Headline
Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.
Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.
Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.
AWALNYA hanya sebuah meja kayu utuh. Lalu ada sesosok pria yang bergulat di atasnya. Ia berlekuk, antara anggota tubuh berkelindan. Dengan busana dominan nuasa merah, ia terus berliuk. Berpadu dengan temaram merah dari sorotan lampu. Lalu beberapa orang masuk sembari mendorong lapak. Mereka mengambil posisi sebelah belakang kiri dari meja. Lapak itu mirip dengan rak etalase menu pada rumah makan Padang. Mengiring gerak pria diatas meja, tetabuhan muncul dari aduan piring, gelas, dan sendok.
Begitulah rumah makan Padang itu berada di atas panggung. Lengkap dengan etalase menu dan meja makan. Namun, itu bukan tentang acara makan-makan, melainkan pertunjukan tari berjudul Rantau Berbisik karya Ery Mefri. Pertunjukan itu menjadi penutup pada malam pembukaan Minangkabau Culture and Art Festival di Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki Jakarta. Festival itu diadakan Minangkabau Art Forum dan berlangsung pada 9-13 Oktober 2017.
Rantau Berbisik berkisah tentang siklus yang akrab pada masyarakat Minangkabau. Merantau merupakan kehidupan yang mentradisi secara turun-temurun. Kematangan laki-laki dalam perjalanan hidup sehari-hari membuat merantau menjadi perjalanan alami. Warung nasi Padang yang berkembang luas merupakan perjalanan budaya yang dilakoni sembari beradaptasi, bukan hanya motif ekonomi. Dalam merantau berlaku hukum pasti di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.
Di situlah Ery Mefri bermain. Ia mencipta koreogafi baru dengan menetapkan pijakan pada tradisi. Hasilnya, Rantau Berbisik yang mampu memukau tanpa harus meninggalkan semangat tradisi dan jati diri.
Ery Mefri menjadi salah satu seniman yang menampilkan karyanya dalam Minangkabau Culture and Art Festival ke-2 yang bertema Manikam jajak (menikam jejak). Selain Ery, masih ada sederat seniman lain yang berturut seperti Hartati, Jefriandi Usman, Anusirwan, Cilay, Armen Suwandi, Alfiyanto, Yaseer Arafat, Ali Sukri, Weendi HS Taufik Adam, Bebby Krisnawardi, Syahril Alek, dan S Metron Masdison.
Sebelumnya, Minangkabau Culture and Art Festival 2016 telah mengangkat tema Kembali ke pangkal jalan. Tema itu diambil dari filosofi Minangkabau yang berarti apabila kebimbangan dalam sebuah perjalanan sudah melanda, berbaliklah, kembalilah ke pangkal jalan agar kita merenungkan kembali untuk apa gunanya kita melangkah, untuk apa gunanya kita berjalan.
Tema Agenda Minangkabau Culture and Art Festival 2017 adalah Manikam jajak (menikam jejak). Tema itu dipilih mengingat sejarah penciptaan seni di Indonesia tak pernah luput dari konstribusi seniman Minangkabau. Sastra Indonesia modern diwarnai dengan karya-karya dari pengarang Minang. Seni rupa juga tak bisa dilepaskan dari capaian para perupa Minangkabau. Begitu juga tari kontemporer, teater, dan musik. Para seniman Minangkabau memberikan tawaran-tawaran yang tak mungkin diluputkan begitu saja.
“Menikam jejak adalah suatu pertanyaan bahwa setiap yang berlalu pasti meninggalkan jejak, maka kita hari ini mesti memberi tikaman pada jejak itu: sebagai pemberian tahu bahwa kita masih menemukan jejak mereka dan oleh sebab itu tak akan tertinggal dari mereka,” terang Direktur Festival Minangkabau Art Culture and Art Festival Aidil Usman.
Kampung dan rantau
Bagi masyarakat Minangkabau, kesenian ialah sarana penghubung antara kampung dan rantau. Melalui kesenian, interaksi itu terjadi. Dalam penciptaan seni, segala filosofi mengenai hidup dan prinsip masyarakat Minangkabau terangkum dikukuhkan menjadi teks dan bentuk. Dalam proses penciptaan seni tersebut juga kritisisme atas ke-Minangkabau-an tersebut dipernyatakan, dinyatakan, dan diejawantahkan. Sebagai bagian dari dinamika kebudayaan, proses tersebut bisa terbentur dan berhadapan dengan dinamika sosial masyarakat.
Minangkabau Culture and Art Festival mencoba menjembatani seniman-seniman Minangkabau di ranah dan di rantau dari berbagai disiplin ilmu dan lintas generasi untuk dapat menggali potensi lokal yang belum banyak diketahui publik. Kehadiran ini merupakan wadah baru bagi dialektika seniman Minangkabau untuk berbagi dalam mengembangkan seni dan budaya sehingga nanti akan lahir seniman-seniman yang cerdas, seniman-seniman yang dengan latar pijakan mereka mengerti dengan dasarnya.
Festival ini menyampaikan pesan kuat, yakni tentang etnisitas. Dalam pengantarnya, Ketua Pelaksana MCAF Aidil Usman menyatakan ada hal mendasar yang sering dilupakan orang Minang. Faktor etnik bukanlah satu-satunya yang menyebabkan orang-orang Minang menjadi tokoh di gelanggangnya. Pandangan Minangsentris seperti itulah yang menjadi faktor utama mengapa saat ini orang Minangkabau seakan tak tampak lagi di setiap gelanggang. upun ada, cenderung tidak merata di setiap gelanggang.
Setiap capaian para pendahulu tak hanya diambil, tetapi juga bagaimana menciptakan yang terbaik untuk masa sekarang. Sebab tak akan ada yang bisa bertahan u hanya mengandalkan warisan meskipun itu adalah warisan terbaik. Hal yang sama juga berlaku bahwa tak akan bisa melangkah maju u meluputkan yang terbaik dari mereka.
“Hubungan kita dengan para pendahulu bukan lagi dalam hubungan tinggal-habis, melainkan hubungan tikam-jejak,” pungkas Aidil.
Inilah pentingnya untuk menelusuri kembali jejak para pendahulu. Tak hanya menelusuri, tetapi juga membuat tikaman pada jejak tersebut. Salah satu jejak yang masih bisa ditelusuri ialah bagaimana para pendahulu itu memosisikan Minangkabau sebagai kebudayaan yang mengakomodasi kebaruan. Memang begitulah Minangkabau. Menjadi Minangkabau adalah dengan cara tidak menjadi Minangkabau. (M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved