Headline

Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.

Fokus

Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.

Perlu Payung Hukum Khusus Hadapi Kekerasan Seksual

Wan/P-5
27/8/2020 06:19
Perlu Payung Hukum Khusus Hadapi Kekerasan Seksual
Ilustrasi(Medcom.id)

RANCANGAN Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang diusulkan pemerintah sejak 2016 resmi dihapuskan dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020. Keputusan itu disesalkan ahli hukum dan gender Lidwina Inge.

Ia menilai sudah waktunya kekerasan seksual dibuat RUU tersendiri karena di zaman sekarang modus pelecehan dan kekerasan seksual sudah berkembang. Ia juga melihat, jika masalah ini hanya mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tentu akan menjadi bagian kecil dengan pembahasan yang terbatas.

“Kekerasan seksual begitu luasnya sehingga kalau dimasukkan ke KUHP, akan menjadi bagian kecil dan terbatas, apalagi kalau masuk pada susila yang indah yang berkaitan dengan patut atau tidak. Ini jelas-jelas tidak patut, keras pula, kasar pula,” kata Inge dalam program Hot Room bertajuk Kekerasan Seksual Harus Disoal yang dipandu pengacara kondang Hotman Paris di Metro TV, Selasa (25/8).

Berbagai alasan dikemukakan DPR terkait dengan pengeluaran RUU PKS dari prolegnas, dari kerumitan pembahasan hingga menunggu pengesahan RUU KUHP. Di satu sisi, angka kekerasan seksual di Indonesia masih begitu memprihatinkan. Menurut Wakil Ketua Komnas Perempuan Mariana Amiruddin, kerumitan itu yang menjadikan pentingnya pembuatan RUU khusus.

“Benar, dimasukkan ke KUHP terlalu tipis, seperti tindak perdagangan orang, itu dibikin khusus karena punya kerumitannya sendiri sehingga perlu produk hukum yang bisa mencakup semua hal-hal yang rumit dan definisi yang perlu panjang lebar,” katanya.

Marina mengungkapkan pengesahan RUU PKS sangat mendesak karena modus pelecehan sudah bervariasi dan tidak tercakup dalam KUHP. Mariana mencontohkan kasus pelecehan melalui penyebaran video pribadi. Kepolisian mengalami kesulitan karena tidak ada undang- undang yang mengaturnya, selain UU ITE. “Sedangkan UU ITE tidak bisa mengidentifikasi pelecehan seksual berbasis gender atau bukan,” ujarnya.

Desakan senada juga dilontarkan seksolog klinis, Zoya Amirin. Kehadiran RUU PKS memberikan payung hukum untuk menghapus kekerasan seksual yang memberikan kesempatan bagi korban untuk bisa berbicara atas peristiwa yang terjadi kepadanya.

“Memang harus ada payung hukum yang jelas. Jadi, sahkan RUU PKS sehingga tak mandul di tengah jalan ketika membantu korban dan tak mempersulit korban,” kata Zoya. (Wan/P-5)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Kardashian
Berita Lainnya