Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Mudik Yuk!

Ronal Surapradja
01/7/2016 07:35
Mudik Yuk!
(MI/Permana)

HARI itu suasana Terminal Cicaheum Bandung begitu padat.

Seorang anak laki-laki memegang erat tangan ibunya, menanti bis untuk mudik ke Garut, kampung halaman mereka.

Seusai mereka menunggu 2 jam, akhirnya bus yang dinanti tiba. Calon penumpang mulai bergerak, berdesakan menyongsong bis yang bahkan belum berhenti.

Tujuannya sama, yaitu memastikan mendapat kursi. Si anak tergencet di antara penumpang lainnya, dan si ibu tetap berjuang untuk masuk ke bus.

Akhirnya mereka berhasil masuk, lalu langsung mencari kursi yang masih kosong.

Setelah duduk, lalu si ibu lalu membuka jendela bus dan mengangkat seorang anak perempuan yang dimasukkan lewat jendela.

Dia dimasukkan seorang bapak yang di pundaknya tergantung dua tas besar.

Tak lama kemudian, si bapak berhasil masuk juga ke bus.

Kursinya hanya dua, tapi mereka berempat.

Walhasil, si anak duduk sendiri, si anak perempuan dipangku ibunya, dan si bapak berdiri sepanjang perjalanan.

Itu kisah keluarga saya di pertengahan 1980.

Si anak kecil itu saya, bersama adik dan kedua orangtua saya.

Setiap mengingat dan membicarakan cerita ini, kami selalu terharu.

Masa susah yang indah.

Mudik ialah hajatan besar bangsa ini, terutama menjelang Idul Fitri. Kementerian Perhubungan memperkirakan jumlahnya mencapai 26 juta!

Dengan jumlah itu, kisah eksodus Nabi Musa jadi terlihat kecil.

Kenapa harus mudik?

Menurut budaya Jawa, Idul Fitri ialah dino becik atau hari yang paling baik untuk bertemu dengan orangtua dan bersilaturahim dengan keluarga.

Kalaupun sudah meninggal, mereka akan nyekar ke makam orangtua di hari becik tersebut.

Yang lucu, mudik juga dipakai sebagai ajang unjuk kesuksesan.

Banyak yang bela-belain mudik dengan barang 'baru'.

Yang penting pas mudik gaya nomor satu hehe.

Saya sih lihat sisi baiknya saja.

Semoga tujuannya memotivasi orang lain untuk bisa sesukses dia.

Kalau saya justru malah menghindari pakai segala sesuatu yang baru saat mudik karena kesannya kok niat amat ya? Hehe.

Kalau yang kita punya masih bagus dan layak, ya sudah itu saja yang kita pakai.

Mudik yang saya ceritakan dari awal itu ialah 'mudik biologis' karena berorientasi pada pemenuhan insting dan naluri kemanusiaan semata, seperti mengobati rasa kangen dan rindu kepada sanak keluarga.

Padahal, esensi Idul Fitri yang sesungguhnya ialah menjadikannya sebagai momentum 'mudik spiritual', yakni kembali ke kampung halaman rohani yang fitri dan suci.

Mudik kita ke kampung halaman harus kita anggap sebagai latihan sebelum nanti kita mudik yang sesungguhnya ke kampung akhirat.

Mudik yang baik harusnya membuat kita tersadar akan dua pertanyaan mendasar, yaitu dari mana kita berasal dan akan ke mana setelah itu?

Jadi terpikir, kalau mudik ke kampung halaman kita membawa bekal yang terbaik, masa mudik yang sesungguhnya nanti ke kampung akhirat kita hanya membawa bekal seadanya.

Selamat mudik! (H-5)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zen
Berita Lainnya
Renungan Ramadan
Cahaya Hati
Tafsir Al-Misbah