Headline

Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.

Fokus

Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.

Tarian dan Nyanyian untuk Menyembuhkan

Yose Hendra
03/1/2016 00:00
Tarian dan Nyanyian untuk Menyembuhkan
()
JEMARI kekar kerei Mang Bagiat Salabok tak kuasa lagi menahan bambu (bakatkatsaila) yang terus bergerak liar. Seketika, Mang Bagiat Trance (tidak sadarkan diri), dan simagre (jiwa atau roh leluhur) langsung mengendalikan jiwanya. Ia meronta-ronta dengan liar. Empat orang pemuda harus memegangnya hingga simagre bisa dijinakkan. Di sekelilingnya, beberapa kerei terus menari, terus menjalin komunikasi dengan roh. Mereka melantunkan urai ukui (nyanyian roh), sembari kaki menghentak mengikuti irama gajeuma' (gendang) dan jejeneng (genta). Tangan mereka mengepak-ngepak seperti elang.

Di keheningan malam, ritual pantang dihentikan. Begitulah suasana pengobatan di Dusun Tinambu, pedalaman Siberut, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat, beberapa waktu lalu. Ada dua orang yang sakit parah kala itu. Upacara penyembuhan (pabetei) tersebut dilakukan dengan cara turuk (menari dan bernyanyi untuk memanggil jiwa). Untuk gerakan, turuk meniru gerakan binatang seperti elang, sementara nyanyian beraroma spritualitas. Liriknya susah dimengerti, tapi jelas bersifat pujaan untuk meminta kekuatan. Turuk dilakukan sikerei, ahli pengobatan (tabib), sekaligus yang bisa berkomunikasi dengan Ulau Manua (Tuhan) dalam kepercayaan Arat Sabulungan.

Orang Mentawai meyakini Ulau Manua tinggal di hutan. Di hutan juga mereka percaya bersemayam segala jenis roh, baik dan buruk, termasuk roh nenek moyang. Dalam kepercayaan Arat Sabulungan, semua benda baik hidup maupun mati, dipercaya memiliki jiwa. Reimar Schefold dalam Kebudayaan Tradisional Mentawai yang terangkum dalam buku Pulau Siberut menuliskan semua benda terutama dalam jimat, benda-benda suci, dan roh-roh memiliki suatu kekuatan yang disebut bajou. Antropolog Universitas Andalas Maskota Delfi menjelaskan dengan begitu banyaknya jiwa yang beredar dalam kehidupan supranatural Mentawai, konfrontasi bajou ialah sesuatu yang tidak terelakkan.

"Yang kuat akan mendikte yang lemah. Sifat kontaknya kadang tiba-tiba. Inilah pangkal sakit dari sudut pandang etiologi orang Mentawai,"ujarnya.  Pangkal sakit dan kemalangan diyakini karena fisik manusia telah memicu ketidakselarasan antara jasmani (tubu) dan rohani, jiwa (simagere) seseorang. Kerei ialah tulang punggung dalam ajaran Arat Sabulungan. Ia bukan hanya sebagai pemimpin upacara adat (punen), melainkan juga solusi penyembuhan penyakit endemik yang sering melanda orang Mentawai, seperti malaria, roket (daman), oringen (penyakit keras parah), besit utek (sakit kepala), besit baga (sakit perut), dan pangoringen (penyakit dari roh). "Pengetahuan kerei tentang fungsi tumbuhan obat di Mentawai dianggap paling tinggi dan lengkap ketimbang masyarakat asli lain di Indonesia," tulis etnolog Darmanto.

Mantra sebagai perantara
Untuk proses penyembuhan, kerei memerlukan daun-daunan atau tumbuhan (mumunen) dan mantra sebagai perantara (gaud). Daun-daun tumbuh kembang di hutan. Hutan pun sangat krusial bagi masyarakat Mentawai. Ritual turuk dilakukan melalui beberapa tahapan. Pada siang hingga sore, keluarga yang sakit melakukan pembantaian babi, lalu mengolahnya menjadi sup. Sekitar pukul 21.00 WIB, para kerei yang ada di kampung itu naik ke rumah. Kerei memulainya dengan turuk obbuk (turuk bambu), yakni menjadikan bambu sebagai media untuk berkomunikasi dengan roh.

Dalam bumbu terdapat sejumlah sesajian seperti, secuil daging babi dan daging ayam yang telah dimasak, sedikit sagu, parutan kelapa, beberapa tanaman, dan daun untuk obat seperti mumunen, air, lalu bambu diikat. "Bambu menampung seluruh persembahan. Dan pada bambu juga roh dan jiwa dikandangkan, lalu dilakukan turuk lajo," ujar sikerei Mang Bagiat Salabok. Peneliti tradisi Mentawai Tarida Hernawati S mengatakan setelah nyanyian ini dilantunkan, ramuan obat (pameru') sudah bisa dioleskan ke tubuh si sakit. Untuk sakit keras, kerei melakukan bersama-sama.

Dari pantauan, terlihat kerei secara bergantian masuk ke kamar tempat dua pasien satu keluarga tengah tergeletak sakit. Mereka memasuki kamar sambil menari-nari dan melafalkan mantra, lalu mengepak-ngepakan daun-daun. Sesampainya di hadapan pasien, mantra terus dipanjatkan dan daun dioleskan ke sekujur tubuh pasien yang terlihat sakit parah seolah tubuhnya tengah dikuasai roh jahat.

Kemudian kerei kembali ke serambi, terus menari. Secara bergantian, mereka memegang bakatkatsaila (bambu berisi sesajian), menggetarkannya, mengadu kuat dengan roh yang terus diundang, dan kadang juga dengan halus disuruh kembali ke hutan. Ritual turuk berlangsung hingga pagi menjelang. Sebagai akhir prosesi turuk sekaligus hiburan bagi warga di malam itu, para kerei melakukan turuk uliat; turuk yang menirukan gerakan ayam, monyet, burung, elang, dan binatang lainnya. (M-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya