Headline

Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.

Fokus

Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.

Hakim Kena Suap, Legitimasi Putusan MK Dipertaruhkan

Micom
26/1/2017 17:39
Hakim Kena Suap, Legitimasi Putusan MK Dipertaruhkan
(MI/RAMDANI)

TERTANGKAPNYA Patrialis Akbar, Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), merupakan prahara kedua setelah sebelumnya Ketua MK, M. Akil Mochtar pada 2013 juga tertangkap tangan oleh lembaga antirasuah.

Menurut Direktur Setara Institute, Ismail Hasani, tertangkapnya seorang hakim MK memiliki dampak serius dan dampak ikutan pada produk kerja lembaga pengawal konstitusi ini, karena hakim MK adalah pejabat negara kelas negarawan, yang seharusnya tidak memiliki interest apapun dalam bekerja kecuali mengawal konstitusi dan menjaga paham konstitusionalisme.

"Praktik suap yang diduga ditukar dengan putusan hakim Konstitusi memiliki daya rusak lebih serius dibanding suap biasa," ujarnya, Kamis (26/1).

Kewenangan MK memutus konstitusionalitas sebuah norma dalam UU, yang merupakan produk kerja DPR dan Presiden, adalah kewenangan yang sangat besar dan memiliki daya ikat luar biasa. Putusan MK adalah erga omnes, berlaku bagi semua orang, meski sebuah norma UU hanya dipersoalkan oleh satu orang. Lewat putusan MK juga, jika sebuah permohonan judicial review dikabulkan, berarti membatalkan produk kerja 550 anggota DPR dan presiden yang bersifat final and binding. Atas dasar kewenangannya yang sangat besar, dugaan memperdagangkan putusan, sebagaimana dipraktikkan oleh Patrialis Akbar, kata Ismail, memiliki daya rusak luar biasa yang bisa mendelegitimasi banyak putusan MK dan kelembagaan MK.

Menurut dia, menelisik rekam jejak Patrialis Akbar dan proses pencalonannya menjadi hakim MK pada Juli 2013, banyak pihak tidak terkejut dengan peristiwa yang saat ini menimpa mantan politisi Partai Amanat Nasional (PAN) ini. Patrialis menjadi hakim MK tanpa proses seleksi yang wajar, karena hanya ditunjuk oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tanpa mempertimbangkan kualifikasi yang ditetapkan UU, setelah tergeser dari kursi Menteri Hukum dan HAM. Proses seleksi pun dipersoalkan oleh organisasi masyarakat sipil, hingga berujung ke pengadilan tata usaha negara.

Sebagai lembaga pengawal konstitusi yang berada di garis tepi menjaga kualitas produk UU dan mengadili sengketa antarlembaga negara, prahara suap ini menuntut penyikapan serius dari berbagai pihak, antara lain KPK, Dewan Etik MK, serta anggota dewan dan presiden.

KPK, kata Ismail, harus menelisik lebih mendalam potensi keterlibatan hakim lain dan staf di Kesekjenan MK, karena perkara korupsi biasanya tidak hanya melibatkan aktor yang tunggal. Sedangkan Dewan Etik MK, harus mengambil tindakan terhadap Patrialis Akbar, sesuai mekanisme kerja Dewan Etik MK, sehingga memudahkan kerja KPK. "Selain itu, sejalan dengan agenda revisi UU MK, DPR dan Presiden perlu mengkaji dan mengatur lebih detail penguatan kelembagaan MK, khususnya perihal pengisian jabatan Hakim MK, pengawasan, standar calon hakim, termasuk menyusun regulasi perihal manajemen peradilan MK yang kontributif pada pencegahan praktik korupsi." RO/OL-2



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya