PULUHAN bambu berdiri tegak di dinding. Jumlahnya tak kurang dari 16 batang. Panjangnya sama, sekitar 2,5 meter. Hanya besarannya yang berbeda. Masing-masing memiliki ragam diameter 15-20 cm. Semuanya berasal dari satu jenis, yakni Bambusa vulgaris (bambu kuning). Bambu-bambu itu merupakan karya seni instalasi berjudul Bamboo I. Karya tersebut merupakan salah satu karya yang dipajang dalam pameran herman de vries; Basic Values. Dalam setiap karyanya, seniman kelahiran Alkmaar, Belanda, pada 11 Juli 1931, itu selalu menulis namanya dengan huruf kecil. Hal itu, menurutnya, untuk meniadakan hierarki.
Dalam karya lukisnya di dekade 50-an, seniman berjanggut lebat itu juga tak pernah memakai pigura ataupun warna. Karya-karya seniman nyentrik yang dipamerkan itu merupakan bagian rangkaian Jakarta Biennale 2015. Pameran dihelat di Erasmus Huis Jakarta, 9 November 2015-17 Januari 2016. Karya instalasi lainnya berjudul Bamboo II terletak di samping kiri Bamboo I. Hampir sama, 16 bambu juga diletakkan menempel dinding. Bedanya, jenis bambu berbeda satu sama lain. Pembeda lain ialah besaran bambu yang rancak, dari yang kecil sekitar 5 cm sampai sekitar 20 cm. Pada karya Bamboo II, bambu dijejer acak, tidak dikelompokkan antara bambu besar dan bambu kecil.
Bambu-bambu tersebut diambil dari Kebun Raya Bogor. Basic Value, demikian pameran ini bertema, memang membingkai benda ataupun hasil bumi yang terkait dengan kebutuhan hidup yang paling mendasar. Herman mengungkapkan penemaan tersebut dalam video singkat berdurasi 14 menit. "It's an elegant title, departing from the base of our live from what we need and how we get it," terangnya. Tak cuma bambu. Instalasi lain berjudul Van paddi tot bras menggunakan lesung yang biasa digunakan untuk mengolah padi.
Dulu, lesung dipakai untuk memisahkan kulit gabah dari beras. Lesung berbentuk lonjong seperti perahu kecil dengan cekungan di bagian atas. Penggunaannya juga cukup sederhana, gabah kering diletakkan dalam cekungan. Lalu dipukul berulang-ulang dengan alu penumbuk sampai sekam terpisah dari beras. Pada karya tersebut, lesung yang digunakan mempunyai dua cekungan. Satu cekungan berisi seikat gabah, sedangkan yang lain berdiri alu penumbuk yang juga terbuat dari kayu. Herman juga menggunakan arit dalam karya instalasi berjudul Harvesting. Tak kurang dari 27 arit dijejer di dinding dengan jarak sekitar 1,5 meter dari lantai.
Arit-arit tersebut juga bermacam ukuran dan berbeda kadar kilaunya. Arit biasa digunakan untuk memotong tangkai padi saat panen secara tradisional. Arit berada satu keluarga dengan pisau dapur bergagang. Hanya, bentuknya melengkung dan lebih besar dari pisau dapur biasa. Umumnya, arit bakal diasah terlebih dulu sampai mengilat sebelum digunakan untuk memanen padi. Sebab semakin diasah mengilat, semakin tajam. Pada bagian tengah ruang pamer, diletakkan 15 nampan bambu. Dua nampan dialasi tikar anyaman dari pandan, sedangkan 13 nampan lainnya dibiarkan menempel lantai.
Dua nampan berisi cengkih dan pala, sedangkan 13 lainnya berisi beras yang beragam jenis. Beras yang dimasukkan ke instalasi gampang ditemui di pasar tradisional. Dari beras merah sampai beras ketan. Dari yang berkualitas tinggi sampai kualitas raskin. Memang berbeda, dua nampan beralas tikar berada dalam judul In remembrance. Ada sebanyak 13 nampan dalam judul Rice. Gerabah tempat air juga tak boleh tertinggal. Sebab ia mewakili salah satu unsur dasar yang paling penting, yakni air. Pada instalasi berjudul Water, kendi kecil bercerat dan berisi air diletakkan di atas sebuah penyangga.
Masih ada karya rupa berbahan tanah yang berjudul From Earth. Sebanyak 12 bingkai diletakkan menggantung di dinding. Setiap bingkai berisi kertas dengan tanah yang digosokkan ke permukaannya. Tanah itu berasal dari berbagai daerah di Pulau Jawa. Kurator pameran Roel Arkesteijn menerangkan tanah tersebut diperolehnya saat berkeliling Pulau Jawa. Ia membawanya ke Belanda. Tanah itu kemudian diolah oleh Herman menjadi karya seni. Tanah itu diambil dari banyak daerah, di antaranya Subang, Indramayu, Jakarta, Magelang, Yogyakarta, Bogor, Kediri, Sukabumi, dan Cirebon. Pameran ini menampilkan 10 karya Herman de Vries. Selain yang telah disebut, masih ada beberapa judul karya lain, yakni Rattan dan Abundance. Rattan merupakan karya berbahan rotan yang digulung melingkar, sedangkan Abundance ialah karya berbahan hasil bumi yang diletakkan dalam nampan bambu. Gerakan seni baru Roel yang juga menjadi kurator seni kontemporer di Museum De Domeinen di Sittard menuturkan, "Herman memperlihatkan bentuk instalasi baru. Karyanya juga tergolong unik, sebab caranya menggabungkan seni visual dan ilmu pengetahuan." Pada pameran ini, Herman merayakan keanekaragaman budaya dan hayati Indonesia dengan menggunakan artefak dan bahan alam setempat, seperti arit, batang bambu, daun teh, dan berbagai jenis beras. '(Herman) de Vries memperlihatkan keanekaragaman budaya dan hayat Indonesia, serta 'nilai-nilai dasar'-nya', tulis Roel dalam kuratorial.
Dia juga menyebut Herman sebagai pionir seni ekologis yang merupakan gerakan baru dalam seni sekaligus merupakan advokat keragaman budaya dan hayati. Meski belum pernah menginjakkan kaki di Indonesia, Herman mempunyai ketertarikan besar terhadap Indonesia. Terlebih ia membuat karya tentang Indonesia. Proses berkarya dilakukan secara intensif oleh Roel dan Herman. Roel membawa bambu dari Kebun Raya Bogor sekaligus mengumpulkan tanah dari berbagai daerah. Itulah yang menjadikan pameran ini menarik. "Dalam banyak hal, pameran di Erasmus Huis ini memenuhi keinginan Herman de Vries yang sungguh-sungguh untuk melakukan perjalanan dan bekerja di Indonesia. Selama puluhan tahun, ia sudah tertarik dengan budaya dan alam Indonesia, tapi ia belum sempat untuk mengunjungi negeri ini." (M-6)