Headline

Hakim mestinya menjatuhkan vonis maksimal.

Fokus

Talenta penerjemah dan agen sastra sebagai promotor ke penerbit global masih sangat sedikit.

Mahfud MD Sebut Negara tak Perlu Tulis Sejarah yang Hapus Pelanggaran HAM dan Perkosaan Massal di Tragedi 1998

Cahya Mulyana
19/6/2025 16:13
Mahfud MD Sebut Negara tak Perlu Tulis Sejarah yang Hapus Pelanggaran HAM dan Perkosaan Massal di Tragedi 1998
Eks Menkopolhukam Mahfud MD.(Antara)

MANTAN Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menanggapi kontroversi rencana pemerintah menulis ulang sejarah dan pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyebut tidak ada bukti pemerkosaan massal terhadap warga Tionghoa dalam tragedi Mei 1998.

"Yang penulisan sejarah itu, kalau saya sejak awal menyatakan negara itu tidak perlu nulis sejarah. Sejarah yang ditulis oleh negara ya buku pelajaran aja," kata Mahfud dalam akun youtube Mahfud MD Official, dilansir di Jakarta, Kamis (19/6).

Peran Ilmuan?

Menurut Mahfud, sejarah mestinya ditulis oleh para ilmuwan, bukan oleh pemerintah, agar tidak mudah dimanipulasi sesuai kepentingan kekuasaan.

"Saya bilang, saya enggak setuju. Sejarah kalau ditulis oleh negara nanti berubah lagi, karena yang ditulis oleh negara sudah banyak, sejarah itu," ujarnya.

Contoh Keliru?

Dia mencontohkan buku sejarah versi Mohammad Yamin yang sempat dianggap sahih tetapi belakangan terbukti mengandung banyak kekeliruan. Mahfud menilai proyek penulisan sejarah oleh pemerintah berpotensi menimbulkan klaim sepihak dan menimbulkan kontroversi.

“Klaim baru, nanti akan diklaim lagi, itu salah. Dulu bukunya Yamin dipuji-puji, lalu katanya salah. Ini kan, ditulis lagi, ditulis lagi,” tegasnya.

Kesaksian Korban?

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini juga menanggapi pernyataan Fadli Zon bahwa tidak ada bukti dan rumor terkait peristiwa pemerkosaan massal dalam kerusuhan Mei 1998. Menurut Mahfud, hal itu bertentangan dengan kesaksian korban dan hasil investigasi resmi.

"Ya menurut saya saya tahun 1998 saya sudah jadi dosen. Jadi, logika saya mengatakan memang terjadi peristiwa pelanggaran HAM di tahun 1998 itu. Dan kemudian sebelum Komnas HAM menentukan itu kan ada TGPF. Di mana di situ ada  Hermawan Sulistyo atau Kiki. Itu dia bicara ada (pelanggaran) itu," jelas Mahfud.

Fakta Hukum?

Mahfud menambahkan bahwa ada kesaksian langsung dari korban kekerasan seksual yang tak bisa diabaikan. "Kalau itu ada, bahkan ada orang yang seorang tokoh yang terkenal sekali ketika dia trauma karena istri dan anaknya diperkosa di depan dia. Ya kan? Dia pergi ke Amerika Serikat, sudah pulang ke Indonesia, dia cerita. Kalau saya lihat dengan mata kembali karena anak dia dan istri dia," jelas dia.

Ia menegaskan bahwa pelanggaran HAM berat sudah ditetapkan sebagai fakta hukum oleh Komnas HAM berdasarkan mandat undang-undang. “Komnas HAM itu undang-undang-undang. Enggak bisa dihapus. Hapus dalam buku, besok akan ditulis orang lagi. Dalam sejarah yang berbeda. Sekarang malah menjadi kontroversi ini,” katanya.

Penyelesaian Nonyudisial?

Mahfud juga menyinggung bahwa penyelesaian nonyudisial terhadap pelanggaran HAM sudah mendapat pengakuan internasional. “Itu kemudian mendapat penghargaan dari BBB, kan. Dengan menyebut, menghargai, mengapresiasi langkah Presiden Joko Widodo dari Indonesia. Dan para korban mengapresiasi," kata dia.

Ia mengingatkan bahwa sejarah pelanggaran HAM tidak bisa dihapus begitu saja. “Sejarahnya tidak bisa dihapus. Tetapi mungkin pengadilannya bisa diperbaiki," tambahnya.

Abaikan Fakta?

Mahfud menilai pemerintah sebaiknya tidak menghapus atau mengabaikan fakta-fakta sejarah yang sudah dibuktikan secara hukum. Pakar hukum tata negara ini menyadari memang terdapat kesulitan untuk membuktikan pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu di hadapan pengadilan. Karena proses pembuktian yang harus kuat dan jelas. Namun, Mahfud menyarankan kejujuran dalam menghadapi kenyataan sejarah.

“Biarkan sejarawan menulis sendiri. Orang bisa analisis sendiri," kata Mahfud. (Cah)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Cahya Mulyana
Berita Lainnya