Headline

Pengibaran bendera One Piece sebagai bagian dari kreativitas.

Fokus

Isu parkir berkaitan dengan lalu lintas dan ketertiban kota.

Ilmiah tapi Manipulatif

(Erandhi Saputra/P-4)
07/11/2016 01:15
Ilmiah tapi Manipulatif
(MI/PANCA SYURKANI)

BANYAK jalan menuju Roma. Banyak cara pula menjatuhkan lawan politik dan memenangkan calon yang dibela. Atas nama demokrasi dalam pemilu dan pilkada, berbagai upaya kini dilakukan untuk menggiring opini publik, salah satunya melalui lembaga survei. Berbagai hasil survei banyak bermunculan di tengah proses Pilkada Serentak 2017, khususnya di pilkada DKI Jakarta. Lembaga-lembaga survei berlomba-lomba menunjukkan hasil elektabilitas masing-masing calon waktu demi waktu menjelang hari pencoblosan pada 15 Februari mendatang.

Tak jarang hasil survei antara satu lembaga survei dan lembaga survei lain memiliki perbedaan yang cukup tajam. Sebut saja hasil survei Populi Center yang menempatkan pasangan petahana Ahok-Djarot di posisi pertama dengan 45,5%, lalu Anies-Sandiaga 23,5%, dan Agus-Sylviana 15,8%. Sementara itu, survei SMRC juga hampir serupa, elektabilitas pasangan Ahok-Djarot mencapai 45,4%. Agus-Sylviana Murni 22,4% dan Anies-Sandiaga 20,7%. Di sisi lain, berdasarkan hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI), pasangan petahana Ahok-Djarot hanya memperoleh 31,4%, sedangkan Anies-Sandiaga 21,1% dan Agus-Sylvi 19,3%.

Sementara itu, Kedai KOPI yang baru-baru ini dilaporkan ke Bareskrim Polri karena dituding memanipulasi data dalam survei menempatkan petahana Ahok-Djarot hanya memiliki tingkat elektabilitas sebesar 27,5%, Anies-Sandiaga 23,9%, dan Agus-Sylvi 21%. Terlebih, Kedai KOPI tidak terdaftar sebagai lembaga survei KPUD DKI Jakarta. Perbedaan hasil survei yang sangat tajam itu seakan-akan mencerminkan suara rakyat gamang dan mudah diutak-atik. Dugaan lembaga survei telah berubah sebagai konsultan politik mengemuka dan menggiring opini untuk mengubah persepsi masyarakat.

Bahkan, kuatnya hubungan politik antara calon dan lembaga survei membuat hasil penghitungan cepat tidak sesuai dengan kenyataan. Tengok saja Pilpres 2014 ketika mayoritas lembaga survei memenangkan pasangan Jokowi-JK, tapi dua lembaga survei lain, Jaringan Suara Indonesia (JSI) dan Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis), justru memenangkan Prabowo-Hatta.

Hasil hitung cepat dilakukan secara serampangan. Tidak berlebihan jika survei tersebut dikatakan abal-abal, terlihat asli tapi palsu, ada manipulasi untuk memenangkan calon tertentu. Hal itu membuat keduanya dikeluarkan dari keanggotaan Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi). Kini, di pilkada DKI Jakarta, lembaga-lembaga survei wajib menghindari survei secara abal-abal. Lembaga survei harus menunjukkan kredibilitas sebagai lembaga yang independen, tidak berpihak kepada siapa pun.

Hasil survei seakan dijadikan sebagai alat kampanye kandidat untuk memengaruhi pilihan publik. Pakar ilmu politik menyebutkan ada dua kategori pengaruh survei, yakni locomotive effect atau bandwagon effect dan underdog efect. Dalam locomotive effect atau bandwagon effect, publik cenderung memilih kandidat yang potensial. Itu artinya publik akan memilih kandidat yang memiliki tingkat elektabilitas paling tinggi. Dalam underdog effect, publik memilih karena rasa iba.

Dalam hal ini, publik akan memilih kandidat yang memiliki elektabilitas paling rendah. Kita tidak ingin ruang publik dipenuhi hasil survei yang telah ditunggangi berbagai kepentingan politik, menghilangkan substansi adu ide atau gagasan. Lembaga survei sejatinya hanya berbicara berdasarkan fakta, bukan memanipulasi data.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya