Headline

Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.

Fokus

Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.

Kunci pencalonan Ada di Parpol

Arif Hulwan
10/9/2016 07:54
Kunci pencalonan Ada di Parpol
(MI/M Irfan)

PENGECUALIAN bagi terpidana hukuman percobaan untuk mencalonkan diri dalam pilkada terbentur oleh aturan perundangan dan rawan memicu gugatan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Hal itu terungkap dari pemaparan dua ahli yang didatangkan dalam rapat konsultasi Komisi II DPR dengan KPU, Bawaslu, dan Kemendagri, yakni pengajar ilmu hukum pidana Universitas Islam Indonesia Mudzakkir dan mantan hakim konstitusi MK Ahmad Syarifuddin Natabaya, di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.

“Kalau ingin seleksi pimpinan, kan, lewat mekanisme moral dan etika di parpol saja. Mantan terpidana tidak boleh masuk ke sini, misalnya. Selesai ini urusan. Tekanannya jangan di UU, tapi di lembaga politiknya,” saran Mudzakkir.

Menurut dia, keputusan membolehkan terpidana hukuman percobaan di Pasal 4 huruf (f) Peraturan KPU No 5 Tahun 2016 tentang Pencalon­an Kepala Daerah terbentur pada bunyi Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada. Frasa ‘tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap’ di pasal itu sudah memukul rata semua jenis tindak pidana.

Sementara itu, dua putusan uji materi di MK pada 2007 dan 2008 sudah mengecualikan pelarangan bagi terpidana kealpaan ringan (culpa levis) dan tindak pidana karena alasan ideologi politik untuk menduduki jabatan publik.

Menurut penjelasan sebagian anggota Komisi II DPR, maksud pasal itu ialah pelarangan bagi mereka yang sedang menjalani hukuman pidana. Namun, Mudzakkir melihat teks pasal tidak mengatakan seperti itu. Ia menyesalkan pembuat UU Pilkada yang tidak menangkap konteks hak terpidana secara historis.

Natabaya menambahkan, masalah itu menjadi diskresi hakim untuk memutus hukuman percobaan. Namun, umumnya, hukuman itu diberikan kepada pelaku tindak pidana ringan. Jika meng­ulangi perbuatan, hukuman utama, seperti kurungan, dikenakan.

Komisioner KPU Ida Budhiati mengatakan PKPU dibuat dengan mengacu kepada UU, yakni UU No 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. “KPU berpijak pada norma sesuai amanah UU,” tukasnya.

Ia menegaskan bahwa hukuman percobaan merupakan hukuman tambahan yang diberikan majelis hakim, tapi tetap tidak menghapus statusnya sebagai terpidana. “Pengertian hukuman percobaan ialah divonis, tapi tidak menjalani hukuman penjara. Hukuman percobaan termasuk pidana bersyarat,” jelasnya.

PKPU molor
KPU khawatir penyelesaian peraturan KPU (PKPU) tidak bisa tepat waktu. Pasalnya, masih tersisa enam PKPU yang belum disepakati antara DPR, pemerintah, dan KPU dalam rapat konsultasi. Berdasarkan PKPU Nomor 7/2016 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Pilkada, semua PKPU harus rampung pada 15 September mendatang.

“Masih ada enam (PKPU) lagi. Itu gimana mau selesai? Itu di tahapan kan PKPU harus selesai 15 September, tinggal beberapa hari lagi, jadi gimana?” cetus komisioner KPU Hadar Nafis Gumay.

Ia memperkirakan akan ada PKPU yang disahkan tidak melalui rapat konsultasi lantaran waktu yang tersisa relatif singkat.

Jika penyusunan dan pengesahan PKPU tidak selesai tepat waktu, imbuhnya, KPU yang akan disalahkan lantaran dituduh melanggar ketentauan mengenai tahapan pilkada. “Kalau 15 September tidak selesai, kami bisa dituduh melanggar secara administrasi,” ujarnya. (Nur/P-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya