Headline

Sedikitnya 30% penggilingan gabah di Jawa Tengah menutup operasional.

Menjadi Anak Tiri dalam Legislasi

14/3/2016 03:20
Menjadi Anak Tiri dalam Legislasi
(Ilustrasi)

EKSISTENSI Dewan Perwakilan Daerah (DPD) saat ini lebih terkesan sebagai anak tiri reformasi.

Sebagai bagian dari parlemen yang lahir dari rahim reformasi, DPD punya posisi yang tidak sejajar dengan saudaranya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Dalam sistem ketatanegaraan dan sistem politik di Indonesia, DPD dinilai tidak memiliki peran dan fungsi yang maksimal.

Tidak mengherankan ada sebagian pihak yang beranggapan DPD sebaiknya dibubarkan.

Apalagi, belum ada kemauan politik dari DPR dan pemerintah sebagai pembuat UU untuk melibat DPD secara maksimal sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92 Tahun 2012 dan 79 Tahun 2014.

Seolah merasa frustrasi akan kewenangan DPD yang tidak dianggap DPR, Wakil Ketua DPD Farouk Muhammad pun sampai beranggapan bahwa untuk mempertegas peran DPD di bidang legislasi, diperlukan perubahan atau amendemen pada Pasal 22 D di UUD 1945.

"Teman-teman di tingkat DPD khawatir apakah mekanisme pembahasan legislasi bisa dilakukan secara tripartit antara MPR, DPR, dan DPD. Sepertinya itu suatu hal yang belum bisa diterima DPR karena dominannya fraksi. Amendemen merupakan jalan yang terbaik," jelas Farouk dalam Diskusi Kelompok Terfokus yang diadakan Media Research Centre dengan tema DPD kuat, Indonesia mantap : Menyemai substansi tanpa sensasi di Jakarta, pekan lalu.

Namun, tidak bisa dimungkiri juga bahwa amendemen UUD 1945 dapat menggelindingkan bola liar bagi nasib keberadaan DPD.

Menurut pakar hukum tata negara, Saldi Isra, amendemen bisa berisiko menghilangkan DPD secara keseluruhan.

"Mengubah konstitusi sangat berisiko untuk DPD. Karena bukan tidak mungkin DPD justru yang akan dihilangkan," kata dia.

Saldi menilai letak permasalahan kali ini ada di pemerintah yang tidak bisa bertindak tegas kepada DPR.

Ketegasan pemerintah sangat diperlukan agar DPR mau melaksanakan putusan MK.

Sementara itu, pakar hukum tata negara, Refly Harun, menilai DPD harus mengupayakan fungsi legislasi pada tingkatan persetujuan.

Kewenangan DPD yang hanya mengusulkan serta melakukan pembahasan tanpa adanya kewenangan untuk menyetujui membuat DPD tidak kuat.

Tanpa fungsi persetujuan itu, peran DPD kerap terabaikan oleh DPR.

"Kalau sebuah lembaga legislasi tidak memiliki kekuatan untuk 'ketuk palu' alias hanya mengusulkan, tidak ada bedanya dengan para pengamat," tutur Refly.

Refly melanjutkan, agar posisi DPD semakin jelas, harus ada pembeda antara DPR dan DPD.

Jangan sampai DPD hanya menjadi lembaga pembanding atau pelengkap bagi DPR.

Pembeda sangat bergantung pada proses rekrutmen para anggota DPD.

Sistem perekrutan anggota DPD harus berbeda dengan sistem perekrutan anggota DPR.

Ketika DPD diposisikan sebagai lembaga yang representasinya berbeda dengan DPR, posisi DPD otomatis akan semakin kuat.

"Kondisi hari ini kan sama saja. Anggota DPD juga berasal dari parpol sehingga kelompok minoritas aspirasinya tidak terwakili secara formal karena ruang representasinya tidak masuk di DPR. Mestinya kelompok minoritas ini bisa masuk ke DPD," terangnya.

Peneliti Forum Masyarakat Parlemen Indonesia (Formappi) Jadiono mengungkapkan jika nanti DPD benar-benar diberi kewenangan setara DPR agar peran DPD lebih terlihat, mereka harus bisa bekerja secara lebih produktif dari DPR.

Jangan sampai ketika sudah diberi kewenangan yang sama dengan DPR, kinerjanya malah berada di bawah DPR.

Jadiono menyarankan, sambil menunggu upaya penguatan peran dari DPD melalui amendemen dapat dilakukan, DPD harus mempunyai modal bahwa mereka saat ini bisa bekerja dengan efektif.

"Sebelum amendamen dilakukan ada baiknya DPD mempunyai terobosan terlebih dahulu supaya posisinya bisa lebih baik," terangnya. (Uta/P-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya