Headline
Reformasi di sisi penerimaan negara tetap dilakukan
Operasi yang tertunda karena kendala biaya membuat kerusakan katup jantung Windy semakin parah
KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) kecewa terhadap putusan Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi Jakarta yang diketuai Sumpeno karena tidak mencabut hak politik mantan Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta M Sanusi. Padahal, itu diyakini bisa membuat efek jera dan mengantisipasi pengulangan tindak pidana serupa ketika nanti dia kembali mencalonkan diri sebagai penyelenggara negara.
"Untuk banding putusan Sanusi, KPK sudah koordinasi dengan tim penuntutan akan pelajari lebih dulu. Yang pasti ada sejumlah tuntutan yang menurut KPK yakini benar dan bisa dibuktikan dan belum bisa diterima hakim termasuk fakta-fakta soal aset yang tidak bisa dikembalikan terdakwa dan tuntutan hak politik," terang Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (29/12).
Menurut dia, KPK masih memeiliki waktu untuk menganalisis putusan hakim terhadap Sanusi dan untuk menyusun berkas permohonan banding. Pasalnya, dakwaan dan tuntutan atas pencabutan hak politik sudah dilampirkan atau didasarkan bukti yang sangat logis yang sepatutnya diterima hakim.
Febri melanjutkan, tuntutan pencabutan hak politik memang diniisasi belakangan akibat pelaku korupsi berasal dari lembaga politik baik DPRD maupun DPR atau DPD serta lembaga lain. Pencabutan hak politik dinilai KPK merupakan sanksi untuk memberikan efek jera.
"Karena banyak risiko dan kerugian yang dialami masyarakat oleh orang-orang yang pernah menjadi terpidana kasus korupsi di dunia politik," katanya.
Tidak dicabutnya hak politik pelaku korupsi seperti Sanusi, lanjut dia, bisa memberikan legitimasi dan memperpanjang fenomena mantan narapidana korupsi kembali berupaya menduduki jabatan publik yang bisa kembali merugikan masyarakat.
Oleh sebab itu, hakim dan khususnya Mahkamah Agung cermat dalam mengantisipasi pengulangan tindak pidana serupa oleh mantan narapidana korupsi akibat tidak dipenuhinya tuntutan pencabutan hak politik.
"Apalagi saat ini terjadi fenomena mantan terpidana politik maju dalam kontestasi politik, harapan KPK jajaran MA punya mindset bersama untuk memberantas korupsi sektor politik dan pencabutan ini diatur dalam UU Tipikor, dan KPK hampir selalu mengajukan tuntutan itu kepada terdakwa yang ada risiko pihak yang diwakili akan melakukan perbuatan korupsi," paparnya.
Selain itu, Febri mengaku KPK akan terus mengembangkan kepada pihak lain dalam perkara yang telah menjerat Sanusi ini . Itu melalui fakta-fakta persidangan dan keterangan saksi juga tersangka yang mengarah pada keterlibatan pihak lain.
"Jadi saat ini KPK concern pada dua hal. Pertama itu soal pengembangan pihak lain dan kedua upaya hukum lanjutan akibat ada beberapa argumentasi dari KPK yang tidak diterima hakim," tutupnya.
Majelis hakim menjatuhkan hukuman kepada Sanusi 7 tahun penjara denda Rp250 juta dan subsider 2 bulan. Itu dibacakan Ketua Majelis Hakim, Sumpeno, di Pengadilan Tipikor. Alasannya Sanusi telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana yang didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK).
"Dengan ini Majelis Hakim menyatakan bahwa Sanusi terbukti sah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana didalam dakwaan," lanjut Sumpeno.
Sebelumnya, Sanusi didakwa melanggar Pasal Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 Juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
Kemudian, Sanusi diancam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP. (OL-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved