POTENSI kecurangan paling rawan dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak di tingkat kecamatan yang diutarakan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo diamini Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Anggota Bawaslu Nasrullah menyatakan penarikan proses rekapitulasi suara yang sebelumnya dilakukan di tingkat kelurahan/desa ke tingkat kecamatan menjadi salah satu indikatornya. Pada tahap tersebut, petugas di kecamatan bisa mengubah jumlah suara calon dengan menambahkan suara bagi calon yang ia dukung dan mengurangi suara calon lain.
"Karena hanya memindah-mindahkan perolehan suara, jumlah total suara tetap sesuai dengan daftar pemilih. Modus kecurangan seperti ini yang sulit dideteksi," ujarnya di Jakarta, kemarin.
Parahnya, sambung Nasrullah, jika ada seorang camat yang menjadi pendukung calon tertentu. Dengan mudah ia akan mengorganisasi aparat di bawahnya untuk memindah-mindahkan perolehan suara.
"Jika ada camat ikut bermain, dia bisa memobilisasi PNS untuk memilih salah satu calon. Caranya dengan mengintimidasi PNS pakai ancaman mutasi. Cara lainnya, program atau kegiatan yang dimiliki pemda juga didesain atas nama kandidat tertentu," terangnya.
Tak hanya di tingkat kecamatan, di tingkat akar rumput, para lurah dan kepala desa yang mempunyai peran memilih petugas panitia pemungutan suara (PPS) juga rawan menyalahgunakan wewenang mereka. Mereka akan mencari anggota PPS yang bisa diarahkan untuk memenangkan calon tertentu.
"Karena itu, saran kami ke KPU agar petugas PPS yang direkrut ialah benar-benar orang baru sehingga relatif bisa dijamin independensinya," tegasnya.
Sebelumnya, Mendagri Tjahjo Kumolo menyatakan tempat paling rawan praktik kecurangan dalam pilkada ialah di tingkat kecamatan.
"Saya cukup pengalaman enam kali pemilu, perputaran suara kuncinya di kecamatan," kata Tjahjo seusai memimpin apel camat seluruh Indonesia dalam persiapan pilkada di Batam, Jumat (18/9) lalu.
Tiga modus Saat dihubungi di kesempatan berbeda, Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz memaparkan modus kecurangan di tingkat kecamatan dilakukan dalam tiga cara.
Pertama, tiba-tiba muncul kotak dan surat suara tambahan yang sudah dilengkapi dengan hasil suaranya.
"Padahal, kotak dan surat suara ini tidak ada saat di TPS," sebutnya.
Kedua, keberadaan TPS fiktif. Ketiga, pengurangan suara. Meskipun tidak semudah menggelembungkan suara, petugas di kecamatan bisa mengurangi jumlah suara calon tertentu. Jumlah pengurangan tidak bisa banyak-banyak, biasanya di kisaran 1-3 suara per TPS.
"Potensi mobilisasi lebih mudah dilakukan kepada petugas rekapitulasi di kecamatan lewat politik uang atau intimidasi," tandasnya. (P-1)