Headline
Pemilu 1977 dan 1999 digelar di luar aturan 5 tahunan.
Bank Dunia dan IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini di angka 4,7%.
MARAKNYA isu bernuansa suku, agama, ras, dan antargolong (SARA) menjelang pilkada serentak 2017 mencerminkan partai politik telah kehilangan orientasi dalam mengangkat isu-isu soal kepentingan publik.
"Seharusnya, dengan berjalannya waktu, isu SARA mestinya semakin meredup. Namun, yang kita hadapi saat ini justru sebaliknya. Kenapa? Karena hampir semua parpol telah kehilangan sensitivitas terhadap persoalan publik," kata sosiolog politik dari Universitas Gadjah Mada Arie Sudjito saat dihubungi Media Indonesia, kemarin.
Para kandidat yang berkontestasi dalam pesta demokrasi memang dibenarkan untuk saling mengkritik dan menyerang. Namun, upaya untuk meraih simpati pemilih tidak dengan mengedepankan informasi yang berbau SARA. Pilkada harus menjadi ajang pertarungan ide, visi, misi, dan program kerja.
Sebagai contoh, di pilkada DKI Jakarta terdapat tiga pasangan bakal calon kepala daerah, yakni petahana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat, Anies Baswedan-Sandiaga Uno, dan Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni. Mereka seharusnya mencari kelemahan lawan dari sisi isu-isu publik, bukan isu SARA.
Menurutnya, cara sehat menggeser isu SARA ialah dengan memanfaatkan persoalan publik seperti menyi-kapi pembangunan, ekologi, kemiskinan, ketimpangan hukum, reformasi birokrasi, pelayanan publik, rekam jejak kandidat, dan ketidakadilan yang menimpa masyarakat. "Yang paling penting sebetulnya faktor pemilih. Dalam hal ini masyarakat jangan sampai terjebak pada benturan yang sifatnya SARA, mencegah money politics, manipulasi, dan black campaign," ujar Arie.
Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz menilai perhelat-an pesta demokrasi lebih elok bila kedepankan adu gagasan dengan konsep perbaikan serta kemajuan daerah.
"Alangkah indahnya jika perdebatan yang muncul jelang pilkada berisi program kebijakan setiap pasangan calon," paparnya.
Masykurudin mengingatkan UU Nomor 10/2016 tentang Pilkada merupakan dasar hukum yang harus dipatuhi. Siapa pun yang melanggar bakal dijerat hukuman pidana penjara dan denda. "Kata kunci dari praktik penggunaan SARA ialah 'penghinaan' yang dilakukan lisan ataupun tertulis untuk menistakan calon tertentu. Bila penistaan itu dinilai memengaruhi nama baik dan keterpilihan, calon yang merasa dirugikan bisa langsung melaporkan," jelasnya.
Merawat perbedaan
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) berharap isu SARA yang menerpa pada pilkada DKI Jakarta tidak perlu diperpanjang karena Ahok sudah menyampaikan permintaan maaf dan penyesalan di depan publik.
"Semua pihak diharapkan sama-sama merawat dan menghormati kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama." Demikian salah satu harapan Komnas HAM yang disampaikan melalui press release yang diterima di Jakarta, kemarin.
Dalam pandangan Komnas HAM, perbedaan agama tidak boleh menurunkan kualitas penikmatan hak asasi manusia warga negara. Pemidanaan yang didasarkan pasal penodaan agama bukan tindakan bijak karena berpotensi melanggar HAM. "Pilkada sebaiknya dijadikan sebagai proses yang mempersatukan perbedaan-perbedaan dalam panggung kontestasi politik yang sehat."Selain itu, masyarakat harus diberi kesempatan untuk berpartisipasi aktif dalam proses pilkada untuk memilih pemimpin yang terbaik (primus interpares). "Dalam perspektif HAM, pemimpin itu antara lain harus nondiskriminatif, transparan, dan akuntabel." (Kim/P-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved