ayah bangsa Arab. Lalu ada pula riwayat Rasulullah yang menyebutkan bahwa semua orang Arab termasuk keturunan Ismail bin Ibrahim.
Namun, banyak pula ahli sejarah yang terus berupaya menggali lebih jauh, termasuk dengan mengorelasikan dengan keterangan-keterangan di Taurat. Misalnya, ath-Thabari yang menyebut bangsa Arab berasal dari putra Ismail yang bernama Nabat dan Kidzar.
Taurat memang menyebut Ismail memiliki 12 putra termasuk Nebayot (Nabat) dan Kedar (Kidzar). Nebayot diriwayatkan memiliki kabilah yang besar, sedangkan Kedar kemudian dituturkan sebagai orang Badui yang hidup di kemah. Namun, Jawwad Ali menilai kisah yang mengunggulkan kedua putra Ismail itu lebih karena tidak teraksesnya kisah-kisah putra yang lain.
Di bagian terakhir volume 1 ini Jawwad Ali mengupas hubungan Arab dengan bangsa Romawi. Salah satu yang menarik ialah kemungkinan asal kata gelar 'Kaisar' (Caesar) yang berasal dari nama kaum Arab, al-Asy'ar.
Sebagian sejarah menyebut kata Kaisar muncul pertama kali pada masa pendudukan Pelabuhan Aden. Namun, ahli sejarah lainnya mengungkapkan jika penyebutan kaisar untuk raja Romawi saat itu belum berlaku. Sebab itu terdapat pandangan kata Kaisar merujuk pada kaum al-Asy'ar yang memang tinggal tidak jauh dari Aden dan kemungkinan menyerbu Aden.
Dalam bab itu juga dijelaskan jika dupa Arab yang semerbaklah yang mendorong invasi Alexander Agung ke perairan Arab. Kedatangan mereka dengan kapal-kapal Byzantium tidak mampu disaingi saudagar Arab. Akhirnya perniagaan Arab selatan mundur karena para saudagar terpaksa berniaga melalui jalur darat.
Dengan kedalaman pembahasannya, buku ini memang menjadi pembuka yang lengkap untuk mengetahui kondisi awal Arab sebelum kedatangan Islam. Bangsa dan Tanah Arab, dengan segala keunggulan dan kelemahannya, merupakan ciptaan Allah yang sangat kaya sekaligus unik. Mereka menjadi landasan yang paling sempurna untuk kedatangan Islam dan kemudian memainkan peran penting dalam perubahan dunia dan ahlak manusia.
Untuk memahami bangsa Arab yang lebih mendalam, termasuk saat kedatangan Islam dan setelah Islam, tentunya harus membaca volume-volume berikutnya dari rangkaian buku ini. Semoga pula rangkaian volume tersebut akan segera diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.
(M-4)
__________________________________
Judul: Sejarah Islam Sebelum Arab
Penulis: Jawwad Ali
Penerbit: Alvabet
Terbit: April 2018
Tebal: 836 halaman
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved