Headline

Perekonomian tumbuh 5,12% melampaui prediksi banyak kalangan.

Butuh Efektivitas Pengambilan Keputusan

14/11/2016 01:45
Butuh Efektivitas Pengambilan Keputusan
(MI/Susanto)

RUU Pemilu dari pemerintah masih mencantumkan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) sebesar 3,5%.

Hal itu dinilai sebagai langkah mundur bagi konsolidasi di DPR.

Padahal, pengambilan kebijakan secara efektif dibutuhkan. Penyederhanaan jumlah parpol harus dilakukan.

"Ini langkah mundur konsolidasi demokrasi karena ambang batas parlemen yang tidak naik. Pemerintah sekarang kehilangan momentum untuk itu," ujar Wakil Ketua Komisi II DPR dari F-PKB Lukman Edy seusai rapat paripurna yang mengesahkan persetujuan pembahasan RUU Pemilu di DPR, akhir bulan lalu.

Ia mengakui kenaikan ambang batas parlemen itu tak perlu terlalu tinggi.

Misalnya hingga 7%.

Namun, kenaikan itu tetap harus dilakukan secara bertahap untuk tiap pemilu.

Angka 3,% tidak berubah dari Pemilu 2014.

Padahal, dua pemilu legislatif sebelumnya selalu ada peningkatan.

"Kita ingin naiknya 5% saat ini. Jadi, bertahap peningkatannya. Ada konsolidasi dan penyederhanaan partai," jelas dia.

Lukman juga mengaku tak hendak menghalangi kehadiran parpol baru sebagai peserta pemilu.

Syarat membuat parpol pun tetap sama dan tidak dipersulit.

Namun, syarat keikutsertaan parpol untuk mengikuti pemilulah yang harus kembali diatur.

"Lewat kenaikan PT itu salah satunya."

Wakil Ketua F-NasDem DPR Johnny G Plate menambahkan, peningkatan PT demi penyederhanaan jumlah parpol di parlemen penting.

Pihaknya menyodorkan angka 7% untuk PT di Pileg 2019.

Ia pun mendorong penyegeraan pembahasan RUU Pemilu agar parpol bisa mempersiapkan diri mencapai PT itu.

"Semakin banyak fraksi di DPR makin susah DPR membuat keputusan," aku dia.

Akan tetapi, Ketua F-PPP DPR Reni Marlinawati menilai tepat pilihan PT 3,5% yang disodorkan pemerintah di RUU Pemilu.

Angka itu bisa membuat iklim demokrasi di Indonesia berjalan baik.

Tak perlu ada hambatan terlalu hebat bagi parpol sebagai penyalur aspirasi masyarakat untuk masuk parlemen, termasuk bagi parpol baru.

"Kami harap PT masih tetap di 3,5%. Kalaupun dalam pembahasannya ada kenaikan, kita harap itu bertahap. Empat persen dulu misalnya," aku Reni yang juga anggota Pansus RUU Pemilu itu.

Belum disiapkan

Anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Nasir Djamil mengatakan upaya penyederhanaan parpol sudah lama bergulir.

Praktik di lapangan, katanya, belum disiapkan dengan baik.

"Masyarakat juga mudah diiming-imingi. Jadi, memang di satu sisi kita mau melakukan penyederhanaan parpol, tapi di lapangan kita tidak menyiapkan semua itu menjadi lebih baik," kata Nasir.

Menurut Nasir, jika semua proses pemilu berlangsung dengan adil dan transparan, ambang batas yang tinggi pun tidak masalah.

Ambang batas tinggi bisa memacu parpol agar lebih baik.

"Ya, itu juga pemecut bagi partai politik," ia menambahkan.

Mengenai besaran angka yang ideal, PKS dikatakannya masih belum memfinalkannya.

Mereka masih ingin melihat bagaimana reaksi publik dan parpol.

"Belum ada yang pasti. Belum ada yang final angka 7, angka 5. Belum ada yang final. Kalau urusan ini, biasanya di ujung. Kalau sekarang, masih pemanasan."

Sementara itu, mengenai ambang batas pencalonan presiden, dia sepakat jika parpol yang belum mempunyai kursi di DPR saat Pemilu 2014 tidak bisa mencalonkan presiden.

Itu ialah konsekuensi demokrasi perwakilan.

"Demokrasi perwakilan kan seperti itu. Legitimasi parpol kan saat pemilu. Kalau dia dipilih, dia legitimate. Kalau dia enggak legitimate, bagaimana dia usulkan presiden?"

Selain melalui ambang batas, kata pengamat politik Gun Gun Heryanto, sesungguhnya ada solusi lain untuk penyederhanaan parpol ini, yakni melalui konfederasi dan fusi.

Konfederasi memiliki kelebihan dalam hal daya ikatnya yang permanen tanpa harus meleburkan identitas partai-partai yang berkonfederasi.

Partai-partai bisa membuat kesepahaman sekaligus membuat konsensus nyata, melembaga, dan dideklarasikan menjelang pemilu. Inilah wujud koalisi permanen, terlebih jika diakomodasi terlebih dahulu dalam revisi UU Pemilu Legislatif.

Kelemahannya konfederasi tak mudah dipraktikkan dalam konfigurasi politik di Indonesia.

Menurut Gun, sulit sekali menyatukan partai-partai berbeda karena alasan kesamaan platform atau ideologi partai sehingga sangat mungkin konfederasi menjadi taktik bermain, sekadar menjadi pembuka akses untuk duduk di parlemen tanpa peduli arti penting pelembagaan politik itu sendiri.

"Pada akhirnya, upaya penyederhanaan parpol bergantung pada keberanian pemimpin parpol," tandasnya. (Kim/Pol/Gol/P-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya