Headline

Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.

Fokus

Warga bahu-membahu mengubah kotoran ternak menjadi sumber pendapatan

Selamat Datang Epos Antroposen

Dhika Kusuma Winata
17/9/2016 08:35
Selamat Datang Epos Antroposen
(AFP)

MASIFNYA pengaruh manusia terhadap alam semakin kuat. Ilmuwan mendeklarasikan Bumi sudah memasuki era baru dari epos holosen yakni epos antroposen.

Demikian rekomendasi yang disodorkan para ahli yang tergabung dalam Kelompok Kerja Antroposen (AWG) pada Kongres Geologi Internasional (IGC) ke-35 di Cape Town, Afrika Selatan, dua pekan lalu. Antroposen, menurut AWG, ialah epos geologis baru yang menandakan dominasi efek manusia terhadap Bumi.

Gejala utamanya berupa perubahan besar pada lingkungan bersamaan dengan peningkatan pesat populasi manusia pada pertengahan Abad ke-20. Perubahan itu mengakibatkan percepatan tingkat erosi serta sedimentasi, pemanasan global, pergeseran unsur kimia, dan organisme.

Epos holosen, dalam skala waktu geologi merupakan zaman es sejak 12 ribu tahun lalu kala peradaban manusia dalam tahap perkembangan. Namun, kemajuan pesat peradaban melalui industrialisasi 200 tahun lalu, kata ilmuwan, menyebabkan percepatan tingkat emisi karbon dioksida, penaikan permukaan laut, kepunahan spesies secara massal, dan deforestasi.

"Konsep antroposen memasukkan perubahan lingkungan. Ada tanda-tanda nyata yang menjadikannya sebuah unit (skala waktu) yang khas," kata Colin Waters, peneliti British Geological Survey yang juga Sekretaris AWG. Jan Zalasiewicz, ahli palaeobiologi di University of Leicester, Inggris, mengatakan level karbon dan nitrogen pada atmosfer sebenarnya relatif stabil sebelum momen 'akselerasi hebat' yang terjadi pada 1950-an.

"Setelah itu, seluruh sistem Bumi terkena dampaknya."

Agar bisa menyodorkan skala waktu geologi baru, peneliti harus menemukan bukti yang sifatnya global. Tak hanya itu, temuan juga harus dipastikan mengendap dalam bentuk sedimentasi dan fosil agar bisa ditemukan di masa mendatang. Misalnya, seperti jatuhnya meteor 66 juta tahun lalu pada periode kapur yang meninggalkan sedimen iridum di Bumi dan mengakhiri spesies dinosaurus. Artinya, syarat sebuah era geologis baru ialah kurun waktu yang panjang. Unit waktu geologis epos biasanya berlangsung selama puluhan juta tahun.

"Antroposen dikritik karena dinilai tidak cukup lama. Tapi, banyak perubahan menujukkan hal sebaliknya," ujar Zalasiewicz.

Menurut tim AWG, radioaktif yang dihasilkan bom nuklir bisa dijadikan bukti pada sedimentasi. Seperti diketahui, nuklir sendiri menjadi senjata andalan selama Abad ke-20. Sejumlah negara, selain menggunakan nuklir dalam perang, juga kerap menguji coba sehingga meninggalkan jejak radioaktif yang tersebar di berbagai belahan Bumi. Selain itu kandidat bukti lain ialah emisi karbon dari pembangkit listrik, sampah plastik, partikel alumunium, nitrogen, dan fosfat pada tanah.

Formalisasi

Pokja AWG, yang terdiri dari 35 ilmuwan internasional sudah mengumpulkan bukti-bukti awal sejak 2009. Dalam kongres IGC, anggota kelompok kerja AWG melakukan pemungutan suara untuk merespons temuan. Sebanyak 34 anggota menyatakan antroposen ialah fenomena yang nyata, sedangkan 1 anggota abstain.

Mayoritas anggota juga menganggap sisa-sisa unsur nuklir plutonium bisa dijadikan tanda kimia antroposen. Sebanyak 30 anggota juga memandang antroposen harus diajukan secara formal dan diadopsi secara resmi oleh komunitas ilmuwan dunia. Karena itu, tim akan mengkaji lanjut bukti yang paling kuat dan lokasi kunci lapisan sedimentasi dalam 2-3 tahun mendatang. Setelah itu baru diajukan ke lembaga Subcommission on Quaternary Stratigraphy (SQS) serta International Commission on Stratigraphy (ICS) untuk pemungutan suara.

Sementara itu, Ketua ICS Stanley Finney menyangsikan klaim tim AWG. Menurutnya, masa epos baru yang diajukan terlalu cepat. "Durasinya hanya seperti usia rata-rata manusia," ujarnya. Istilah antroposen sendiri pertama kali digunakan ilmuwan biologi Amerika Serikat Eugene F Stoermer pada 1980-an. Stoermer, bersama ilmuwan Belanda Paul Crutzen, mulai memperkenalkannya secara populer pada 2000. (AFP/The Guardian/Science Daily/University of Leicester Press Office/Dhk/L-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik