Headline
Karhutla berulang terjadi di area konsesi yang sama.
Karhutla berulang terjadi di area konsesi yang sama.
Angka penduduk miskin Maret 2025 adalah yang terendah sepanjang sejarah.
PIHAK Rumah Sakit (RS) Sumber Waras tak ingin terjadi pembelokan fakta terkait dengan pembelian lahan seluas 3,64 hektare oleh Pemprov DKI Jakarta. Direktur Umum RS Sumber Waras, Abraham Teja Negara, menegaskan tidak ada kerugian negara dalam proses jual-beli tersebut.
Menurutnya, lahan dibeli sesuai dengan nilai jual objek pajak (NJOP) tanah pada 2014, yakni Rp20,7 juta per meter persegi. "Jika mengacu pada harga pasar, nilainya lebih tinggi," ujarnya di ruang pertemuan RS Sumber Waras, Jalan Kyai Tapa 1, Grogol Petamburan, Jakarta, Sabtu (16/4).
Polemik terjadi karena Badan Pemeriksa Keuangan mengacu pada harga pembelian PT Ciputra Karya Utama (CKU) kepada Yayasan Kesehatan Sumber Waras (YKSW). Pada 2013, lahan yang sama dihargai Rp564,3 miliar atau Rp15,5 juta per meter persegi. Namun, PT CKU membatalkan pembelian lahan karena tak bisa diubah untuk kepentingan komersial.
Abraham menyatakan pihak RS Sumber Waras dan Pemprov DKI berpatokan pada PBB 2014, yakni Rp20,7 juta per meter persegi. "Intinya, proses pembelian lahan RS Sumber Waras sesuai dengan ketentuan yang berlaku," cetusnya.
Soal pembayaran lahan, Abraham menjelaskan transaksi pembayaran dilakukan secara transfer melalui Bank DKI. Pembayarannya dalam bentuk transfer, bukan tunai seperti yang dituduhkan BPK.
"Seiring berjalannya waktu, kita tanda tangani perjanjiannya dan pada 17 Desember 2014 penandatanganan akta pelepasan hak dari RS Sumber Waras ke Pemprov DKI Jakarta," lanjut dia.
Menurut Abraham, lahan tersebut dibeli untuk kepentingan pelayanan kesehatan masyarakat, yakni membangun rumah sakit kanker, mengingat Pemprov DKI memerlukan rumah sakit untuk pelayanan kesehatan. Selain lahan, pemprov sebenarnya untung karena mendapatkan bangunan.
"Dalam penawaran kami, sebetulnya ada tanah sesuai harga NJOP Rp755 miliar ditambah bangunan seharga Rp25 miliar. Setelah dinegosiasi, Rp25 miliar itu kami hilangkan. Jadi, saya merasa negara justru sudah diuntungkan dengan hilangnya biaya bangunan tersebut," lanjutnya.
Dua sertifikat
Lebih jauh ia mengatakan lahan RS Sumber Waras terpecah dalam dua sertifikat, yakni 3,64 hektare atas nama Yayasan Kesehatan Sumber Waras yang diterbitkan pada 27 Mei 1978 dan 3,23 hektare atas nama Se Ming Wei (Chandra Nata).
Namun, lahan seluas 6,87 hektare itu hanya memiliki satu surat pemberitahuan pajak terutang pajak bumi dan bangunan (SPPT PBB), yakni lahan yang berada di Jalan Kyai Tapa, Grogol Pertamburan, Jakarta Barat.
"Kalau soal dua sertifikat satu PBB, yang mengatur ialah pemerintah. Sudah berjalan dari tahun 1970-an. Tidak pernah berubah. Saya dapat dari negara. Jadi jangan tanyakan ke saya, coba tanya ke pemprov karena itu bukan ranah saya," katanya.
Di tempat terpisah, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Harry Azhar Aziz mempertanyakan penggunaan cek tunai senilai Rp755 miliar serta waktu pembayaran yang dilakukan pada 31 Desember 2014.
"Pukul 19.00 WIB bank sudah tutup. Ada bukti transfer ada bukti cek tunai. Ada detiknya 49 sekian detik. Tidak mungkin bank buka. Sekalian itu bayarnya pakai cek. Ini kertas dibawa ke mana-mana. Kenapa enggak ditransfer saja," tanya dia. (Deo/P-5)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved