Headline
RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian
Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.
PORTUGAL berhasil menyingkirkan Polandia di perempat final Piala Eropa 2016 lewat drama adu penalti. Ada hal menarik dibalik adu tos-tosan yang berakhir dengan skor 5-3 itu. Cristiano Ronaldo menjadi algojo pertama skuat Seleccao das Quinas julukan Portugal. Artinya, CR7 julukan Ronaldo manut dengan instruksi pelatih untuk menjadi eksekutor pertama. Pemilihan urutan penendang memang sangat menentukan pada laga yang harus berakhir dengan adu penalti. CR7 sepertinya sudah belajar dari petaka yang terjadi di semifinal Piala Eropa 2012. Saat itu CR7 dkk bertemu dengan Spanyol di semifinal. Karena skor tetap imbang hingga waktu perpanjangan berakhir, pertandingan harus diselesaikan dengan adu penalti.
Setengah merajuk, CR7 meminta kepada pelatih agar dia ditempatkan sebagai penendang urutan kelima alias terakhir. Namun, sial, Joao Moutinho dan Bruno Alves gagal menuntaskan tugas. CR7 pun urung menjadi eksekutor lantaran gol Spanyol tidak mungkin lagi terkejar. Portugal pun tersingkir dengan skor 2-4 di semifinal. CR7 pun menjadi pesakitan atas kekalahan tersebut. Kolega satu timnya, Nani, buka suara paling keras. Dia mengecam pilihan CR7 menjadi algojo terakhir. Menurut Nani, CR7 ialah tipikal pemain ambisius yang lebih memburu kejayaan dan kepopuleran pribadi ketimbang kepentingan tim. Dengan menjadi penendang terakhir, CR7 berharap bisa menjadi penentu kemenangan dan namanya akan dielu-elukan sebagai pahlawan.
Menempatkan penendang terbaik sebagai algojo terakhir sejatinya sangat berisiko tinggi. Pelatih sepak bola amatir pun paham, penembak terbaik di tim idealnya menjadi algojo pertama. Sebagai profesional, CR7 tentunya juga paham dengan strategi sepak bola. Menjadi pemain egoistis di lapangan memang tidak selalu berkonotasi buruk. Sifat ambisius dan egois itulah yang membuat CR7 meraih Ballon d'Or 2013 serta 2014, Sepatu Emas Eropa, dan penghargaan lainnya.
Namun, sayangnya sepak bola bukanlah pingpong atau olahraga individu lainnya. Seabrek piala yang tersimpan rapi di museum pribadi pemain bertinggi badan 184 cm itu akan terasa sia-sia bila timnya gagal menjadi kampiun. Pemain kelahiran Madeira itu memang berhasil membawa klubnya, Manchester United (MU) dan Real Madrid, meraih sejumlah gelar. Namun, belum satu pun gelar turnamen mayor dipersembahkan CR7 bagi negaranya. Di level klub, CR7 beruntung berada di klub kaya bergelimang uang, yang bisa mengumpulkan para pemain terbaik di dunia. Kondisi berbeda terjadi Portugal. Skuat Seleccao das Quinas jelas tidak selengkap MU atau Madrid. Bahkan di Piala Eropa 2016 ini, Portugal tidak memiliki stok striker yang memadai dan terpaksa menempatkan CR7 yang berkarakter winger di posisi penting tersebut. Realitas memang membuktikan Portugal sangat bergantung pada CR7. Kondisi itu sayangnya terpelihara hampir satu dekade. Di sisi lain, CR7 yang seharusnya bisa menjadi katalisator untuk mengangkat permainan para koleganya malah kerap membebani para sekondannya di timnas Portugal. Walhasil negara mana pun yang melawan tim Portugal seolah-olah selalu tengah menghadapi pemain terbaik dan bukan tim terbaik.
Di lapangan kerap terlihat CR7 menunjukkan gesture badan tidak senang dan marah-marah jika bola tidak segera diumpankan kepadanya. Sifat mau menang sendiri itu pun terkadang terlihat di ajang Piala Eropa saat ini. CR7 ialah salah satu contoh dari pemain yang tidak bermetamorfosis secara sempurna. Di lapangan, permainannya memang telah bermetamorfosis lebih dewasa. CR7 telah mengubah gaya bermainnya dari pemain yang suka pamer skill menjadi pembunuh berdarah dingin di lapangan. Dia sadar aksi gocekan dan pamer trik-triknya di usia muda hanya sedap ditonton di Youtube, menaikkan penjualan merek sepatunya, tetapi tidak untuk kemenangan tim.
Karena itu, dia mengubah gaya mainnya menjadi lebih sederhana dan efektif di lapangan. Sayang metamorfosis itu tidak berlanjut pada sifat dan perangainya yang masih saja narsistis dan egoistis. Di usia 31 tahun, sebuah usia yang tergolong senja bagi pemain bola, metamorfosis sebagai pemain yang bijaksana dalam perangai dan aksi di lapangan sudah mutlak dilakukan CR7 demi kepentingan tim nasionalnya.
CR7 boleh jadi ialah pemain terbaik di generasinya. Namun, tanpa membawa pulang piala dari turnamen mayor bagi negaranya, namanya tidak akan lebih besar daripada Maradona yang berhasil membawa Argentina dengan skuat ala kadarnya menjuarai Piala Dunia 1986. Bahkan tanpa gelar mayor bagi negaranya, nama Cristiano Ronaldo selamanya hanya akan dikenal dengan julukannya CR7. Nama 'Ronaldo' sudah identik dengan Ronaldo Luis Nazario de Lima, 'the real Ronaldo', lantaran pemain Brasil itu telah sukses mempersembahkan sejumlah gelar turnamen bagi negaranya. (R-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved