Headline

Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.

Fokus

F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.

MK Tolak Usulan Pembentukan Lembaga Pengawas

Erandhi Hutomo Saputra
29/1/2017 20:38
MK Tolak Usulan Pembentukan Lembaga Pengawas
(ANTARA/WIDODO S JUSUF)

MESKI sudah dua kali hakimnya, yakni Akil Mochtar dan Patrialis Akbar, dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lantaran terjerat kasus korupsi, Mahkamah Konstitusi (MK) bersikukuh lembaganya tidak perlu diawasi oleh pengawas eksternal seperti Komisi Yudisial (KY).

Ketua MK Arief Hidayat beralasan, rangkaian operasi tangkap tangan KPK yang turut menyeret Hakim Konstitusi Patrialis Akbar bukanlah kelemahan sistem pengawasan internal.

Ia mengklaim, penangkapan Patrialis justru sebagai keberhasilan sistem pengawasan yang dibangun oleh MK. Keberhasilan itu karena MK telah membuat permanen Dewan Etik MK sejak 2013 yang tugasnya mengawasi hakim konstitusi setiap harinya.

Selain itu, lanjut Arief, keberhasilan sistem yang dibangun adalah kerja sama MK dengan KPK untuk mengawasi hakim konsitusi.

"Sejak penanganan perkara sengketa Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) saya sudah menyampaikan ke Pak Agus (Ketua KPK Agus Rahardjo) waktu KPK datang ke MK (6 Januari 2016) saya bilang 'Pak Agus tolong semua hakim MK diawasi, kalau perlu semuanya disadap', itu saya sudah bilang begitu, kemudian terjadi OTT adalah keberhasilan sistem yang kita bangun," ujar Arief saat dihubungi di Jakarta, Minggu (29/1).

Pembentukan lembaga pengawas eksternal, sebut Arief, tidak akan berfungsi banyak jika proses rekrutmen yang dilakukan Presiden, MA, dan DPR tidak terbuka dan hakim konstitusi terpilih tidak memiliki moralitas dan integritas yang baik.

Untuk itu, ia berpendapat agar proses rekrutmen yang dilakukan baik oleh Presiden, DPR, dan MA harus dilakukan secara terbuka serta calon hakim konstitusi yang dipilih adalah seseorang yang telah selesai dengan hidupnya baik dari segi jabatan maupun materi.

"Apapun proses seleksinya, kalau yang terpilih orang yang hidupnya belum seelsai itu juga bermasalah, jadi (harus) ada proses di dalam seleski yang penting tidak hanya kompetensi tapi bagaimana integritas dan moralitas, harus direkrut orang yang merasa hidupnya sudah selesai," jelasnya.

Adapun Arief juga mempertanyakan efektivitas KY jika juga dibebani mengawasi MK. Pasalnya, saat ini saja KY belum mampu mengawasi secara maksimal Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya. Terlebih, MK juga telah membatalkan Undang-Undang Nomor 4/2014 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 1/2013 tentang MK yang mengatur keikutsertaan KY dalam mengawasi MK.
Pasalnya, MK berpandangan posisi KY yang ikut mengawasi MK tidak tepat secara konstitusional. Hal itu karena sistematika konstitusionalitas yang meletakkan KY di Pasal 24B di bawah MA di Pasal 24A, sedangkan MK sendiri di Pasal 24C.

"Kenapa MK ditaruh di terakhir, itu karena memang MK tidak berkaitan dengan KY, Kalau MK juga harus diawasi KY, maka MK harusnya di Pasal 24B, sedangkan KY di pasal 24C," cetus Arief.

Meski tidak setuju adanya usulan pembentukan lembaga pengawas eksternal untuk mengawasi MK, Arief menyiratkan ketidakberatan MK jika dilakukan pembatasan terhadap calon hakim konstitusi yang merupakan mantan parpol. Arief menyatakan usulan agar calon hakim konstitusi dari mantan parpol setidaknya sudah berhenti minimal 7 tahun dari parpol tersebut merupakan ranah DPR atau pemerintah sebagai pembentuk UU.

"Saya bukan dalam posisi setuju atau tidak setuju (soal pembatasan dari mantan parpol), saya dalam posisi pengaturan itu terserah pada pembentuk UU," pungkasnya. (OL-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya