Pakar Hukum Tata Negara Prof. Saldi Isra(MI/M IRFAN)
PAKAR Hukum Tata Negara Prof Saldi Irsa mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan DPD RI berhak membahas dan menyetujui UU Bersama DPR RI dan pemerintah (model tripartrit) akan meningkatkan kualitas legislasi. Ia juga mengatakan putusan MK akan mengubah paradigma DPR dalam membuat, mengubah, atau merevisi UU.
"Model tripartit dalam membahas UU DPR-DPD dan pemerintah akan mempercepat proses legislasi di DPR RI," kata Saldi Isra, Kamis (24/9).
Pasalnya, akan lebih banyak masukan aspirasi dengan hadirnya DPD. Namun, masuknya DPD dalam proses pembuatan undang-undang perlu dipersiapkan terlebih dahulu sehingga menambah kualitas legislasi, bukan justru terjebak dalam kegaduhan politik dalam legislasi.
Saldi menyarankan anggota DPD RI 2014-2019 sebelum bekerja diberi pembekalan berkaitan dengan kewenangan DPD pascaputusan MK.
Merujuk amar putusan MK, kata Saldi, konsekuensinya ialah proses legislasi model tripartit, yakni DPR, DPD, dan Presiden, yang setara sejak awal hingga akhir tahapan Pembicaraan Tingkat I.
Merujuk amar putusan MK, proses legislasi model tripartit, dilakukan pada tahapan pengantar musyarawarah, pembahasan daftar inventarisasi masalah, dan pendapat mini fraksi.
Artinya, MK memutuskan DPD berhak dan/atau berwenang mengusulkan RUU tertentu dan membahasnya sejak awal hingga akhir tahapan Pembicaraan Tingkat I.
Pada Pembicaraan Tingkat II, DPD menyampaikan pendapatnya sebelum persetujuan atau pengesahan RUU menjadi UU antara DPR dan Presiden dalam rapat paripurna DPR.
Jadi, DPD tidak terlibat pengesahan RUU menjadi undang-undang (UU).
Kegaduhan Politikus dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Arteria Dahlan, penguatan terhadap fungsi legislasi DPD secara kasatmata semakin memperkuat fungsi check and balances pada tubuh parlemen. Namun, pada tatanan implementatif kalau tidak disikapi dengan bijak, itu akan menjadi polemik dan kegaduhan politik.
Ia menjelaskan, dengan hanya melibatkan DPR pembahasan RUU dan anggaran dengan pemerintah cukup alot. Padahal, pisau analisisnya hanya terkait seberapa efektifnya program pemerintah, target sasaran yang berorientasi ke output.
"Kebayang tidak kalau itu saja sangat alot, sekarang ditambah lagi dengan orientasi kewilayahan, karena anggaran terbatas dan dalam banyak hal program tidak dapat diturunkan ke 34 provinsi/daerah asal setiap anggota DPD. Pemerintah dan DPR bersama DPD harus segera menindaklanjuti putusan MK tidak sebatas pada rumusan norma dalam UU MD3," tegasnya.
Lebih lanjut, kata dia, masalahnya bukan pada pembahasan RUU dan kemandirian anggaran, tetapi pada politik anggaran di daerah juga harus disikapi secara arif dan bijaksana.
"Sekarang saja akan ada repotnya di daerah menghadapi situasi persiapan penyusunan RAPBN nanti," pungkasnya. (Nov/P-4)