Headline

Manggala Agni yang dibentuk 2002 kini tersebar di 34 daerah operasi di wilayah rawan karhutla Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.

Fokus

Sejak era Edo (1603-1868), beras bagi Jepang sudah menjadi simbol kemakmuran.

Ambang Batas Sandera Presiden

Arif Hulwan
19/1/2017 07:40
Ambang Batas Sandera Presiden
(Ilustrasi)

PENETAPAN ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) hanya akan menghasilkan pemerintahan yang tersandera oleh DPR. Harusnya, ketentuan itu dihapuskan agar sejalan dengan semangat penguatan sistem presidensial.

“Pemberlakuan presidential threshold tidak hanya berdampak pada proses pencapresan yang terpenjara hasil pemilu legislatif. Lebih jauh lagi ada inkonsistensi pelembagaan sistem presidensial,” jelas Koordinator Kelompok Peneliti Perkembangan Politik Nasional LIPI Syamsuddin Haris, dalam rapat dengar pendapat dengan Pansus RUU Penyelenggaraan Pemilu, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (18/1).

Ia mengatakan konsekuensi logis dari pemilu legislatif (pileg) dan pemilu presiden (pilpres) yang dilakukan serentak ialah ambang batas pencalonan presiden menjadi tidak relevan. Ambang batas ada ketika pileg digelar mendahului pilpres. Dasar pengusungan capres ialah hasil pileg. Jika itu diberlakukan pada 2019, keserentakan pemilu akan kehilangan makna.

Di sisi lain, lanjut Syamsuddin, sistem pemerintahan yang disepakati di Indonesia ialah presidensial. Mestinya, pencapresan tidak didasarkan pada hasil pemilu legislatif. Akan tetapi, akan lebih adil bila yang mengajukan capres ialah parpol yang punya kursi di DPR.

“Semua peserta pemilu berhak mengajukan calon presiden. Namun, enggak adil kalau parpol yang baru ikut pemilu langsung ajukan capres,” jelasnya.

Ia menambahkan penguat­an sistem presidensial mesti dilengkapi dengan mekanisme penjaringan bakal calon presiden di internal parpol. Bentuknya, pemilu pendahuluan ataupun konvensi capres yang digelar parpol atau gabungan parpol.
“Diharapkan, kandidat presiden/wapres tidak sekadar populer, bermodal besar, tapi juga memiliki kapasitas, kompetensi, dan juga suara partai,” ujarnya.

Ketua Pansus RUU Penyelenggaraan Pemilu Lukman Edy mengatakan usulan dari LIPI itu menjadi masukan berharga bagi pansus. Ia sepakat jika konsep transparansi perekrutan capres di parpol diakomodasi dalam RUU.

Meskipun memilih tetap mempertahankan ambang batas, anggota pansus dari F-Partai Golkar Agun Gunandjar Sudarsa sepakat soal adanya pemilu pendahuluan di internal parpol. “Untuk hindari oligarki, saya usulkan adanya pemilu internal di partai masihg-masing yang diwajibakan UU ini,” tandasnya.

Hingga saat ini, sikap fraksi-fraksi di DPR masih terbelah. Ada tiga fraksi (Gerindra, PAN, Hanura) setuju dengan persyaratan presidential threshold 0%. Lima fraksi lainnya (PDIP, Golkar, NasDem, PKS, dan PPP) berkukuh pada aturan lama, yakni harus ada ambang batas pencalonan presiden di angka 20% kursi DPR atau 25% raihan suara sah nasional pada pemilu sebelumnya.


Ambang batas parlemen

Polemik serupa juga terjadi dalam hal penentuan parliamentary threshold (ambang batas parlemen). Sikap fraksi-fraksi terpecah dalam tiga kelompok. Fraksi-fraksi besar plus NasDem menginginkan ambang batas tinggi hingga 10%. Fraksi-fraksi menengah menghendaki ambang batas sama seperti usulan pemerintah, yakni 3,5%. Sementara itu, fraksi-fraksi kecil meminta ambang batas parlemen dihilangkan atau 0%.

Anggota pansus dari F-Partai Golkar Rambe Kamarulzaman memastikan fraksinya mengusulkan 10%. “Persyaratan itu bukan hanya jadi penentu jumlah parpol di parlemen, melainkan juga jumlah fraksi di parlemen.” (P-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya