KORUPSI dalam proyek pembangunan 21 gardu induk (GI) PT PLN senilai Rp1,063 triliun di Jawa, Bali, dan NTB, dapat berjalan mulus diduga lantaran adanya campur tangan dari pihak internal.
Modus kejahatan pihak internal diduga dilakukan dengan memalsukan tanda tangan berita acara (BA) Pemeriksaan Pekerjaan dan Laporan Kemajuan Pekerjaan (PPLKP). Draf PPLKP itu kemudian diserahkan kepada pejabat pembuat komitmen (PPK) agar mendapat persetujuan pencairan dana.
"Seharusnya PPK tidak semudah itu menerima laporan pekerjaan (PPLKP). Perlu ditelusuri dengan melakukan pengawasan dan mengecek kebenaran fisik proyek. Tapi, itu tidak dilakukan," kata Kasie Humas dan Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Waluyo kepada Media Indonesia, kemarin.
Fakta itu didapat dari hasil penyidikan proyek GI Jatiluhur Baru dan GI Jatirangon II, yang diperkirakan menyebabkan kerugian negara hingga Rp36 miliar. Alhasil, jaksa pun menetapkan status tersangka terhadap 14 orang yang berasal dari internal PLN dan pihak rekanan.
Ditelusuri Pengamat kelistrikan Fabby Tumiwa mendorong agar kasus dugaan korupsi pada proyek gardu induk itu ditindaklanjuti dengan pemeriksaan. "Perlu ditelusuri tanggung jawab setiap pihak," tegas Fabby ketika dihubungi, Jakarta, kemarin.
Ia mengatakan pencairan dana seharusnya baru direalisasikan setelah proyek berjalan atau tuntas. "Bila proyek batal dieksekusi, anggaran dikembalikan, kecuali ada persengkongkolan atau proyek sebenarnya tidak ada, namun dibuat ada," ungkapnya.
Menurutnya, ada tim yang bertanggung jawab untuk setiap pengerjaan proyek. Adapun, Kementerian ESDM sebagai regulator seharusnya memastikan ataupun mengawasi proyek agar sesuai dengan perencanaan.
Saat menanggapi hal itu, Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Jarman menyatakan pihaknya menyerahkan kasus itu kepada aspek hukum. "Kita serahkan ke penegak hukum," kata dia, kemarin.
Ia menjelaskan, pengerjaan proyek dilaksanakan di satuan kerja PT PLN sesuai wewenang. Kementerian ESDM sebagai regulator mengawasi sesuai prosedur dan ketentuan rentang waktu.
Megaproyek milik Kementerian ESDM ini dikerjakan sejak Desember 2011 dan sejatinya wajib rampung Juni 2013.
Namun, terjadi kendala di lapangan, termasuk pembebasan tanah, pematangan lahan, dan ketiadaan persiapan material dari rekanan. Ironisnya, penyelenggara kegiatan malah mencairkan anggaran, bukan meminta pertanggungjawaban. (Bow/X-7)