Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
PENGUSUL revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) diminta membuat kajian akademis. Usulan perubahan UU harus memiliki alasan kuat agar bisa ditindaklanjuti.
“Kajian tersebut bisa dijadikan sebagai referensi jika memang rencana revisi itu dikerjakan,” kata Pelaksana harian (Plh) Ketua Fraksi PAN DPR Saleh Partaonan Daulay, kemarin.
Anggota Komisi IX DPR itu mengungkapkan semua aspek akan menjadi pertimbangan dalam pengajuan. Salah satunya, penerapan Pasal 28A dan 45A UU ITE terkait dengan ujaran kebencian yang disebut aturan karet.
Menurut Saleh, revisi sebuah aturan harus berorientasi kepada kepentingan seluruh pihak. Tidak boleh menguntungkan satu pihak tertentu. Apalagi, jika pasal dimanfaatkan penguasa untuk menekan kebebasan berpendapat.
Usulan revisi UU ITE disuarakan anggota DPR Fraksi Gerindra Habiburokhman. Dia ingin unsur antargolongan Pasal 28 ayat (2) UU ITE diperjelas agar penegakan hukum tidak dituding bermuatan politik.
Pasal 28 ayat (2) UU ITE berbunyi, ‘Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)’.
Anggota Komisi III DPR Arsul Sani pun menilai rumusan Pasal 27 dan 28 UU ITE dinilai terlalu luas. Tak mengherankan, aturan menuai kontroversi karena cenderung dijadikan pasal karet. “Kalau saya melihat tidak ada pagarnya (terlalu luas),” jelas Arsul Sani.
Pemaknaan pelanggaran aturan pun dianggap terlalu bebas sehingga penegak hukum diberikan kewenangan menafsirkan kejadian atau konten yang dilaporkan.
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menyebut luasnya cakupan Pasal 27 dan 28 UU ITE dipertegas dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-X/2017 pada 2018. Ketentuan antargolongan tidak lagi hanya sebatas suku, agama, dan ras.
“Melainkan meliputi lebih dari itu, yaitu semua entitas yang tidak terwakili atau terwadahi oleh istilah suku, agama, dan ras,” kata Abdul. (Medcom.id/Dhk/Cah/P-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved