Headline
Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.
Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.
BELASAN orang masuk arena lapang yang difungsikan sebagai panggung. Mereka menggotong boneka raksasa setinggi 3 meter. Secara berbarengan mereka memainkan boneka itu, bergerak dan terus bergerak.
Boneka raksasa itu pun seperti hidup. Setiap kali boneka itu digoyangkan, setiap itu pula tabuhan gamelan mengiring.
Pembawa boneka raksasa itu tidaklah mungkin hanya seorang. Dengan berat mencapai bilangan ton, mustahil untuk bisa mengangkat boneka itu seorang diri. Dibutuhkan belasan hingga puluhan orang untuk mengangkat boneka raksasa atau ogoh-ogoh. Mereka disebut penegen, para pembawa ogoh-ogoh.
Keindahan gerak ogoh-ogoh bergantung pada kekompakan dan kebersamaan para penegen. Jika tidak demikian, ogoh-ogoh itu tidak menjadi hidup. Hanya berupa patung beku yang kaku.
Namun, kehadiran para penegen itu menjadikan ogoh-ogoh begitu hidup. Mereka mampu dengan kompak memainkan boneka itu hingga laksana menari.
Suasana semakin hidup dengan kehadiran para pemusik. Mereka memainkan gamelan Bali dengan begitu indah. Berpadu dengan goyangan dan gerakan para penegen ketika menggoyangkan ogoh-ogoh. Begitulah yang tersaji dalam Festival Ogol-Ogol di Pantai Lagoon, Taman Impian Jaya Ancol, pada Minggu (18/3).
Ogoh-ogoh adalah karya seni patung dalam kebudayaan Bali yang menggambarkan kepribadian Bhuta Kala. Ia merepresentasikan kekuatan (Bhu) alam semesta dan waktu (Kala) yang tak terukur dan tak terbantahkan. Bhuta Kala digambarkan sebagai sosok yang besar dan menakutkan dalam wujud raksasa.
"Ogoh-ogoh itu adalah simbol dari raksasa. Raksasa itu digambarkan dengan sifat-sifat negatif, keangkaramurkaan, dengan sifat rakus. Makanya ogoh-ogoh itu selalu digambarkan dengan wajah seram, bertaring," beber budayawan bali Ketut Dana.
Sore itu tidak hanya satu ogoh-ogoh yang dihadirkan. Selain Amerih Tirta Amertha, ada juga ogoh-ogoh Pralina Detya, Sepuh Leger, Kala Rau Pralaya, Sang Kali, dan Dewi Durga Murti.
Tak hanya keindahan bentuk yang disajikan dalam bentuk raksasa. Boneka itu memang berwujud raksasa menyeramkan. Namun tetap saja, layak untuk dirayakan keindahannya. Tak hanya bentuk, begitu juga narasi yang disampaikan. Pesan dari setiap ogoh-ogoh menjadi sebuah ajaran kehidupan.
Misalnya, Amerih Tirta Amertha yang menceritakan bagaimana kerakusan dan ketamakan seorang raksasa yang telah mengakibatkan kemarahan Dewa Wisnu, hingga kepala raksasa itu dipengal.
Ketika zaman Satyayuga, terdapat tirta amertha, yakni air suci yang bisa membuat peminumnya menjadi hidup abadi. Para dewa dan asura atau raksasa pun berlomba-lomba ingin mendapatkan tirta amertha. Para dewa berhasil mendapatkannya. Mereka bersiap untuk meminumnya di Wisnuloka.
Saat itu, terdapat seorang rakasa yang menyamar menjadi dewa dan berturut dalam perjamuan itu. Raksasa itu meminum tirta amertha.
Dewa Aditya dan Dewa Chandra yang mengetahui pun melapor kepada Dewa Wisnu. Sang Hyang Narayana begitu marah. Ia tak lagi bisa menahan untuk tidak mengeluarkan senjata cakranya. Ia memenggal leher raksasa, tepat ketika tirta amerta sudah mencapai tenggorokannya.
Badan sang raksasa mati, tetapi kepalanya masih hidup karena tirta amerta sudah menyentuh tenggorokannya. Raksasa marah kepada Dewa Aditya dan Chandra. Ia bersumpah akan memakan mereka pada pertengahan bulan sehingga terjadilah gerhana bulan dan gerhana matahari.
Tema Amerih Tirta Amertha ialah salah satu dari sekian banyak tema yang bisa diangkat setiap tahunnya. "Setiap tahun berbeda dan itu tergantung masing-masing pura," terang Ketut.
Tak melulu seram
Ogoh-ogoh memang tidak melulu menampilkan sosok seram raksasa, kadang pula menampilkan sosok dewa. Seperti dalam Amerih Tirta Amertha yang menampilkan sosok raksasa dengan kepala terpenggal dan Dewa Wisnu dengan senjata cakranya.
"Memang ada beberapa ogoh-ogoh itu pendamping dari negatif dan positif, karena kebaikan melawan keburukan," ungkap Ketut.
Ogoh-ogoh adalah representasi Bhuta Kala dibuat menjelang Hari Nyepi dan diarak beramai-ramai pada senja hari Pangrupukan, sehari sebelum Hari Nyepi. Proses ini melambangkan keinsafan manusia akan kekuatan alam semesta dan waktu yang mahadahsyat. Kekuatan tersebut meliputi kekuatan alam raya dan diri manusia. Kekuatan itu dapat mengantarkan menuju kebahagiaan atau kehancuran.
"Sebelum Hari Raya Nyepi itu ada taur kesanga, di sana ada prosesi mecaru. Itu memberikan apresiasi atau sebuah persembahan terhadap Bhuta Kala," tegas Ketut.
Mecaru bertujuan untuk keharmonisan alam semesta dan diri manusia agar menjadi baik, indah, dan lestari. Begitu pula dalam ogoh-ogoh agar tujuan dan harapan saat penyepian bisa berjalan dengan lancar.
Lalu, apakah itu berarti ada pendewaan terhadap Bhuta Kala? "Tentu tidak," sergah Ketut. Ogoh-ogoh ialah apresiasi terhadap Bhuta Kala. Sekaligus menjaga keharmonisan tiga dunia, yakni lapisan dimensi alam negatif Bhur, lapisan dimensi siklus kehidupan-kematian Bvah, dan lapisan-lapisan dimensi alam positif Svah.
"Jadi, kita bukan semata-mata mendewakan Bhuta Kala, tidak. Hanya memberikan apresiasi. Karena kita memercayai tiga alam di sini, Bhur, Bvah, dan Svah," pungkasnya. (M-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved