Headline

Pansus belum pastikan potensi pemakzulan bupati.

[WAWANCARA] Nila F Moeloek: Kesehatan Tanggung Jawab Bersama

Rizky Noor Alam
18/2/2018 07:00
[WAWANCARA] Nila F Moeloek: Kesehatan Tanggung Jawab Bersama
(MI/Adam Dwi)

BELAKANGAN isu kesehatan menjadi sorotan banyak pihak. Mulai masalah difteri, pro kontra vaksinasi, hingga terbaru gizi buruk di Kabupaten Asmat, Papua. Sebenarnya apa saja upaya pemerintah menyelesaikan semua masalah itu? Berikut petikan wawancara Media Indonesia dengan Menteri Kesehatan, Nila Djuwita Anfasa Moeloek di kantornya, Kamis (8/2).

Belakangan banyak wabah penyakit yang muncul di masyarakat dan menjadi sorotan, mulai Difteri beberapa waktu lalu, sampai yang terbaru campak dan gizi buruk di Asmat. Sebenarnya apa yang terjadi?
Saya perlu jelaskan dalam kaitannya dengan penyakit menular kita mengenal istilah endemis, yaitu penyakit yang selalu ada di suatu daerah. Kita juga mengenal istilah epidemi, suatu keadaan di mana penyakit menular tertentu meningkat dari sisi jumlah penderitanya dan/atau kematian pada kurun waktu tertentu. Selain itu, ada istilah pandemic yaitu suatu keadaan di mana suatu penyakit menular menyebar ke beberapa negara atau antar benua.

Di Indonesia, kita membagi peningkatan jumlah penderita dan/atau jumlah kematian akibat suatu penyakit menular dalam waktu tertentu dalam 2 tingkat, yaitu KLB (kejadian luar biasa) dan wabah. Jadi yang terjadi akhir-akhir ini KLB bukan wabah.

Pemerintah dan masyarakat telah melakukan berbagai upaya kesehatan, termasuk pencegahan dan pengendalian penyakit. Upaya ini ditingkatkan dari waktu ke waktu oleh pemerintah bersama masyarakat agar cakupan, jangkauan (akses), dan kualitas pelayanan kesehatan semakin meningkat dan merata ke seluruh Indonesia.

Yang kita lakukan bukan hanya penyedia­an puskesmas dan rumah sakit, penyebaran tenaga kesehatan, dan obat-vaksin-alat kesehatan, melainkan juga upaya-upaya seperti promosi kesehatan, perbaikan lingkungan, penyediaan air bersih, dan sarana sanitasi, penyemprotan nyamuk penular penyakit, pengobatan massal, sampai kunjungan rumah melalui pendekatan keluarga.

Tetapi, kita patut bersyukur karena berbagai penyakit menular sudah semakin jarang bahkan sebagian sudah dibasmi seperti cacar, polio, tetanus, dan lebih dari 200 kabupaten/kota di Indonesia bebas malaria.

Belakangan kita ada KLB difteri, campak, dan gizi buruk di Asmat. Bagaimana Anda menjelaskan munculnya permasalahan kesehatan ini?
Perlu semakin ditingkatkan cakupan, jangkauan, dan mutu pelayanan kesehatan, terutama di daerah-daerah terpencil, termasuk layanan imunisasi. Upaya ini perlu mendapat dukungan seluruh jajaran Pemda dan masyarakat. Meskipun berbagai terobosan telah dilakukan, seperti Program Nusantara Sehat, Gerakan Masyarakat Sehat (Germas), dan Pendekatan Keluarga, tapi upaya lebih besar lagi perlu kita lakukan bersama.

Dalam menanggulangi KLB campak di Papua, jajaran TNI, Polri, dan kementerian/lembaga termasuk pemda turut dikerahkan. Selain itu, perlu ditingkatkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) di masyarakat, termasuk diri kita sendiri.

Di daerah terpencil perlu diupayakan agar masyarakat dapat menjangkau pelayanan kesehatan. Karena itu, pemerintah meningkatkan sarana-prasarana perhubungan. Di Daerah, kunci sukses pembangunan kesehatan sangat ditentukan alokasi sumber daya pemda dari APBD yang cukup untuk pembangunan kesehatan.

Isu penyakit itu, sering dikaitkan dengan vaksinasi. Bagaimana upaya vaksinasi yang dilakukan selama ini?
Hasil cakupan imunisasi secara nasional mengalami peningkatan. Berdasarkan eva­luasi program imunisasi 2015-2016, cakupan imunisasi dasar lengkap pada bayi mencapai 86,9% pada 2015 dengan target yang ditetapkan yaitu 91 % dan 91,6%, pada 2016 target yang harus dicapai 91,5%. Meskipun secara nasional mengalami peningkatan, kesenjang­an di beberapa daerah masih ada.

Kendala dalam pelaksanaan program imunisasi Indonesia adalah pertama dalam UU Perlindungan Anak No 35 Tahun 2014 dan UU Kesehatan No 36 Tahun 2009, imunisasi merupakan hak setiap anak dan pemerintah wajib untuk memberikan imunisasi lengkap kepada setiap bayi dan anak. Selain kedua UU ini, dalam UU No 23 tahun 2014 mengenai Pemerintahan Daerah Pasal 18, dijelaskan pemda harus memprioritaskan urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar, salah satunya kesehatan, berpedoman pada standar pelayanan minimal (SPM) yang ditetapkan pemerintah pusat. Imunisasi salah satu program nasional dan masuk dalam SPM.

Ketiga, UU ini menunjukkan imunisasi di Indonesia adalah WAJIB. Namun, masih banyak kendala dalam pelaksanaan.Kurangnya akses terhadap layanan kesehatan, masih adanya orangtua yang tidak memberikan hak anak mendapatkan imunisasi serta tidak optimalnya dukungan politis dan finansial dari pemda.

Alasan-alasan apa saja yang membuat orangtua tidak mau mengimunisasi anaknya? Bagaimana dengan orangtua yang menolak atas alasan kehalalan?
Berdasarkan hasil Riskesdas 2013, alasan utama anak tidak mendapatkan imunisasi ialah takut reaksi setelah imunisasi (misalnya demam). Meskipun bukan alasan utama, perlu diwaspadai penyebarannya informasi negatif yang tidak tepat mengenai imunisasi, terutama melalui media sosial.

Dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat, pemerintah membuat iklan layanan masyarakat serta materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) dengan dukungan WHO, Unicef, dan mitra lainnya.

Untuk masalah kehalalan, Kementerian Kesehatan koordinasi dengan MUI. MUI telah menerbitkan fatwa No 4 Tahun 2016 tentang imunisasi. Kemenkes selalu berupaya yang terbaik bagi masyarakat dengan menjamin vaksin yang digunakan dalam program imunisasi rutin nasional memenuhi rekomendasi Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan lulus uji di BPOM. Kemenkes juga mendorong produsen pengajuan sertifikasi halal kepada MUI. Tidak hanya untuk vaksin produksi dalam negeri (PT Biofarma), juga beberapa vaksin impor.

Terkait ketersediaan stok vaksin bagaimana? Serta koordinasi dengan perusahaan produsen vaksin serta pengembangan vaksin selama ini seperti apa?
Menurut Permenkes No 12 Tahun 2017, berdasarkan penyelenggaraannya, imunisasi dikelompokkan menjadi 2, yaitu imunisasi program dan imunisasi pilihan. Imunisasi program terdiri atas imunisasi rutin, tambahan (termasuk ORI), dan khusus.

Pemerintah pusat bertanggung jawab menjamin pemenuhan kebutuhan vaksin ke provinsi. Sedangkan distribusi vaksin ke kabupaten/kota dan puskesmas serta fasyankes (fasilitas pelayanan kesehatan) menjadi tanggung jawab pemda.

Kemenkes berupaya menjaga penyediaan vaksin. Beberapa tahun terakhir sempat terjadi kekosongan stok vaksin, namun bukan vaksin yang disediakan pemerintah pusat. Melainkan vaksin impor yang digunakan fasilitas pelayanan kesehatan swasta dan RS. Untuk vaksin dalam rangka ORI difteri, pemerintah menjamin ketersediaannya dalam jumlah cukup bagi seluruh sasaran usia 1 - 19 tahun.

Adakah pemetaan penyebaran penyakit sesuai dengan wilayah yang ada? Penyakit apa saja dan provinsi mana yang paling rawan dan upaya mengatasinya?
Dari data sistem surveilans yang diterapkan jajaran kesehatan di Pusat dan Daerah, dilakukan pengolahan, analisis, dan diseminasi data serta informasi tentang penyakit dan masalah kesehatan untuk dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan dan penetapan kebijakan (evidence based decision making). Selain itu, data dan informasi ini dipetakan dan di-update.

Hasil pemetaan penyakit potensial KLB 2017 menunjukkan ada lima jenis penyakit yang menyebabkan KLB, difteri, keracunan pangan, campak, DBD, dan diare. Provinsi yang sering melaporkan KLB ialah Jatim, Jabar, dan Banten. Provinsi itu mempunyai jumlah penduduk yang relatif besar, sedangkan provinsi yang jarang melaporkan KLB adalah Maluku, Bengkulu dan Sulut.

Upaya Kemenkes bersama Pemda dan masyarakat dalam menurunkan KLB ialah melakukan kegiatan surveilans. Pertama deteksi dini setiap penyakit potensial KLB.

Kedua melakukan komunikasi Informasi dan Edukasi tentang pencegahan dan pe­ngendalian termasuk pembudayaan PHBS. Sedangkan untuk dukungan pembiayaan, pemerintah pusat memberikan dukungan anggaran kepada pemda untuk pencegahan dan pengendalian penyakit potensial KLB. Meskipun demikian, setiap pemda juga menyediakan pembiayaan sendiri di APBD.

Sejumlah pihak menyebut tingkat depresi akan meningkat. Upaya apa yang dilakukan pemerintah menanganinya?
Permasalahan kesehatan jiwa dewasa ini semakin meningkat. Pertama depresi, penyebab utama beban penyakit no 4 berdasarkan DALY’s tahun 1990. Diestimasikan akan menjadi penyebab utama beban penyakit nomor 2 pada 2020 dan nomor 1 pada 2030.

Secara global, lebih dari 300 juta orang hidup dengan depresi pada 2015. Jumlah orang yang hidup dengan depresi meningkat lebih dari 18% antara 2005 dan 2015.

Untuk masalah bunuh diri, tahun 2015 diestimasikan 788.000 orang meninggal karena bunuh diri dan menyumbang hampir 1,5% dari seluruh kematian di seluruh dunia, dan termasuk 20 penyebab kematian di dunia 2015. Bunuh diri penyebab kematian kedua untuk kelompok usia 15-29 tahun secara global dan 78% kasus bunuh diri terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah-menengah pada 2015.

Indonesia, berdasarkan Hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013 Gangguan Jiwa Berat (psikosis) sebesar 1,7/1000 penduduk atau kurang lebih 400.000 orang. Sedangkan gangguan mental emosional kurang lebih dalam 15 tahun sebesar 6% atau sekitar 14 juta orang.

Pemerintah menyadarinya, karena itu, sejak beberapa tahun yang lalu mencoba lebih fokus memperhatikan masalah kesehatan jiwa dan menyertakannya dalam program jaminan kesehatan nasional yang dikelola BPJS, mengembangkan regulasi, kebijakan dan program yang mendukung, terutama dalam integrasi kesehatan jiwa di layanan kesehatan primer, juga peningkatan kapasitas tenaga kesehatan melalui pelatihan di bidang kesehatan jiwa.

Di samping itu ada beberapa pasal pada UU Kesehatan Nomor 36 tahun 2009. Upaya pemerintah dalam penanggulangan masalah depresi antara lain upaya promotif. Yaitu meningkatkan pengetahuan masyarakat dan keluarga tentang gangguan jiwa dan bagaimana merawatnya di masyarakat. Sehingga tidak perlu melakukan pemasungan, menghilangkan stigma tentang penderita gangguan jiwa, serta meningkatkan peran serta masyarakat melalui ormas, tokoh masyarakat/agama. Melakukan advokasi terhadap pemda agar membuat regulasi terkait penanganan penderita gangguan jiwa berat yang terlantar dan dipasung.

Upaya preventif yaitu melaksanakan deteksi dini terhadap gejala-gejala awal gangguan jiwa dengan melatih dokter-dokter umum di puskesmas.

Untuk rehabilitatif agar penderita yang sudah mengalami kondisi yang stabil dapat beraktivitas kembali dan bersosialisasi dengan masyarakat. Penambahan fasilitas kesehatan khusus gangguan jiwa juga dilakukan, sesuai UU Kesehatan Jiwa, bahwa setiap provinsi minimal memiliki satu RSJ.

Isu kesehatan sering sekali menjadi isu politis, bagaimana anda melihatnya?
Seperti kita ketahui kesehatan itu kebutuhan dasar manusia, ada pepatah mengatakan kesehatan bukan segalanya tapi tanpa sehat atau kalau sakit kita juga tidak bisa berbuat apa-apa. Oleh karena itu isu kesehatan sangat sensitif karena menyangkut nyawa manusia sehingga mudah untuk menjadi isu politis.

Perlu kita ketahui bersama masalah kesehatan biasa merupakan hulu (muara) dari masalah di luar sektor kesehatan, contohnya: masalah gizi buruk bukan hanya karena kurang konsumsi makanan saja, tapi biasanya diawali masalah pendidikan orangtua yang rendah sehingga si Ibu (orangtua) tidak tahu bagaimana merawat anak yang baik. Selain itu mungkin faktor ekonomi sehingga tidak dapat menyiapkan makanan yang memadai dan dapat pula karena faktor lingkungan terkait ketersediaan air dan jamban yang dapat menyebabkan mudahnya terkena infeksi seperti diare. Dengan demikian masalah kesehatan tidak hanya bisa diselesaikan oleh sektor kesehatan saja, tapi harus terpadu melalui lintas sektor yang terkait.

Bagaimana gerak promosi kesehatan, yang menyosialisasikan pencegahan suatu penyakit dari pada mengobati?
Upaya mensosialisasikan pola hidup sehat dengan melakukan upaya pencegahan (preventif) lebih utama daripada mengobati (kuratif), dilaksanakan dengan 4 strategi.

Pertama pemberdayaan masyarakat dengan melibatkan elemen masyarakat yang potensial. Hingga tahun 2017, Kementerian Kesehatan telah melakukan MOU dengan 17 ormas guna mendukung sosialisasi Germas, pencapaian target Imunisasi dan upaya promosi kesehatan lainnya di daerah.

Kedua advokasi kesehatan yang dilakukan dalam rangka menggalang komitmen semua sektor terkait baik di tingkat Pusat yakni Kementerian/Lembaga terkait, atau di tingkat daerah beserta jajarannya, sehingga terdapat dukungan terhadap kesehatan, lebih khusus dalam upaya preventif.

Ketiga adalah kemitraan kesehatan, di mana Kementerian Kesehatan mengoptimalkan mitra-mitra potensial seperti dunia usaha, akademisi dalam upaya peningkatan derajat kesehatan, dengan mengutamakan upaya promotif preventif. Hingga tahun 2017 sudah terdapat 73 dunia usaha yang berperan serta mendukung promotif preventif.

Keempat adalah penyebarluasan komunikasi, informasi dan edukasi kesehatan. (M-4)

BIODATA

Nama: Nila Djuwita Anfasa Moeloek

Tempat, Tanggal lahir: Jakarta, 11 April 1949

Suami: Faried Anfasa Moeloek

Anak:
1. Muhammad Reiza Moeloek
2. Puti Alifa Moeloek
3. Puti Annisa Moeloek

Pendidikan :
S-1: Kedokteran - Universitas Indonesia (UI)
S-2: Dokter Spesialis Mata - UI
S-3: Ilmu Kedokteran - UI

Karier:
1. Menteri Kesehatan RI, 2014 - sekarang
2. Utusan Khusus Presiden RI untuk Millenium Development Goals (MDGs), 2010-2014
3. Ketua Yayasan Kanker Indonesia (YKI), 2011-2016
4. Ketua Yayasan AINI, 2011
5. Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia, 2010



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Panji Arimurti
Berita Lainnya