Headline
Pansus belum pastikan potensi pemakzulan bupati.
ANOMALI cuaca menunjukkan aktivitasnya dalam beberapa tahun terakhir. Fenomena itu tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di dunia.
Musim dingin yang ekstrem, mencairnya es di kutub, suhu panas ekstrem, intensitas badai yang semakin sering, hingga naiknya permukaan air laut merupakan beberapa fenomena alam yang kerap dihadapi manusia di berbagai belahan dunia.
Di Indonesia, belum lama juga diterjang badai Cempaka dan Dahlia yang mengakibatkan kerusakan dan kerugian cukup besar di sejumlah daerah. Kemudian pemanasan global akibat ulah manusia.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Fenomena alam apa yang patut diwaspadai? dan sudah siapkah masyarakat menghadapi anomali cuaca yang terus terjadi? Berikut petikan wawancara eksklusif Media Indonesia dengan Kepala Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati, di kantornya Jumat (2/2).
Bagaimana fenomena cuaca di Indonesia saat ini? Apakah global warming amat berdampak, mengingat sejumlah badai menerpa wilayah Indonesia beberapa waktu lalu?
Siklon itu terjadi karena adanya perbedaan tekanan udara yang cukup ekstrem, yaitu tekanan udara yang berada di belahan Bumi selatan. Itu untuk kasus badai (siklon) Cempaka dan Dahlia yang terjadi November. Pada bulan itu matahari berada di belahan Bumi selatan.
Selama matahari berada di belahan Bumi selatan, angin bergerak dari utara ke selatan atau dari benua Asia ke Australia. Namun, di belahan Bumi selatan itu sendiri, temperaturnya tidak seragam. Secara lokal ada titik-titik panas yang lebih tinggi.
Itulah mengapa di Samudra Hindia pemanasannya tidak homogen sehingga secara lokal terjadi zona-zona udara dengan suhu lebih tinggi (udara bertekanan lebih rendah) jika dibandingkan tekanan atau suhu udara sekitarnya.
Akibatnya, terjadi aliran udara dari zona tekanan lebih tinggi (suhu dingin) mengitari pusat tekanan udara yang rendah (suhu hangat) dengan gerakan memutar, berkecepatan tinggi hingga mencapai 35 knots lebih.
Bahkan, di beberapa tempat menjadi cuaca ekstrem karena sangat tinggi intensitasnya (melampaui 100 mm/hari). Contohnya, pada November 2017 terjadi 2 titik yang kecepatan dan kandungan uap airnya meningkat membentuk siklon Cempaka dan Dahlia.
Dari hasil penelitian di Pusat Perubahan Iklim BMKG selama 30 tahun terakhir, data menunjukkan tendensi adanya peningkatan suhu yang mencapai rata-rata 1,2 derajat di wilayah lokal-lokal, tetapi menyebar dan meluas hampir di seluruh Indonesia dan itu mengakibatkan kenaikan permukan air laut rata-rata 5 mm-6 mm per tahun di perairan Indonesia.
Bagaimana BMKG menyosialisasi cuaca buruk atau bencana?
Kami bisa memprediksi terjadinya hari tanpa hujan atau kekeringan 6 bulan sebelumnya. Kami memprediksi di 2018 akan lebih kering karena hujan yang turun tidak akan selebat tahun sebelumnya. Itu bisa diketahui sebelum kita masuk ke 2018.
Kami berkolaborasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) serta dinas-dinas terkait di daerah untuk menyiapkan pola tanamnya seperti apa. Jadi persiapan itu tidak mendadak dalam jangka pendek.
Persiapan itu berdasarkan pada data yang kami sajikan, tidak hanya disiapkan oleh masyarakat. Negara, antarlembaga berkoordinasi, dan melibatkan masyarakat.
Kemudian untuk potensi bencana, kami berkoordinasi dengan BNPB dan BPBD bahkan koordinasi itu sampai mesin ke mesin sehingga semua hasil observasi BMKG dan analisisnya, misalnya tentang kegempaan, tsunami, maupun cuaca langsung tersambung dengan BPBD-BPBD di daerah sehingga mereka mendapat informasi secara otomatis.
Jadi, mesin itu sudah bekerja lebi dulu untuk menginformasikan dan mengingatkan kita. Hal ini penting karena BPBD yang akan menggerakkan masyarakat apakah ada evakuasi.
Bagaimana BMKG memprediksi cuaca yang sifatnya mendadak? Mengingat cuaca saat ini cepat berubah?
Prediksi itu sifatnya agak panjang, misalnya pada 2017 kami memprediksi 2018 nanti kecenderungan curah hujan lebih rendah sehingga menimbulkan dugaan akan lebih kering. Namu, jika prediksinya semakin jauh, akurasinya semakin rendah.
Untuk itu, kami terus meng-update, memberikan informasi tidak bisa hanya sekali dan mesin itu bekerja terus sehingga prediksinya progresif, semakin dekat semakin akurat dan yang penting ialah kapan kita mengambil tindakan.
Untuk cuaca, kami bisa memprediksi 3 hari sebelumnya, tetapi selalu ter-update jadi setiap hari itu di-update 2 kali dan semakin mendekati hari H maka akan semakin akurat.
Kalau untuk cuaca ekstrem, paling lambat 3 jam sebelum kejadian kami sudah bisa tahu. Kalau persiapan sudah sampai 3 jam sebelumnya itu artinya untuk menyelamatkan nyawa bukan infrastruktur atau pola tanam.
Inovasi-inovasi apa yang sedang dikembangkan BMKG agar dapat memprediksi lebih tepat? Adakah inovasi early warning system?
Untuk inovasi kita mulai dari prakiraan cuaca publik. Sebelumnya kami baru mampu memberikan prakiraan untuk level kabupaten/kota secara umum. Namun, mulai tahun ini, terutama setelah Februari kami bisa memprakirakan cuaca sampai level kecamatan.
Kami akan mulai di Surabaya dan Jakarta, bertahap untuk kota-kota besar dulu. Khusus untuk Asian Games nanti, kita akan lebih akuratkan. Selain itu, kami akan tingkatkan juga kecepatan prediksinya dari 2 kali sehari menjadi 3 kali sehari. Inovasi lainnya untuk geofisika, kami sedang meriset untuk memperkirakan kapan terjadinya gempa karena sampai hari ini belum bisa diprediksi.
Jadi, setiap kejadian gempa itu kami catat dan cocokkan karena sudah ada formulanya. Kami belum bisa mem-publish itu karena masih dalam tahap riset. Dasarnya adalah dengan mengamati anomali magnet bumi, kami, melalui Pusat Gempa Nasional, memasang geomagnet dan masih fokus di Sumatra Barat, Nias, dan Lampung. Kami baru memasang satu alat lagi pada 2017 di Jawa Barat sehingga untuk Banten masih sangat kurang sensornya sehingga untuk memprakirakan (gempa) masih sulit.
Kami masih memerlukan data dan sensor lebih banyak. Ini berlomba dengan Jepang. Mereka pun sampai saat ini masih belum bisa dan kaget saat tahu kita melakukan riset (prakiraan gempa) juga.
Inovasi berikutnya, kami sedang berupaya dengan BPPT untuk membuat radar. Kalau bisa memproduksi radar sendiri lebih murah dan pemeliharaannya juga lebih mudah. Saat ini semua radar yang ada di BMKG kami membeli dari luar negeri seperti Amerika Serikat, Finlandia, Prancis, dan Jepang. Kesulitannya adalah spare part kalau ada yang rusak memakan waktu yang lama.
Seberapa maju kesiapan Indonesia dalam menghadapi gempa? Baik dari segi pengetahuan masyarakat maupun sistem peringatan dan pananggulangan yang pemerintah miliki?
Kesiapan dalam menghadapi gempa bumi memang belum membudaya. Namun, saat ini perguruan-perguruan tinggi yang dekat dengan zona-zona gempa, seperti UGM, Universitas Andalas, itu sudah mulai aktif mengedukasi masyarakat bersama BNPB dan BPBD maupun LSM-LSM.
Hampir di seluruh Indonesia sudah ada gerakan edukasi kesiapan dalam menghadapi gempa bumi. Edukasi dilakukan di sekolah-sekolah dan kaum ibu mengajarkan ke anak-anak mereka.
Kegiatan tersebut dilakukan sejak 2005 dan tidak hanya sekali, tapi berkali-kali dan medianya juga sudah cukup luas. Namun, gerakan itu belum berhasil membuatnya sebagai suatu budaya.
Contohnya, gedung-gedung penting di Ibu Kota belum memiliki jalur evakuasi apabila terjadi gempa bumi, belum semuanya memiliki titik kumpul apabila terjadi gempa bumi.
Di Bali, kami sudah mengedukasi ke hotel-hotel bersama BPBD sehingga hotel itu kami siapkan dalam menghadapi kondisi darurat saat gempa.
Bagaimana BMKG meningkatkan awareness masyarakat terhadap bencana tersebut?
Satu-satunya cara adalah sosialisasi dan edukasi yang harus terus-menerus dilakukan. Bisa juga kegiatan sosialisasi dan edukasi di integrasikan dengan hiburan-hiburan tergantung masyarakat kesukaannya apa.
Misalnya, kami pernah melakukan sosialisasi mengenai banjir lahar dengan memanfaatkan pertunjukan ketoprak, lewat-lewat media seperti itu juga akan lebih merasuk. Kalau di sekolah, saya sudah melihat sendiri soal buku-buku SD di tahun 2009, yakni pascagempa dan tsunami Aceh 2004 ada gerakan untuk memasukkan materi kebencanaan di kurikulum dan gerakan itu terjadi di 2005-2007 dan di 2009 saya melihat sendiri di buku-buku pelajaran geografi misalnya mengajarkan mitigasi bencana. Saya tidak tahu sekarang kelanjutannya seperti apa dan harus dicek lagi.
Dalam hal itu artinya edukasi bisa dilakukan melalui pelajaran di sekolah yang sesuai dan bisa juga diberikan pada kegiatan ekstrakurikuler seperti kepramukaan. Melalui kegiatan keagamaan seperti pengajian juga bisa dilakukan. Sebetulnya semua hal-hal itu sudah saya lihat pelaksanaannya, hanya mungkin kita tidak boleh lelah melakukannya, ini adalah program yang tidak boleh berhenti meskipun sudah dilakukan agar tidak lupa.
BMKG memiliki sekolah sendiri Sekolah Tinggi Metereologi, Klimatologi, dan Geofisikadi (STMKG) di Bintaro, bagaimana metode pendidikan yang diterapkan?
Saat ini kurikulum utamanya menyiapkan mereka sebagai ahli prakirawan atau forecaster untuk memprediksi. Mereka juga disiapkan sebagai pengamat atau observer karena harus mengamati fenomena-fenomena dari sensor-sensor kemudian menghitung dan menganalisis untuk mendapatkan hasilnya. Namun, keahlian itu tidaklah cukup.
Sebab itu, kami sedang mengevaluasi kurikulumnya. Saya sudah meminta untuk lebih mengarah ke data science kemudian mengarah ke big data dan artificial intelligent dalam rangka meningkatkan akurasi prediksi. Kalau dengan big data, analisisnya akan semakin presisi.
Team work juga harus bisa berkomunikasi dengan publik. Kami juga mengundang para pakar dari Jepang untuk melatih bagaimana menganalisis.
Bagaimana kesiagapan BMKG dalam menghadapi berita hoaks? Terutama pascaterjadinya bencana seperti di gempa bumi Lebak kemarin?
Begitu ada gempa sensor kami akan menerima rambatan getaran. Sensor-sensor kami tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Sensor yang terdekat dengan pusat gempa akan kirimkan data ke BMKG.
Dalam waktu maksimum 5 menit kami harus segera mengumumkan melalui cara mesin, antarmesin, lewat website, aplikasi, dan juga kalau gempanya lebih dari 5 SR televisi harusnya langsung mengumumkan, sebab transfer informasi itu sudah ada di BMKG dan menyambung ke televisi.
Jadi, tanpa difungsikan oleh orang secara otomatis mestinya program televisi langsung mati dan muncul info gempa. Atau dengan cara push button, jadi kalau ada info genting tadi, petugas yang memiliki otoritas langsung push button dan akan tayang infonya.
Mekanisme tersebut untuk membantah berita hoaks. Mengalahkan hoaks harus dengan kecepatan supaya masyarakat tidak akan mudah terpengaruh hoaks.
Di luar negeri awareness cuaca sangat penting (negara 4 musim). Apakah hal tersebut memang karena culture masyarakatnya?
Kita memang kurang begitu peduli terhadap cuaca, tetapi BMKG harus memulai. Kami justru sedang bejuang keras untuk membuat masyarakat lebih peduli meskipun musim Indonesia hanya 2.
Untuk itu kita mulai menggalakkan informasi melalui display-display informasi cuaca, seperti di bandara, pelabuhan, maupun tempat-tempat umum, bahkan sampai ke smartphone sudah ada aplikasinya.
Belum setahun Anda menjabat sebagai kepala BMKG. Perbedaan apa yang Anda rasakan ketika masih menjabat sebagai rektor?
Di institusi pendidikan dan penelitian, saya lebih fokus bagaimana mendidik generasi muda untuk selalu berpikir inovatif, kreatif, dan produktif.
BMKG ialah lembaga operasional yang menjaga keselamatan publik dari berbagai ancaman cuaca ekstrem dan bencana, tetapi juga menyajikan informasi meterelogi, klimatologi, dan geofisika untuk keselamatan infrastruktur, keselamatan konektivitas transportasi penerbangan dan maritim.
Jadi, sekarang lebih ke lembaga operasional yang menuntut kecepatan, ketepatan, dan akurasi. Untuk bisa cepat, tepat, dan akurat itu harus berbasis teknologi yang selalu inovatif. Jadi yang kami kejar inovasi teknologi.
Namun, inovasi teknologi tidak bisa berjalan kalau SDM yang ada tidak bisa mengimbangi inovasi tadi, sehingga saat ini yang kami gerakan membangun inovasi teknologi dan SDM yang mampu berinovasi. (X-7)
Biodata:
Dwikorita Karnawati
Tempat, tanggal lahir: Yogyakarta, 6 Juni 1964
Pendidikan
S-1: Teknik Geologi di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, 1988
S-2: Engineering Geology di Leeds University Inggris (1991)
S-3: Engineering Geology di Leeds University Inggris (1996)
Karier:
1. Kepala Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), November 2017-sekarang
2. Rektor Universitas Gadjah Mada, 2014-2017
3. Editor in Chief on Geological Engineering ASEAN Journal of Engineering, 2010-sekarang
4. Editor of ASEAN Journal of Applied Geology, 2011-sekarang
5. Dosen dan peneliti pada Environmental Geology and Engineering Geology for Asian University Network, 2004-sekarang
6. Dosen dan peneliti di Universitas Gadjah Mada, 1990-sekarang.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved