Indahnya Arsitektur Joglo Pencu Kudus

M-2/Abdillah M Marzuqi
29/10/2017 06:01
Indahnya Arsitektur Joglo Pencu Kudus
(MI/Ebet)

GAPURA adalah simbol penyambutan. Ia menjadi semacam ucapan selamat datang. Gapura juga menjadi simbol penghormatan. Ia memunculkan pemberitahuan bahwa di balik gapura itu ada kawasan yang bertuan. Gapura itu menjadi semacam penghormatan sekaligus peringatan. Penghormatan bagi orang baru dan tamu yang bersapa. Sekaligus peringatan untuk menjaga kehormatan sang tuan. Menghormati tatanan yang telah ditetapkan.

Tak banyak berubah dari gapura yang kala itu menyapa. Dua sisi gapura membentuk ruang kosong yang berguna sebagai gerbang. Tak banyak yang berubah dari fungsi gerbang, yakni sebagai penanda akan masuk menuju tempat baru. Segera setelah melewati gapura, pekarangan asri langsung menyapa. Di baliknya terdapat arsitektur rumah kuno yang langsung memaksa mata untuk menyelisik. Namun, indahnya arsitektur rumah yang di depan mata harus menunggu sejenak untuk dinikmati sebab ternyata gapura juga punya pesan yang harus diperhatikan.

Gapura adalah suatu struktur yang merupakan pintu masuk atau gerbang ke suatu kawasan atau kawasan. Gapura sering dijumpai di pura dan tempat suci Hindu karena ia merupakan unsur penting dalam arsitektur Hindu. Gapura juga sering diartikan sebagai pintu gerbang.

Namun unikya, gapura itu malah berdiri kukuh di muka bangunan yang sarat nilai Islam. Gapura itu berdiri kukuh di depan rumah adat Kudus yang biasa disebut dengan joglo pencu.

Bangunan gapura menyerupai candi merupakan bentuk akulturasi budaya Hindu dan Islam. Selain itu, gapura itu menjadi simbol toleransi antaragama dan kehidupan harmonis bagi masyarakat Kudus dan sekitarnya. Bentuk akulturasi dua budaya yang lain ialah saat masyarakat Kudus tidak menyembelih sapi.

Dalam kepercayaan Hindu, sapi merupakan hewan suci kendaraan para dewa sehingga pantang untuk disembelih. Hal tersebut hingga kini dibuktikan dengan sajian makanan, dengan penggunaan daging lebih banyak menggunakan daging kerbau. Misalnya, satai kerbau ataupun soto kerbau.

Terancam keberadaannya

Rumah adat Kudus memiliki simbol sejarah monumental. Keberadannya patut dipertahankan. Simbol sejarah ini sebagai ciri khas bentuk rumah yang hanya bisa ditemukan di daerah Kudus. Namun, kenyataannya rumah adat yang dikenal dengan joglo pencu ini semakin lama terancam keberadaannya. Salah satu joglo pencu bisa dijumpai di Djarum Oasis Kretek Factory, Kudus, Jawa Tengah.

"Rumah ini didirikan pada 1850, tapi pembuatannya sudah dilakukan sebelum 1850, karena setiap bagiannya memerlukan waktu untuk proses pengukiran dan penyetelan agar sesuai dengan layout rumah adat," terang Trisna yang kala itu menemani Media Indonesia berkeliling Djarum Oasis Kretek Factory.

Rumah adat kudus atau joglo pencu merupakan simbol dari wujud akulturasi kebudayaan Hindu dengan Islam. Arsitektur rumah adat Kudus merupakan pengembangan dari rumah adat Jawa dan pesisir utara Jawa, khususnya yang dipengaruhi budaya dari Tiongkok, Eropa, dan Persia. Bangunan pokok rumah adat Kudus berupa bentuk joglo, atap berbentuk pencu dengan tritisan bagian depan dan belakang. Pusat pencu merupakan puncak dari gedongan yang merupakan bagian paling sakral dari rumah adat Kudus. Tata ruang terdiri dari bagian jaga satru, sentong, gedongan, serta pawon dan bangunan tambahan berupa sumur dan kamar mandi atau pekiwan yang terletak di depan rumah. Antara rumah induk dan pekiwan terdapat ruang kosong yang digunakan sebagai jalan umum antarrumah.

Joglo pencu memiliki empat tiang penyangga dan satu tiang besar yang dinamakan soko geder yang melambangkan tauhid dalam Islam. Rumah adat Kudus joglo pencu memiliki tig bagian ruangan yang disebut jogo satru, gedongan, dan pawon. Jogo satru ialah nama untuk bagian depan dari rumah tersebut. Secara makna kata jogo satru bisa diterjemahkan; jogo artinya menjaga dan satru artinya musuh. Untuk sehari-hari, ruangan ini sering digunakan sebagai tempat menerima tamu yang berkunjung.

Gedongan ialah bagian ruang keluarga. Ruangan ini biasa digunakan untuk tempat tidur kepala keluarga. Untuk pawon sendiri letaknya berada pada bagian samping. Pawon biasa digunakan untuk masak, belajar, dan berkumpul dengan keluarga.

Rumah ini diperkirakan mulai dibangun pada 1500-an dengan bahan baku utama dari kayu jati berkualitas tinggi dengan sistem bongkar pasang tanpa paku. Pada permukaan kayu juga terdapat ukiran dengan bentuk dan ukirannya yang mengikuti pola binatang, rangkaian bunga melati, motif ular naga, buah nanas, arang lebah, dan motif burung.

Joglo pencu dibuat dari 95% kayu jati berkualitas tinggi. Konstruksi bangunannya dibuat bisa bongkar pasang. Tujuannya memudahkan joglo dipindah sekaligus tahan gempa.

Keindahan ukiran joglo pencu memang menawan. Konon keistimewaan ukiran joglo pencu tidak lepas dari peran dua ulama keturunan Tionghoa yang menetap di Kudus sekitar abad ke-15. Mereka tersohor sebagai pelukis kaligrafi Arab dan pemahat, salah satunya bernama Kiai Telingsing (Tee Ling Sing).

Maka itu, ukiran joglo pencu lahir sebagai akulturasi budaya antara Islam, Hindu, Tiongkok, dan Eropa. Tidak hanya ukiran yang sarat makna, tata ruang joglo pencu pun tak sembarangan dibuat. Makna lain tersimpan pada bentuk atapnya yang mengerucut dan menjulang tinggi ke angkasa, yakni bahwa orang hidup dan berumah tangga hendaknya selalu mengingat Sang Pencipta.

Cukup unik ketika menjumpai bangunan rumah adat berdiri indah di sebuah pabrik seluas hampir 83 ha. Ternyata itu bagian dari komitmen Djarum Foundation untuk mengenalkan dan menjaga budaya Kudus dan Indonesia.

"Kita berharap dengan adanya Oasis bisa menjadi sumber kehidupan untuk Kudus dan Indonesia yang digdaya," terang Public Affairs Djarum Kudus Teofilus Nerianto.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya