Headline
PPATK sebut pemblokiran rekening dormant untuk lindungi nasabah.
PPATK sebut pemblokiran rekening dormant untuk lindungi nasabah.
Pendidikan kedokteran Indonesia harus beradaptasi dengan dinamika zaman.
PROSES penanganan kasus dugaan penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok melompati kaidah hukum yang berlaku.
Sebelum dipidana, menurut Ketua Umum Komunitas Advokat Muda Basuki-Djarot (Kotak Badja) Muannas Al Aidid, sesuai Pasal 2 Ayat (1) dalam Undang-Undang Nomor 1 tentang Pencegahan dan Penyalahgunaan/Penodaan Agama Tahun 1965, Ahok seharusnya ditegur terlebih dahulu.
Apabila terbukti tidak memiliki niatan menista agama mengubah sikapnya, kasus Ahok tidak perlu masuk ke meja hijau.
"Sama seperti kasus-kasus dugaan penistaan agama lainnya yang dihentikan penyidikannya (SP3) setelah dikeluarkan teguran," ujar Muannas dalam konferensi pers di Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (18/12).
Muannas menjelaskan, Pasal 156a KUHP merupakan pasal sisipan (BIS) dari KUHP peninggalan Belanda yang diamanatkan Pasal 4 UU Nomor 1 PNPS Tahun 1965. Pasal 156a KUHP tersebut seharusnya mengikuti mekanisme UU PNPS.
Sebagai rujukan, Pasal 2 Ayat 1 dalam UU PNPS berbunyi, 'Barangsiapa melanggar ketentuan dalam Pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam sebuah keputusan bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan dan Menteri Dalam Negeri'.
"Dalam kasus Ahok, tidak ada proses peringatan, tiba-tiba langsung ke proses pidana. Ini yang saya sebut penyesatan. Penegakan hukum yang benar (due process of law) dilanggar. Pasal 2 (UU PNPS) ini yang dilompati dan dihilangkan dalam proses," ujar dia.
Muannas menambahkan, kasus-kasus dugaan penistaan agama yang mengikuti proses hukum yang benar lazimnya berujung SP3. Hal itu misalnya terjadi dalam kasus Eyang Subur pada 2013, kasus Gus Jari bin Supardi dari Jombang pada 2016, kasus Jonas Rivanno pada 2015, dan kasus Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi.
"Sejak awal sudah sesat. Sekarang tinggal menunggu keberanian hakim saja. Apakah hakim akan mengadili berbasis aturan, berdasar perasaan atau tekanan publik? Kita lihat pada putusan sela, apakah hakim berani menghentikan kasus ini dan menolak dakwaan jaksa penuntut umum," cetus dia.
Kasus Ahok saat ini tengah sampai di meja hijau. Pada sidang perdana, Ahok langsung membacakan eksepsinya. Ia mengatakan, tidak ada niatan untuk menista agama dan melukai perasaan umat Muslim. Sidang kedua akan berlanjut pekan depan dengan pembacaan dakwaan jaksa.
Peneliti Human Right Watch Indonesia (HRWI) Andreas Harsono mengatakan, pasal penistaan agama seharusnya ditanggalkan dari aturan perundangan di Indonesia. Menurut dia, pasal tersebut melanggar kebebasan berekspresi dan hak asasi manusia (HAM).
"Pasal ini telah dipakai untuk kepentingan politis, mengkriminalisasi kelompok agama minoritas dan agama tradisional. Misalnya pengusiran ribuan anggota Gafatar atau menyerang kelompok minoritas seperti Ahmadiyah," jelas dia.
Menurut catatan HRWI, pasal penistaan agama sedikitnya menjerat 8 orang pada era Orde Baru. Pada era reformasi, tepatnya pada periode 1998-2013, jumlah kasus dugaan penistaan agama meningkat drastis hingga mencapai sekitar 250 kasus.
"Sebanyak 130 kasus masuk ke pengadilan. Angkanya bahkan bisa lebih besar lagi, karena tidak semua kasus terverifikasi dengan pasti," ujar dia.
Menurut Andreas, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menyerukan penghapusan undang-undang penistaan agama secara universal. Namun di Indonesia hal itu sulit dilakukan. Pasalnya, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2009 menetapkan pasal penistaan agama tidak bertentangan dengan konstitusi.
"Para hakim (dalam sidang di MK pada 2009) mengatakan masyarakat Indonesia belum siap jika pasal itu ditiadakan. Terkecuali kalau memang ada perubahan kebijakan dari pemerintah yang berkuasa. Saya sendiri tidak tahu kapan kira-kira Indonesia siap?" ujarnya. (OL-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved