Headline
Hakim mestinya menjatuhkan vonis maksimal.
Talenta penerjemah dan agen sastra sebagai promotor ke penerbit global masih sangat sedikit.
RATUSAN anak tangga harus kita lewati untuk sampai di puncak Gunung
Ratu. Embusan angin terasa semilir saat memasuki kawasan hutan, ditambah suasana sejuk sepanjang jalan, membuat pendakian tidak begitu terasa.
Suara burung hutan yang sahut-menyahut menambah semangat para
pengunjung untuk terus berjalan hingga puncak bukit. Setelah 45 menit, pengunjung akan sampai pada puncak bukit. Lelah pendakian pun terbayar dengan suasana sejuk dan indahnya panorama dari atas bukit.
Akan didapati pula beragam pohon berbagai jenis yang berumur lebih dari seratus tahun tegak berdiri di sana.
Kawasan hutan lindung Gunung Ratu secara adminstrasi berada di Desa Cancing, Kecamatan Ngimbang, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Dari pusat Kota Lamongan, situs Gunung Ratu berada pada jarak sekitar 65 kilometer ke arah selatan.
Akses jalan menuju lokasi juga sudah terbilang bagus. Belakangan kawasan itu selain menjadi tempat wisata umum, juga menjadi menjadi salah satu lokasi wisata religi sebab pada puncak bukit di kawasan ini terdapat sebuah kuburan Dewi Andong Sari yang diyakini masyarakat sekitar sebagai ibunda Mahapatih Amangkubumi Kerajaan Majapahit, Gajah Mada.
Di puncak bukit itu, pengunjung akan mendapati dua makam lainnya. Makam itu akan kita temui setelah beberapa langkah dari gerbang pintu masuk situs Gunung Ratu. Dua kuburan dengan ukuran pendek (sebesar pekuburan bocah) itu tertulis 'Kucing Condromowo dan satunya Garangan
Putih.'
Jika dilihat nama tertera pada tanah di pekuburan itu identik dengan nama jenis binatang. Kucing dan Garangan Putih (dalam istilah, Jawa Musang). Sekitar 50 meter dari pintu gerbang, pengunjung akan memasuki bangunan utama makam.
Di bawah pohon besar dan dikelilingi tembok dengan atap tertutup, di situlah makam Dewi Andong Sari. Makam itu membujur ke utara dan selatan, dengan dilengkapi tiga payung warna emas, layaknya payung simbol kebesaran kerajaan.
Budayawan Lamongan, Solikin Suryaatmadja, menuturkan cerita tutur yang berkembang di tengah masyarakat Gunung Ratu diyakini sebagai tempat kelahiran Maha Patih Gajah Mada. Masyarakat sekitar situs percaya, Dewi Andong Sari adalah nama samaran dari Indreswari, salah satu istri selir pendiri Kerajaan Majapahit, Raden Wijaya.
Kelahiran Jaka Mada
Konon, keberadaan Dewi Andong Sari di Gunung Ratu tak lain akibat persengkokolan jahat di Keraton Wilatikta. Diceritakan, saat itu Indreswari sedang mengandung karena tidak senang kehamilan Indreswari, salah satu istri Raden Wijaya kemudian memerintahkan pengusiran terhadap Indreswari dari keraton.
Dalam pelariannya, Indreswari ditemani dua binatang kesayangannya, yakni, Kucing Condromowo dan Musang Putih. Untuk menutupi derajat kebangsawanannya dan agar tidak bisa dilacak, Indreswari kemudian mengganti namanya dengan sebutan Dewi Andong Sari.
Dalam pelariannya, Dewi Andong Sari kemudian memilih Gunung Ratu sebagai tempat tinggal untuk membesarkan putranya. Sementara itu, baju kebangsawanannya kemudian ditanam disekitar tempat tinggalnya agar tidak diketahui orang lain.
Pada saatnya, kemudian lahirlah putranya. Sehari-hari, putranya dijaga dua hewan kesayangannya. Kucing Condromowo dan Musang Putih. Suatu ketika, saat Dewi Andong Sari sedang mengambil air, tanpa diduga ada ular besar yang hendak mencelakai bayi Andong Sari.
Melihat bahaya mengancam putra majikannya, dua hewan piaraan Andong Sari kemudian serentak menghalau. Terjadilah perkelahian antara ular besar melawan Kucing Condromowo dan Musang Putih.
Ular dikeroyok dua abdi setia Dewi Andong Sari. Perkelahian yang tidak seimbang itu akhirnya dimenangi Kucing Condromowo dan Musang Putih. Ular besar itu dapat dikalahkan hingga mati terkapar di tanah. Andong Sari yang baru sampai dikediamannya tersentak kaget.
Melihat suluruh rumah berantakan. Dia semakin panik manakala mendapati dari mulut kedua abdinya berlumuran berdarah. Kenyataan itu membuat Andong Sari tak bisa menahan amarah. "Dia menduga putranya dicelakai kedua abdinya," paparnya.
Dengan serta-merta, dia mencabut cundrik (keris kecil) miliknya dan langsung menusukkan pada kucing dan musang. Dua abdi kesangangan itu tak melawan dan hanya diam pasrah menerima tikaman cundrik sang majikan. Tak pelak, keduanya mati seketika.
Setelah dua abdi setia itu mati, Andong Sari menemukan putranya kalau putranya masih hidup. Tak jauh dari dua piaraannya, terdapat bangkai ular besar.
Saat itulah, Andong Sari mengerti kalau darah yang ada dimulut kucing dan musang merupakan darah ular yang mati. Karena merasa bersalah, Andong Sari dengan serta-merta menubruk dan memeluk dua abdinya yang telah mati akibat cundriknya. Tanpa disadarai, keris kecil yang masih menancap ditubuh piarannya itu juga menusuk tubuhnya.
Hal ini menyebabkan Dewi Andong Sari menemui ajalnya. Putra Andong Sari kemudian diselamatkan Ki Sidowayah, tokoh masyarakat yang disegani di kawasan Gunung Ratu. Ki Sidowayah juga yang mengubur jasad Dewi Andong Sari beserta hewan piaraannya yang telah mati.
Di sekitar kediaman Dewi Andong Sari kemudian ditemukan pakaian adat kebesaran kerajaan yang identik dengan baju seorang ratu. Sejak saat itulah, tempat kediaman Dewi Andong Sari disebut Gunung Ratu. Oleh Ki Sidowayah, putra Dewi Andong Sari kemudian dititipkan kepada adik perempuannya seorang janda Wara Wuri di Modo. Di sanalah anak Dewi Andong Sari dijuluki Joko Modo (pemuda yang berasal dari Kampung
Modo).
Jaka Mada dewasa lalu dibawa Ki Sidowayah ke Malang untuk menjadi prajurit Majapahit. Dari sinilah, karier keprajuritan dimulai hingga kemudian hari menjadi Mahapatih Gajah Mada. Juru Kunci Makam Dewi Andong Sari, Sulaiman menjelaskan, situs makam yang dipercaya ibunda Patih Gajah Mada itu ditemukan masyarakat sejak lama.
Payung emas dalam cungkup bangunan makam memberi tanda bahwa yang dimakamkan ialah figur seorang ratu. Sementara itu, pakaian kebesaran keraton yang ditemukan di dalam bangunan cungkup.
Selama beberapa tahun terakhir, situs makam itu menjadi tempat wisata religi masyarakat dari berbagai daerah di Jatim dan Jateng. Tidak sedikit etnik Tionghoa dan lainnya yang juga banyak berkunjung ke makam tersebut.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved